Lasem-EIN Institute – Waktu menunjukkan pukul 11.00 WIB ketika Tim Ein Institute tiba di sebuah rumah bercat putih berpintu hijau dengan ornamen aksara Cina. Dengan bantuan mas Pop, pegiat budaya Lasem yang memandu kegiatan penjajakan Tim Ein di Lasem, kami berhasil mendapatkan waktu bertemu dengan H.M. Zaim Ahmad Ma’shoem yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Zaim.

Kami dipersilakan memasuki pendopo rumah yang berukuran cukup luas dan dilengkapi seperangkat meja kursi kayu berukuran besar. Setelah diawali dengan saling memperkenalkan diri dan bincang-bincang ringan, Tim Ein mengangkat keunikan Lasem yang plural dan damai dibandingkan wilayah-wilayah lain di Indonesia yang rawan konflik sosial.

Menurut Gus Zaim, kerawanan sosial yang terjadi di Indonesia, yang selama ini terkesan dipicu oleh radikalisme agama, sebenarnya berakar dari masalah ekonomi. Gus Zaim menyoroti ketidaksetaraan perlakuan antar etnis dan represi atas etnis tertentu yang diberlakukan oleh rezim orde baru pada masa itu. Contohnya, kebijakan ‘pribumisasi’ pada etnis Tionghoa, yang memaksa etnis Tionghoa untuk berganti nama yang lebih bernuansa Indonesia.

Situasi tersebut memaksa etnis Tionghoa yang harus bertahan hidup akhirnya memilih untuk merapat pada pihak-pihak pemegang kekuasaan, baik militer maupun partai-partai yang berkuasa. Ini yang disebut Gus Zaim sebagai ‘efek balon’, yaitu ketika satu sisi mendapat tekanan, niscaya akan terjadi penggelembungan di sisi lain. Dalam situasi tertekan dan dibatasi untuk berkiprah dalam berbagai bidang, maka satu-satunya yang dapat dilakukan masyarakat Tionghoa adalah memperkuat dominasi dalam kegiatan ekonomi. Dominasi sektor ekonomi inilah yang akhirnya memicu kecemburuan sosial dari etnis-etnis lain di Indonesia, sehingga meledak menjadi konflik.

Masyarakat Tionghoa di Lasem pun tidak luput dari masa-masa kegelapan, pasca orde baru memberlakukan pelarangan ekspos budaya Tionghoa di ranah publik. Gus Zaim menuturkan, generasi masyarakat Tionghoa senior di Lasem yang pernah merasakan kehidupan bermasyarakat tanpa sekat pra-orde baru, hingga kini masih berada dalam tahap pemulihan, untuk menghilangkan trauma atas represi selama puluhan tahun. Karena pada dasarnya, kerukunan dan keberagaman di Lasem bukanlah sebuah hal yang baru dikembangkan, tetapi justru telah lama ada, dan diguncangkan oleh situasi politik pada masa berkuasanya orde baru.

Gus Zaim, melalui pengelolaan Pesantren Kauman yang kini menaungi sekitar 170 santri, menghidupkan keberagaman melalui praktik-praktik pembauran di sekitar lingkungan pesantren. Pesantren Kauman, terletak di Desa Karangturi yang mayoritas dihuni masyarakat Tionghoa Lasem. Keberadaan pesantren Kauman tidak memicu penolakan dari masyarakat Tionghoa yang lebih dulu mendiami kawasan tersebut. Justru warga sekitar menerima dengan baik, dan merasakan kontribusi para santri Kauman yang ikut andil dalam setiap kegiatan sosial, seperti pernikahan, kematian maupun kegiatan jaga malam di wilayah tersebut.

Tim Ein sempat diperkenankan berkunjung ke Pesantren Kauman dan melanjutkan bincang-bincang sambil mengamati kegiatan para santri di siang hari. Tidak terasa, waktu menunjukkan pukul 13.00 WIB, para santri bergerak menuju ruang tengah untuk mengikuti sesi edukasi yang dipandu oleh istri Gus Zaim.

Tim Ein segera berpamitan, dan sebelum meninggalkan pesantren kami melewati pos Siskamling yang unik, bercat merah menyala dan dihiasi ornamen lampion. Pintu pos Siskamlimg diapit oleh hadis berbahasa Arab dan terjemahannya dalam bahasa Cina.  Dalam bahasa Indonesia terjemahannya adalah sebagai berikut: “Tidak akan masuk surga, orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.” (HR. Bukhari 6016 dan Muslim 46). 

Hadis ini sengaja ditempatkan oleh Gus Zaim di posisi strategis untuk mengingatkan betapa pentingnya kehidupan bertetangga, dan niatan para santri untuk membuat lingkungan sekitar merasa nyaman dengan keberadaan mereka di lingkungan pecinan tersebut.

Facebook Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *