Lampu diredupkan dan film pun mulai diputar. Warna-warni lantunan pujian di gereja dan orang shalat di masjid muncul silih berganti dengan cuplikan hitam putih adegan warga menggotong mayat atau membidikkan senapan, truk-truk militer yang hilir mudik di jalanan kota, anak-anak dan warga lansia yang lesu di lokasi pengungsian.
Lalu suara narator muncul, berkisah tentang insiden tanggal 19 Januari 1999. Di terminal Batu Merah, terjadi cekcok soal uang setoran antara supir angkot dan preman yang berujung perkelahian. Sepertinya sepele, tapi ternyata ribut kecil itu dengan cepat meluas jadi konflik berdarah ke seluruh Ambon. Dalam tiga tahun, setidaknya 5000 orang tewas. Untuk menyelamatkan diri, warga muslim terpaksa kabur dari negeri yang mayoritasnya Kristen, dan sebaliknya.
Sekitar setengah juta orang jadi pengungsi. Othe Patty salah satunya. Bersama keluarganya, dia mengungsi dari Batu Merah, negeri yang mayoritasnya Islam. Setelah sempat terkatung-katung di pengungsian, kini Othe dan keluarganya tinggal di Kampung Tiga, negeri Kristen. Pasca konflik, segregasi pemukiman berdasar agama seperti ini menjadi solusi untuk memberi rasa aman. Orang tidak berani keluar dari zona wilayah masing-masing, khawatir diserang dan mati konyol.
Namun dalam hati Othe rindu berjumpa kembali dengan tetangga-tetangganya di Batu Merah. Ketika dia mengungkapkan keinginan itu pada orang-orang dekat, mereka melarang: “Berlebaran di Batu Merah? Mati kamu nanti, mati!” Othe berkeras. Dia memberanikan diri karena percaya tetangga-tetangganya orang baik. Malah mereka yang melindungi dia supaya tidak kena amuk massa.
“Lari, cepat lari, Othe, lewat sini!” desak salah satu tetangganya yang bernama Nafsiah waktu itu, menunjuk lorong sempit di belakang rumahnya waktu Othe sedang sembunyi karena dikejar. Nafsiah dan Othe dekat sekali satu sama lain. “Dulu Othe yang menjodohkan saya dengan suami saya, sampai kapan pun saya tidak akan lupa kebaikannya,” kata perempuan itu sambil menangis terharu waktu bisa bertemu lagi dengan Othe.
Kerinduan dan keharuan meliputi suasana pertemuan para mantan tetangga itu di Batu Merah. Dan gayung Othe ternyata bersambut. Sahabat-sahabatnya dari Batu Merah lantas melakukan kunjungan balasan ke Kampung Tiga – meski awalnya tetap takut-takut.
Melawan Narasi Kebencian
Kisah Othe dan ibu-ibu penyintas konflik Ambon diangkat dalam paruh awal film “Beta Mau Jumpa”. Film ini diproduksi oleh Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gadjah Mada (CRCS UGM) bersama The Pardee School of Global Studies Boston University dan WatchDoc Documentary, dengan dukungan dari Henry Luce Foundation New York. Selama 35 menit, pemirsa diberi gambaran kiprah warga biasa dalam mewujudkan rekonsiliasi. Ternyata upaya mereka bisa jauh lebih berdampak di tingkat akar rumput dibanding solusi dari institusi-institusi formal!
Secara khusus, “Beta Mau Jumpa” menunjukkan arti penting ibu-ibu dan anak muda untuk kerja perdamaian di Ambon. Sekilas audiens diperkenalkan pada Gerakan Perempuan Peduli yang dirintis antara lain oleh Margaretha Hendriks, forum diskusi Jalan Merawat Perdamaian (JMP), kolaborasi musik lintas agama Hadrah yang menampilkan rebana berpadu terompet tiap perayaan Natal, dan pendongeng keliling Eklin de Fretes.
Problem yang mereka hadapi sampai saat ini adalah lestarinya narasi kebencian. Meskipun bentrokan fisik dan bersenjata sudah tidak ada, tetapi cerita tentang kekejaman pihak “lawan” semasa konflik masih terus diulang-ulang di masing-masing kelompok. “Pewarisan kebencian ini harus dihadapi dengan counter-story, cerita dilawan dengan cerita,” kata Eklin. Itu yang mendorongnya keliling Ambon untuk berkampanye tentang perdamaian ke anak-anak dengan medium dongeng.
Munculnya gerakan informal ini secara implisit adalah kritik terhadap pemerintah dan institusi formal yang tak berhasil menuntaskan akar konflik. “Pasca konflik, pemerintah terlalu fokus ke pembangunan fisik,” kata salah satu tokoh yang diwawancarai di film itu, “kurang memperhatikan misalnya soal penyembuhan trauma di masyarakat.”
Mengapa Konflik Bisa Tersulut?
Pertanyaan itu mengemuka dalam sesi diskusi publik usai digelar nonton bareng film Beta Mau Jumpa ini hari Jumat (28/2) siang lalu di Gedung Teater Thomas Aquinas Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata. Bukankah dalam film dijelaskan bahwa Ambon sejak berabad-abad lalu telah menjadi tempat singgah berbagai bangsa? Pedagang Arab, Cina, dan Eropa mencari rempah-rempah di sana. Itu membuat masyarakat Ambon dari dulu bersifat multikultur. Mereka sudah biasa hidup bersama lintas agama dan etnis. Lalu mengapa tahun 1999 itu satu insiden kecil bisa meledak jadi konflik yang begitu dahsyat skalanya?
“Memang ini sangat mengherankan, karena dari dulu sebetulnya di Ambon berkelahi atau tawuran itu sudah biasa, tapi untuk menjadi konflik yang orang sampai mau bunuh tetangga, itu jelas ada sesuatu penyebab yang sangat luar biasa,” kata Weslly Johannes, aktivis Paparisa Ambon Bergerak, salah satu gerakan anak muda yang ikut berupaya membangun perdamaian.
Dari belajar sejarah, lanjut Weslly, tampak bahwa segregasi di Ambon itu riwayatnya panjang, tidak terjadi dalam sekejap mata. “Awalnya semua Ambon punya narasi budaya yang sama. Lalu mulai dari zaman Belanda muncul narasi yang berbeda. Tiap periode sejarah, ada narasi yang terus berganti antara warga yang Islam dan Kristen. Misalnya, di zaman Jepang, itu warga Islam yang dianakemaskan. Di zaman Suharto lain lagi. Dibuat ada yang menang dan ada yang kalah,” jelasnya.
Apakah ada aktor-aktor intelektual dari luar Ambon yang bekerja di balik konflik itu? Menyitir riset Gerry van Klinken dalam bukunya Small Town Wars, Adrianus Bintang – peneliti dari Pusat Studi Asia Tenggara Unika Soegijapranata – menduga bahwa konflik Ambon ada kaitan dengan lengsernya Suharto. “Setelah repressive state semasa Orde Baru, terjadi desentralisasi, aktor-aktor lokal berebut kekuasaan sehingga muncul konflik horizontal. Konflik-konflik di berbagai daerah pasca Orde Baru kemungkinan adalah fenomena perebutan kekuasaan di tingkat lokal pasca hilangnya kekuatan sentral yang mencengkeram,” lontar ayah satu anak yang biasa disapa Bintang ini.
Selama Orde Baru juga terjadi reduksi kearifan lokal di Ambon. Perubahan tata administrasi wilayah menjadi kelurahan-kelurahan melemahkan otoritas negeri-negeri. Konflik yang dulunya biasa diselesaikan lewat jalan adat lantas diurus lewat jalur hukum dengan logika menang-kalah. “Pelemahan adat selalu dilakukan untuk kepentingan politik, tapi dalam jangka panjang ada harga yang harus dibayar mahal,” komentar Weslly.
Peneliti Pusat Studi Urban Unika Soegijapranata Trihoni Nalesti Dewi, biasa dipanggil Hesti, menambahkan tentang faktor internal konflik. “Dari orang-orang Ambon yang saya wawancarai, mereka mengaku bahwa konflik itu ada pemicu dari luar, tapi juga ada faktor kerapuhan dari dalam mereka sendiri. Selain berkepala panas, mereka bilang bahwa mereka terlalu naif,” jelasnya.
Datangnya pendatang dari luar Ambon juga menjadi tantangan tersendiri, karena ketika terjadi konflik, orang Ambon jadi harus menghadapi dilema: membela “basudara” (saudara) Ambonnya yang beda agama atau basudara seagamanya yang pendatang. “Seringkali ikatan agama ternyata lebih kuat dibanding adat, mereka memilih membela pendatang yang seagama,” lanjut perempuan yang bergiat di Pusat Studi Urban Unika Soegijapranata ini.
Munculnya upaya purifikasi agama, baik di Islam maupun Kristen, menambahkan bara dalam sekam. “Bahasa daerah seperti bahasa Tana semakin ditinggalkan, orang semakin sedikit memakai bahasa ini,” ungkap Bintang. “Di Ambon sebetulnya ada agama lokal Nunusaku, tapi sekarang hal-hal yang berbau adat sering dianggap kesia-siaan oleh para pemuka agama dan dibilang tidak perlu dikerjakan lagi, peran ritual adat diambil alih oleh institusi agama,” tambah Hesti.
Mempertanyakan Narasi Kebencian
Segregasi kini menjadi realitas sehari-hari di Ambon. Pemukiman warga dipisah, suatu negeri bisa 100% Islam atau 100% Kristen. “Untuk tahu orang itu agamanya apa, kita cukup tanya dia datang dari mana. Dari jawabannya kita sudah langsung tahu agama dia apa,” cerita Weslly. Segregasi wilayah lantas menjadi segregasi pemikiran. “Makin lama makin terjadi pengerasan identitas. Katanya basudara, tapi teman Muslim saja tidak ada, itu bagaimana?” tanya lelaki kelahiran Pulau Buru itu.
“Saat terjadi konflik, semua profesi di Ambon tersegregasi. Ada tentara kubu Islam, ada tentara kubu Kristen. Ada dokter kubu Islam, ada dokter kubu Kristen. Ada dosen kubu Islam, ada dosen kubu Kristen. Setelah konflik pun hal ini masih terjadi,” tambah Hesti. Stereotip dan prasangka terhadap liyan pun tumbuh subur di kelompok masing-masing.
Perilaku manusia terbentuk dari narasi yang ada dalam kepalanya. Konflik terjadi dan dilanggengkan ketika di pikiran masyarakat terbentuk “cerita” tentang kami versus mereka. “Sulit kita mau damai kalau tiap kelompok menarasikan diri sebagai pihak yang baik, kami korban mereka pelaku. Sampai sekarang banyak orang tidak berhasil keluar dari narasi ini,” sesal Weslly.
Dari pengalaman pribadinya, kandidat magister sosiologi agama ini mendapati ternyata membongkar narasi kebencian itu tidak mudah. “Butuh keberanian untuk berani mempertanyakan narasi yang sepertinya diyakini semua orang. Termasuk kalau ada orang di kelompok kita yang menceritakan kejelekan-kejelekan pihak sana – Islam itu musuh, atau Kristen itu musuh – mempertanyakan narasi seperti ini bisa mendatangkan ancaman kematian,” ujarnya.
Menurut Weslly, generasi muda perlu mengambil jarak dari narasi yang diciptakan generasi tua. “Anak-anak muda harus berani bicara, berani berpikir sendiri, mempertanyakan cerita-cerita lama, jangan sampai orangtua yang cerita-cerita, anak muda yang disuruh maju perang dan mati. Entah itu agama atau ideologi apa, pokoknya kalau itu meminta darah dan nyawa orang, kita harus duduk dulu dan pertanyakan. Kita harus punya independensi berpikir,” tegas penulis buku puisi Bahaya-Bahaya yang Indah ini.
Rekonsiliasi Berbasis Budaya
Meskipun realitas belum ideal, optimisme bahwa Ambon akan pulih sepenuhnya harus terus dipelihara. “Memang orang Ambon kalau pertama dilihat kesannya seram, tapi hati mereka luar biasa tulus dan baik. Seperti pohon sagu, luarnya hitam dan keras, tapi setelah dibuka isi di dalamnya yang ada hanya kelembutan semata,” puji Hesti yang mengaku sudah betul-betul jatuh cinta pada tanah Ambon.
Segregasi yang ada harus dikalahkan lewat perjumpaan damai. Ini berarti butuh upaya bersama menciptakan peluang-peluang perjumpaan baru. “Kabar baiknya adalah pasca konflik, anak muda Ambon sekarang malah mulai tidak lagi berpikir dengan sekat geografis,” tutur Weslly. “ Kalau dulu sebelum konflik orang-orang orientasinya bergaul dengan warga negeri masing-masing. Sekarang bergaulnya berdasar minat. Yang suka musik, yang suka sastra, berkumpul jadi satu, tidak hanya dari satu daerah saja.”
Pendekatan seni dan budaya diakui Hesti sebagai aspek penting pemulihan perdamaian di Ambon. Nilai dan tradisi adat ternyata sangat krusial sebagai pijakan bersama (common value) yang bersifat lintas agama. “Nilai-nilai seperti hidup baku bae, makan sagu salempeng dibagi dua, ale rasa beta rasa, tradisi panas pela dan panas gandong, itu yang ternyata bisa memulihkan perdamaian. Dalam kasus rekonsiliasi di Ambon, budaya harus mengatasi agama,” urainya.
Untuk itu, Hesti mengusulkan pemulihan institusi-institusi budaya. Bahkan untuk hal yang terkesan sepele seperti pemilihan kata, kearifan lokal perlu dijadikan rujukan.
“Di Ambon sekarang ini kita hindari memakai kata ‘damai’. Soalnya orang di sana malah trauma kalau dengar kata itu. Mereka lebih mau diajak kalau kita pakai istilah ‘baku bae’, yang berasal dari tradisi mereka sendiri, artinya saling berbuat baik,” dia memberi contoh.
Weslly menanggapi positif ide Hesti dengan catatan agar tidak kebablasan mendewakan budaya. “Hati-hati juga kembali ke kebudayaan karena kita ini ada lebih dari satu kantong budaya,” katanya, “Jangan sampai budaya menjadi baju berikutnya, kita tidak mau muncul konflik antar warga yang berbeda budaya.”
Catatan lain yang muncul dalam diskusi ini adalah perlunya semua pihak yang punya posisi strategis mau ambil bagian. “Kita butuh peran media untuk memproduksi pesan damai. Lalu para ahli hukum, pengacara yang mendampingi kasus-kasus, harus bantu meredam alih-alih memperkeras konflik,” ujar Hesti. “Ambon itu negeri yang luar biasa, persaudaraannya hebat, orang-orangnya begitu tulus, sungguh tidak rela kalau Ambon sampai kehilangan semua itu,” pungkasnya.