Persaudaraan Lintas Agama (PELITA) dan beberapa komunitas lain di Semarang, di antaranya EIN Institute, Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, Institute of Peace and Security Studies (IPSS), dan Gusdurian Semarang; menggelar diskusi bertajuk “Patung: Antara Seni, Budaya, dan Agama”. Diskusi bertempat di Jalan Ayodyapala No. 44 Semarang. Selasa malam (22/08).
Ide membuka ruang dialog berangkat dari wacana perobohan Patung Kwan Kong di Tuban, serta kejadian-kejadian perobohan berbagai patung di berbagai wilayah Indonesia akhir-akhir ini. Wacana perobohan patung Kwan Kong memicu pro kontra di media, situasi menjadi cukup panas. Pendirian patung Kwan Kong dianggap sementara pihak sebagai representasi dominasi negara Cina di Indonesia sehingga tidak selayaknya patung tersebut dipertahankan, sementara pihak-pihak lain tidak serta merta setuju dengan pendapat tersebut. Karenanya, PELITA menganggap penting membahas isu pendirian patung dari berbagai sudut pandang, antara lain: seni, budaya, dan agama.
Sudut Pandang Seorang Seniman, Patung Sebagai Simbol Penghargaan
MA Sutikno, seniman patung asal Ungaran mengawali diskusi dengan menyampaikan filosofi patung. “Patung adalah simbol yang penuh filosofi. Monumen untuk mengenang jasa, maka dibuatkanlah patung atau simbol tersebut. Baik itu berasal dari tokoh perjuangan maupun legenda.” tuturnya.
Sebagai seniman patung, Sutikno menyatakan pengalamannya bahwa selama ia menjadi seniman patung, baru kali ini ada orang-orang yang ingin merobohkan patung. Dahulu, menurutnya tidak ada cerita bahwa ada sekelompok orang yang ingin merusak atau bahkan merobohkan patung, apalagi atas nama agama. Menurutnya, hal itu dikarenakan adanya perubahan pola pikir masyarakat yang juga akan mempengaruhi situasi dan kondisi zaman.
Sutikno mengandaikan, jika orang atau kelompok yang kontra dengan keberadaan patung hidup pada abad ke-13 maka tidak akan ada patung yang tersisa di zaman sekarang. Mengomentari kejadian perobohan patung di beberapa daerah, sebagai seniman patung ia merasa prihatin, “Kami selaku pematung, merasa prihatin dengan adanya pihak yang ingin merobohkan patung. Di balik pembuatan patung, terkandung simbol yang akan menjadi pengingat. Juga ada kesepakatan dari pematung dan pemerintah entah pusat maupun daerah atas pembuatan sebuah patung.” tegasnya.
Tren Penghancuran Patung
Khoirul Anwar, peneliti dari Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang mengungkapkan bahwa fenomena penghancuran patung yang baru-baru ini menggegerkan dunia Islam tidak dapat dipisahkan dengan fenomena munculnya gerakan Islamic State Iraq and Syria (ISIS). “Sejak munculnya ISIS, dunia Islam dan para pemikirnya dihebohkan oleh kasus-kasus penghancuran patung. Karena yang dilakukan oleh ISIS di Irak sana, menghancurkan banyak patung. Salah satunya patung Harun Al Rasyid, khalifah kelima dinasti Abbassyiyah.” ungkapnya.
Lebih lanjut, Khoirul mengungkapkan bahwa alasan ISIS menghancurkan patung karena patung adalah shonam atau berhala yang diharamkan di dalam Islam. Kejadian penghancuran patung juga terjadi di Afghanistan.
Makna Patung dalam Qur’an
Khoirul juga meneliti tentang sejarah patung atau kosakata patung di dalam Al Quran. Ia menemukan penyebutan patung di dalam Al Quran ada tiga macam. “Ada yang disebut dengan shonam atau ashnam, itu yang berarti berhala atau memang patung yang disembah. Ada juga, watsan atau aotsan yang juga untuk disembah. Kalau ashnam itu patung atau berhala yang disembah pada masa Nabi Ibrahim, sedang watsan merujuk pada perbincangan Nabi Muhammad ketika menyeru kepada umatnya, supaya tidak menyembah patung atau berhala. Sedangkan yang ketiga yaitu, timtsal atau dalam jamaknya tamatsil yang berarti patung yang netral dari nilai-nilai teologis.” terangnya.
Khoirul mengungkapkan, Nabi Sulaiman waktu itu punya banyak jin, yang salah satunya untuk membuatkan gedung, kamar-kamar, dan salah satunya patung. Kata timtsal meurujuk pada sebuah ayat yang merujuk pada jin yang membuatkan patung pada zaman Nabi Sulaiman. Yakni patung yang netral dan bebas dari nilai teologis.
Kepentingan Politik dan Ekonomi di Balik Penghancuran Patung pada Zaman Nabi Muhammad
Nabi Muhammad mengkritik orang yang menyembah berhala. Di Arab masing-masing suku mempunyai ‘tuhan’ masing-masing. Setiap suku memiliki ‘tuhan’ yang diwujudkan dalam bentuk patung atau berhala dan dibuatkan rumah ibadah. Berhala itu terbuat dari emas, ada sesajian, dan lain sebagainya. Rumah ibadah pun juga dibuat dengan ongkos yang sangat mahal.
“Nabi memerangi itu semua, namun Nabi juga berpesan berulang-ulang bahwa dalam penaklukan tidak boleh menghancurkan rumah ibadah, tidak boleh membunuh anak-anak kecil, orang-orang yang ada di dalam rumah ibadah.” ungkap Khoirul.
Rumah ibadah dan berhala di sekitar ka’bah dihancurkan. Penghancuran dan pelarangan berhala tersebut tidak semata-mata bersifat teologis, namun ada kepentingan politik dan ekonomi. “Kepentingan politiknya adalah, Nabi sejak awal punya cita-cita menaklukan dua kerajaan besar Romawi dan Persia. Itu tidak mungkin dilakukan tanpa persatuan masyarakat Arab. Sementara, masyarakat Arab terbagi-bagi atas suku, melalui patung dan ‘tuhan’ yang masing-masing mereka sembah. ‘Tuhan’ itu diharamkan, lalu ditauhidkan ke dalam satu Tuhan agar tidak terpecah-pecah. Penghancuran rumah berhala bertujuan untuk memusatkan rumah ibadah penyembah berhala ke ka’bah yang berada di Makkah. Keberadaan rumah berhala sebagaimana rumah al-Lata, al-‘Uzza, dan Manah menjadi saingan ka’bah serta dapat menjadikan watak kesukuan Arab tetap menguat, tidak dapat disatukan
Motivasi lain penghancuran adalah kepentingan ekonomi. Secara ekonomi, mayoritas umat Islam awal berasal dari kelompok tak berpunya, sehingga penaklukkan daerah dimanfaatkan untuk mengais rizki, mereka mengambil harta benda orang-orang yang melawannya atau biasa disebut harta jarahan perang (ghanimah), serta harta benda yang berada di tempat berhala. Di dalam rumah berhala banyak timbunan emas dan harta benda sesaji, yakni harta benda yang dijadikan persembahan kepada ‘tuhan’. Berhala milik paganisme juga banyak yang dilapisi emas, sehingga untuk mengambilnya harus menghancurkan berhala dan rumahnya.
Perang Ideologi, Merontokkan Simbol Materialisme dan Kapitalisme
Sementara, Ubaidillah Achmad dosen UIN Walisongo Semarang menyatakan bahwa pada masa Nabi Ibrahim ada seorang raja bernama Namrud membuat patung dengan cara merusak alam, yakni melakukan pertambangan yang merusak alam. “Ibrahim sang pembebas pada zamannya. Pada saat itu membabat patung, karena patung yang dibuat oleh Namrud adalah hasil dari pertambangan yang merusak pegunungan pada saat itu. Nabi Ibrahim muak karena ada pertambangan yang merusak pada saat itu.” ungkapnya.
Gus Ubaid, sapaan akrabnya, juga menjelaskan bahwa ada perilaku kapitalisme di kalangan masyarakat Arab pada satu periode, sehingga Nabi Muhammad berkepentingan menghancurkan simbol kapitalisme tersebut. Ia menyatakan bahwa, pada masa itu patung-patung atau berhala yang didirikan merupakan simbol kapitalisme. Maka, menurutnya, Nabi Muhammad yang seorang sosialis, terbukti dengan gaya hidupnya yang menggunakan harta bendanya untuk menolong orang lain; maka menghancurkan patung simbol kapitalisme adalah hal yang harus dilakukan.
Menurut Gus Ubaid, di dalam surat Al Quraisyh tertera, Arab pernah menjadi puncak perdagangan, bahkan menjadi pusat perdagangan dunia. Tradisi orang Arab saat itu, ketika masa kemarau menuju ke Syam dan ketika musim penghujan merapat ke Yaman untuk melakukan perdagangan. Terjadi proses materialisme kapitalisme yang sangat luar biasa. Nabi Muhammad melihat masyarakat proletar membanting tulang dan memeras keringat. Namun, para boss hidup dengan gaji yang sangat mencukupi.
Di situ ada kesenjangan, ada pula praktik relasi-kuasa yang tidak seimbang antara majikan dan buruh. Setiap perjanjian perdagangan selesai, ditandai dengan membuat patung yang diletakkan di atas Ka’bah. Jadi patung di atas Ka’bah bukan mengandung perspektif teologis, namun perspektif materialisme dan kapitalisme; karena ada kesenjangan yang menyiksa masyarakat proletar. Akhirnya masyarakat diajak berontak kepada orang-orang kapitalis. Masyarakat miskin kota berhasil dikoordinir melakukan penghancuran situs-situs perjanjian yang disimbolkan dalam bentuk patung untuk meruntuhkan kapitalisme.
Pemahaman sejarah dan berbagai kepentingan di balik praktik penghancuran patung dari masa ke masa sangat penting bagi masyarakat. Pemahaman holistik akan berbuah respon yang bijak dalam menyikapi polemik yang berkembang terkait wacana penghancuran patung, karena tiap-tiap monumen memiliki alasan tersendiri ketika didirikan. Melakukan penghakiman sepihak tanpa memahami konteks tentunya akan merusak iklim sejuk kehidupan multi kultur-etnis-agama di Indonesia.