Catatan Pasca Jelajah Pecinan Semarang, Widya Mitra Heritage Walk -X
Pariwisata Sudah Menjadi Kebutuhan Primer
Pariwisata sudah menjadi kebutuhan primer; demikian temuan riset Visa Global Travel Inventions Study (GTIS) pada 2015. Terjadi peningkatan 33% wisata ke luar negeri yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia dibanding tahun 2013. Selain itu muncul juga kecenderungan orang untuk bisa berlibur lebih lama dan lebih jauh lagi. Kementerian Pariwisata juga mencatat bahwa pada tahun 2013 masyarakat Indonesia mengeluarkan Rp. 177,84 triliun untuk biaya perjalanan.
Generasi milenial lebih banyak menghabiskan pendapatannya untuk berlibur serta gaya hidup dibandingkan untuk belanja keperluan rumah tangga lainnya; demikian data BPS 2017 yang dikutip Deputi Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Firman Mochtar di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin 14 Agustus 2017. Sedangkan tingkat hunian hotel berbintang per Juni 2017 mencapai 51,02% (BPS 2017).
Seleb-Seleb Baru
Akun media sosial dibanjiri dengan selebriti berspesialisasi jalan-jalan yang memiliki pengikut ratusan ribu hingga jutaan orang. Walaupun kamu bukan siapa-siapa, kamu bisa jadi selebriti baru mengandalkan foto-foto pemandangan indah berbagai destinasi wisata atau cuap-cuap vlog yang sebagian besar isinya panduan jalan-jalan: menggambarkan keindahan lokasi, makanan mana yang enak dan murah serta penginapan nyaman plus cocok di kocek.
Saya juga terhanyut menikmati unggahan-unggahan seru tersebut. Hitung-hitung ikut menikmati keindahan berbagai lokasi wisata dengan hanya bermodal kuota internet, sambil berharap suatu saat bisa melancong ke lokasi impian yang foto-foto dan videonya bertebaran di jagad maya.
Peluang Emas
Tren ini tentunya tidak dilewatkan begitu saja oleh para pelaku bisnis di Semarang. Pariwisata adalah peluang usaha bermasa depan sangat cerah. Semarang yang tadinya hanya dikenal sebagai kota bisnis yang miskin destinasi wisata harus bekerja keras untuk merebut potongan kue bisnis pariwisata. Apa saja yang sudah terjadi di kota ini?
Kebangkitan Industri Wisata di Pecinan Semarang
Tumpah ruah kegairahan melancong melumuri Semarang. Mau bukti? Fenomena ini dapat dipantau di titik-titik tertentu seperti Kawasan Kota Lama yang beberapa tahun terakhir menjadi primadona destinasi jalan-jalan, serta Kawasan Pecinan Semarang yang tak kalah laris dikunjungi pelancong lokal maupun mancanegara.
Pada Jumat hingga Minggu selepas maghrib, jangan berharap dapat menyusuri pertemuan jalan Gang Warung-Beteng-Wahid Hasyim (Kranggan)-Pedamaran dengan lega. Kamu bakal disambut oleh lautan manusia yang berjejal keluar masuk kawasan Waroeng Semawis, ditingkahi sekelompok anak muda yang mengambil posisi bergerombol di mulut Gang Warung sambil menyanyikan berbagai macam lagu untuk menarik para pengunjung menyemplungkan lembaran uang ke kotak kardus yang mereka bawa. Walau kadang saya merasa suara mereka kurang merdu dan cenderung asal-asalan, tapi saya masih bisa memakluminya. Lebih baik nyanyi-nyanyi fals di keramaian daripada ikutan balapan liar misalnya.
Keramaian tadi belum lagi apa-apa, persaingan ratusan sepeda motor dan mobil berebut area parkir di badan jalan kian membuat suasana riuh.
Waroeng Semawis mulai digelar sejak Juli 2005 hingga kini. Pengelolanya adalah Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata (Kopi Semawis). Pasar malam kuliner ini hanya buka di akhir pekan, Jumat hingga Minggu.
Di ujung Jalan Wahid Hasyim 2A sebelum belokan jalan Beteng, tepat di bawah papan nama Kawasan Pecinan Semarang berdiri Mukti Cafe, toko tembakau dan cerutu sekaligus kafe yang menyediakan kopi dan berbagai camilan. Fasad bangunan milik Kusuma Atmaja Agung ini dihiasi ornamen-ornamen khas Cina, demikian juga interiornya. Nuansa Cina inilah yang menarik hati pengunjung untuk mampir, sekedar menikmati keunikan jajaran toples berisi rajangan tembakau atau mencermati foto-foto lama leluhur pemilik cafe. Pada akhir pekan, cafe ini tak pernah terlihat sepi pengunjung; baik anak-anak muda maupun kaum senior penggemar tembakau. Lantunan musik keroncong terdengar dari lantai dua Mukti Cafe, kemewahan ini hanya tersedia pada Sabtu malam.
Dalam sepuluh tahun terakhir penginapan-penginapan baru muncul di kawasan ini, salah satunya, Tjiang Residence penginapan berkapasitas 24 kamar yang sengaja direnovasi dengan mengembalikan sentuhan arsitektur Cina pada fasad hotel. Sebelum difungsikan menjadi hotel, dahulu Tjiang Residence adalah toko alat-alat listrik; berlokasi di Jl. Gang Pinggir no 24. Karena keunikan tampilannya, tingkat hunian di Tjiang Residence cukup tinggi. Ada homestay seperti Roemah Pantes di Jl. Kali Kuping no 18, serta beberapa hotel berbintang di Pecinan Semarang. Pelancong bisa memilih penginapan yang diinginkan sesuai anggaran.
Kegairahan pariwisata di Pecinan Semarang ini tentunya tidak akan terwujud tanpa adanya kebijakan politik Gus Dur mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 tentang “Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China” keluaran Presiden Soeharto. Soeharto menginstruksikan agar etnis Tionghoa merayakan pesta agama atau adat istiadat “tidak secara mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga”. Sejak pemberlakuan Inpres tersebut, tidak ada lagi perayaan Imlek dan Cap Go Meh untuk khalayak ramai, demikian juga pertunjukan budaya seperti Wayang Potehi, maupun Tarian Barongsai.
Setelah 33 tahun diberlakukan Inpres itu dicabut Gus Dur dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 pada 17 Januari 2000. Sejak saat itu berbagai kegiatan sosial budaya Tionghoa kembali bergeliat.
Kawasan Pecinan Semarang
Kawasan Pecinan Semarang memiliki nilai historis tinggi. Kawasan ini sengaja dibentuk oleh VOC untuk melokalisir warga etnis Tionghoa dengan tujuan memudahkan pengawasan dan mencegah upaya pemberontakan. Kebijakan mengisolasi warga etnis Tionghoa diambil VOC pasca keterlibatan Souw Pan Djiang seorang pendekar silat sekaligus pengusaha tersohor yang tinggal di daerah Gedong Batu; dalam pemberontakan terhadap Kartasura yang saat itu dipimpin oleh Amangkurat II. Demikian diceritakan Liem Thian Joe dalam buku Riwayat Semarang. Masih belum ada data yang pasti tentang tahun perpindahan orang Tionghoa ke Kawasan Pecinan, tetapi sebagai penanda Kasunanan Kartasura sendiri berdiri pada tahun 1678 seperti yang dicatat A.J. Eijkman dalam buku Geschiedenis van Ned. Oost-Indie.
Kawasan Pecinan Menunggu Giliran Pembenahan
Jika Kawasan Kota Lama Semarang yang lebih dikenal dengan julukan “Little Netherland” mendapatkan keistimewaan sebagai kawasan prioritas dalam program kerja Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L), maka Kawasan Pecinan Semarang masih harus menunggu kebagian giliran untuk dibenahi.
Wakil Wali Kota Semarang sekaligus Ketua BPK2L Jawa Tengah, Hevearita Gunaryanti Rahayu mengatakan revitalisasi Kawasan Kota Lama tidak akan berhenti tetapi berlanjut ke kawasan sekitarnya sampai Pecinan. “Program (revitalisasi, red.) tidak hanya berhenti di Kota Lama, tetapi berlanjut ke kawasan-kawasan lain, sampai ke Pecinan,” kata Ita, sapaan akrab Hevearita di Semarang, Jumat (14/4/2017) seperti diberitakan AntaraNews.
Menjadi kawasan prioritas revitalisasi, para pemilik bangunan di kawasan “Little Netherland” kini harus berhati-hati dan memperhatikan kaidah cagar budaya dalam merawat bangunan mereka, tidak demikian halnya dengan para pemilik bangunan di Kawasan Pecinan Semarang. Para pemilik bangunan berlomba-lomba merenovasi properti mereka menjadi lebih modern dengan menghilangkan ciri kecinaan, untuk kemudian menyadari bahwa justru ciri kecinaan tersebut yang mampu mendorong wisatawan mengunjungi Kawasan Pecinan; yang berarti peningkatan potensi ekonomi pariwisata kawasan tersebut.
Selain faktor minimnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mempertahankan otentisitas Kawasan Pecinan Semarang, pemerintah kota juga berandil besar dalam hilangnya ciri khas arsitektur Cina di kawasan ini.
Tubagus P. Svarajati dalam buku yang ditulisnya, Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota, mengkritisi kebijakan pembangunan kota Semarang pada era orde baru, di antaranya pembangunan jalan inspeksi di sepanjang Kali Semarang pada tahun 1970-an. Karena kebijakan tersebut bangunan-bangunan berlanggam Tionghoa harus dipotong beberapa meter, sehingga kehilangan fasad. Jangan heran bila di Kawasan Pecinan Semarang sulit ditemukan rumah-rumah dengan arsitektur berciri khas kecinaan. Yang tersisa hanya atap wuwungan berbentuk bundar tumpul.
Masih Adakah Harapan bagi Pecinan Semarang ?
Kawasan Pecinan Semarang masih memiliki harapan untuk mempertahankan sisa-sisa bangunan berarsitektur Cina, selama ada kesadaran masyarakat penghuni kawasan dan pemerintah kota untuk melestarikannya.
Kawasan ini juga menyimpan berbagai tinggalan hidup berupa interaksi sosial yang cair antar etnis, serta berbagai komoditas yang otentik diproduksi di seputar Pecinan Semarang.
“Nilai jual pariwisata di Kawasan Pecinan Semarang, bukan hanya sekedar mempertontonkan eksotisme orang-orang Tionghoa yang tinggal dalam sebuah kawasan tertentu untuk menjadi objek tatapan (object of the gaze) bagi para wisatawan“, ungkap Triyono Lukmantoro merespon pengelolaan pariwisata di Pecinan Semarang; dalam kata pengantarnya di buku Pecinan Semarang dan Dar-Der-Dor Kota.
Perlu ada upaya terstruktur untuk mengekspos budaya Tionghoa lebih dari sekedar pengelolaan pasar malam kuliner dan festival-festival musiman. Berbagai ruang pembelajaran, seperti sejarah, arsitektur, ekonomi, serta pluralisme belum banyak disorot media dan dinikmati masyarakat luas.
Widya Mitra Heritage Walk -X
Yayasan Widya Mitra sebuah organisasi non-pemerintah yang berfokus pada kerja-kerja seni budaya menganggap Kawasan Pecinan Semarang layak menjadi laboratorium pembelajaran keberagaman bagi masyarakat. Melalui program wisata edukasi tahunan “Widya Mitra Heritage Trail”, Widya Mitra membuktikan kontribusinya dalam kampanye kesadaran pelestarian Kawasan Pecinan Semarang.
Widya Mitra mengajak masyarakat untuk bersama-sama menelusuri ruang-ruang belajar di Pecinan Semarang pada Minggu (3/12) lalu. Kali ini Yayasan Widya Mitra menggandeng EIN Institute sebagai rekanan penyelenggara.
Keberagaman di Pecinan Semarang
Banyak hal unik ditemukan ketika 40 peserta program wisata edukasi diajak berinteraksi langsung dengan warga Pecinan Semarang maupun pendatang yang beraktivitas di sana.
Interaksi pertama adalah dengan seorang ibu paruh baya pedagang sawi asin di Pasar Gang Baru; ia berkisah telah 40 tahun membuat dan menjual sawi asin di pasar ini. Ketika ditanya dari mana ia mempelajari cara membuat sawi asin, ibu ini mengaku belajar dari seorang nyonya Tionghoa. Dulu ia bekerja membantu nyonya Tionghoa itu sebelum akhirnya menguasai metode pembuatan sawi asin dengan sempurna dan memutuskan membuka usaha sendiri.
Pedagang di Pasar Gang Baru merupakan kombinasi penghuni Gang Baru beretnis Tionghoa dengan para pedagang yang tinggal di luar Gang Baru baik yang beretnis Tionghoa maupun non-Tionghoa.
Makanan lain yang khas adalah kue-kue tradisional Tionghoa seperti Kue Ku, Kue Moho, dan Kue Miku. Di sepanjang ruas Pasar Gang Baru ada tiga produsen kue-kue tradisional ini.
Beranjak dari Pasar Gang Baru peserta menyusuri Gang Cilik dan berkesempatan berbincang dengan Ong Bing Hok, pengrajin Rumah Kertas. Nampak replika rumah berbahan kertas terpampang di sebelah kanan meja kerja Bing Hok, sementara di wuwungan dan tergantung replika uang bernilai besar. Replika rumah, uang dan berbagai barang mewah maupun perlengkapan sehari-hari ini nantinya akan dibakar dan dilarung ke laut pada hari ke-49 pasca meninggalnya kerabat pemesan. Replika kertas yang dibakar dipercaya akan menjadi bekal bagi kerabat yang meninggal di alam sana.
Bing Hok yang adalah generasi keempat pengrajin Rumah Kertas berkisah tentang masa remajanya yang cukup suram; ketika ia duduk di jenjang pendidikan setingkat kelas 1 SMA pecahlah konflik 65, sehingga ia harus putus sekolah. Tiong Hoa Hwee Kwan, lembaga edukasi tempat ia bersekolah ditutup pemerintah Orde Baru.
Yang lebih menyedihkan lagi adalah sumber penghasilan utama keluarga Bing Hok juga terpaksa terhenti karena kebijakan pelarangan gelaran ritual Tionghoa. Upacara membakar replika rumah adalah salah satu ritual yang tidak diperkenankan digelar.
Selama 33 tahun durasi pelarangan tersebut, Bing Hok terpaksa mencari cara lain untuk menafkahi diri sendiri dan keluarganya. Karenanya, kebijakan Gus Dur menghidupkan kembali ekspresi budaya Tionghoa disambut gembira oleh keluarga Bing Hok.
Rasa terima kasih warga Tionghoa Semarang yang akhirnya lepas dari represi Orde Baru diungkapkan melalui peletakan Sinci (papan arwah) Gus Dur di sebuah altar di Perhimpunan Rasa Dharma (Boen Hian Tong) di jalan Gang Pinggir no 31-31A Semarang. Untuk menggali kisah sekaligus menyaksikan sendiri wujud Sinci Gus Dur, peserta Widya Mitra Heritage Walk menyambangi Gedung Rasa Dharma.
Harjanto Halim, Ketua Perhimpunan Rasa Dharma mengisahkan bahwa Ibu Sinta Nuriyah Wahid sendiri yang secara resmi menyerahkan Sinci Gus Dur pada 24 Agustus 2014; untuk ditempatkan di altar penghormatan di Gedung Rasa Dharma bersama-sama dengan Sinci para pendahulu Rasa Dharma lainnya. Pada kesempatan tersebut Gus Dur juga dianugerahi gelar Bapak Tionghoa Indonesia.
Tentunya masih banyak hal-hal menarik tersimpan dalam memori masyarakat Pecinan Semarang yang tidak mungkin terungkap oleh para pelancong yang sekedar berburu kuliner atau berswafoto di lokasi-lokasi instagrammable. Tidak ada ruginya meluangkan lebih banyak waktu untuk sekedar bertegur sapa, menggali informasi dari warga lokal. Bisa jadi kamu beruntung mendapatkan bocoran kisah-kisah istimewa tentang Pecinan Semarang yang belum pernah dipublikasikan.
Selamat melancong ke Pecinan Semarang!