Memasuki ruang Kelas Pemikiran Gus Dur bersama 29 peserta lain, tidak membuat Bryan Akbar Ramadika kesulitan untuk berinteraksi. Sebagai pemuda Katolik bermodal pergaulan lintas agama yang ia dapatkan selama menempuh pendidikan di UNIKA Soegijapranata Semarang, membuat Bryan nyaman menjadi peserta kelas pemikiran seorang tokoh Islam.
Kelas Pemikiran Gus Dur (KPG) II diselenggarakan pada 4-5 Februari 2017 di Gedung C Universitas Wahid Hasyim Semarang. Bryan yang tercatat sebagai mahasiswa program Magister Psikologi ini mengetahui informasi tentang Kelas Pemikiran Gus Dur dari media sosial. “Awalnya saya lihat di Twitter, saya kan juga follow mbak Alissa Wahid. Dari medsos saya tahu kapan dan apa saja persyaratannya. Ya saya daftar akhirnya,” lanjut Bryan yang pernah menjabat Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Psikologi.
Rasa ingin tahu Bryan demikian menggebu-gebu, ia ingin mendapatkan pemahaman tentang wawasan keislaman secara langsung dari sumbernya. Kesadaran politik Bryan membuatnya terhindar dari “framing” media arus utama. Bryan menuturkan, pasca Aksi Bela Islam 212 banyak teman-temannya yang muslim kemudian tidak mengucapkan ‘Selamat Natal’ padanya. “Padahal sebelum-sebelumnya mereka biasa saja mengucapkan salam tersebut,” ungkap Bryan. Fenomena ini dibahas dalam diskusi di Kelas Pemikiran Gus Dur.
Bryan yang dibesarkan di tengah keluarga yang plural, ayah Islam dan ibu Katolik ini mengakui bahwa ia menemukan banyak hal baru seusai mengikuti kelas. “Organisasi Islam ternyata bermacam-macam latar belakangnya. Akhir-akhir ini media kerap menampilkan pemberitaan umat Islam berjubah putih yang menggelar aksi di sekitar Monas, dengan sikap politik tertentu.” Dalam Kelas Pemikiran Gus Dur, Bryan memperoleh pencerahan tentang peta politik ormas Islam secara lebih menyeluruh. Bahwa ada ormas-ormas Islam yang dilandasi dengan prinsip-prinsip persatuan demi menjaga keutuhan Republik Indonesia.
Bryan mengaku sangat puas mengikuti Kelas Pemikiran Gus Dur, “Hampir semua yang disampaikan mbak Alissa saya setujui, terutama tentang 9 Nilai Gus Dur. Sekarang setiap ada permasalahan, ya saya akan menggunakan 9 nilai itu untuk menganalisanya.” Ekspektasi pribadinya terpenuhi. “Selepas mengikuti Kelas Pemikiran Gus Dur, optimisme saya semakin bertambah bahwa teman-teman muslim dapat bersama-sama komponen bangsa yang lain menjaga keutuhan Indonesia. Berbeda dengan yang selama ini mendominasi pemberitaan media, umat Islam yang ingin menjaga keragaman Indonesia ternyata juga banyak” cetus Bryan penuh keyakinan.
Peserta lainnya, Agus Tri Budiyarno yang mengaku sangat mengidolakan Gus Dur mengungkapkan kesan-kesannya mengikuti Kelas Pemikiran Gus Dur II. “Gus Dur memang terlalu luas, sulit untuk mempelajari semua pemikirannya,” ungkap Agus singkat. Meski mengaku masih proses belajar dan belum sepenuhnya mampu menyelami pemikiran Gus Dur secara mendalam, Agus berjanji akan aktif berorganisasi di Jaringan Gusdurian pasca kelas berakhir.
Mengaku terinspirasi dengan 9 Nilai Gus Dur, pria yang sekarang menjabat Ketua Senat Mahasiswa di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Walisongo tersebut berjanji akan menerapkan prinsip-prinsip Gus Dur dalam politik kampus, “Nanti kebijakan saya harus sesuai 9 Nilai Gus Dur,” pungkasnya penuh semangat.
Berbeda dengan Bryan dan Agus, Laeli Agustia, mahasiswi asal Universitas Negeri Semarang ini mengaku mengikuti Kelas Pemikiran Gus Dur karena ajakan seniornya. “Saya diajak mas Nicko, Ketua PMII (red: Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia),” aku Laeli. Sudah sejak kecil Laeli mengenal sosok Gus Dur berkat cerita-cerita dari guru mengajinya. Laeli mengaku mati-matian berjuang memenuhi syarat menjadi peserta Kelas Pemikiran Gus Dur. “Untung saya masih sempat mengirim esai jam setengah dua belas malam,” ungkapnya penuh syukur.
Panitia memang menyertakan syarat penulisan esai untuk meraba wawasan calon peserta tentang pemikiran Gus Dur. Hal itu dijadikan salah satu syarat pendaftaran menjadi peserta, selain persyaratan usia di bawah 25 tahun, dan berdomisili di Semarang. Mahasiswi Fakultas Psikologi ini mengaku sangat tercerahkan ketika menerima materi “Gus Dur dan Kebudayaan” yang disampaikan Tjahjadi Nugroho dari EIN Institute. “Semua pertanyaan saya terjawab,” ungkapnya.
Kelas Pemikiran Gus Dur II diselenggarakan oleh Jaringan Gusdurian Semarang, diikuti 30 peserta dari beberapa kampus Kota Semarang dan Yogyakarta. Para peserta berasal dari Universitas Wahid Hasyim, Universitas Islam Negeri Walisongo, Universitas Negeri Semarang, Universitas Diponegoro, Universitas Dian Nuswantoro, Universitas Soegijapranata, serta Universitas Gajah Mada, Yogyakarata. Fasilitator dari Sekretariat Nasional Jaringan Gusdurian., M. Autad serta anak sulung Gus Dur Alissa Wahid. Sedangkan fasilitator asal Semarang diantaranya, Makhrus Ali (Jaringan Gusdurian Semarang), Tedi Kholiluddin (Elsa Semarang), Rusmadi (UIN Walisongo), dan Tjahjadi Nugroho (EIN Institute).
Editor: Yvonne Sibuea