Selasa malam (4/4) Kampung Gendong Selatan Kelurahan Sarirejo Semarang terlihat riuh dengan kehadiran ratusan anak muda memadati Gedung Sarekat Islam (SI). Mereka peserta acara diskusi Gedung SI bertema Politik Islam Orde Baru. Gedung SI sendiri ternyata bukan tempat sembarangan, gedung bersejarah yang dahulu punya nama Gedung Rakyat Indonesia (GRI) ini, baru saja selesai dipugar oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCP) Jawa Tengah, pada 22 Desember 2014 lalu. Tahun ini usia Gedung SI telah mencapai 97 tahun.
Gedung Rakyat Indonesia mulai dibangun pada tahun 1919 dan selesai dibangun pada tahun 1920. Pada masa awal didirikan, GRI kerap digunakan secara bergantian oleh berbagai organisasi dan kelompok masyarakat, antara lain yaitu Sarekat Islam, Budi Utomo, Nationaal Indische Partij, Vereeniging Spoor en Tramweg Personeel (VSTP), SI School, Partai Komunis Indonesia (PKI), Revolusioner Vaksentral, Sarekat Rakyat, kaum Tionghoa, dan masih banyak lagi. Tokoh-tokoh pergerakan awal yang menggunakan gedung itu untuk keperluan politik antara lain Semaun, Darsono, Haji Boesro, HOS Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, Alimin, Tan Malaka, Bergsma, Tjipto Mangoenkoesoemo, Douwes Dekker, dan Ki Hajar Dewantara,
Pukul 8 malam diskusi belum dimulai, pasalnya satu narasumber belum tiba di lokasi. Sembari menunggu, para peserta diskusi yang mayoritas adalah mahasiswa terlihat duduk santai di atas tikar sambil mengunyah makanan kecil yang disediakan panitia.
Tak berapa lama, Bonnie Triyana, salah satu narasumber yang adalah Pemimpin Redaksi Majalah Historia bergegas memasuki ruangan, diiringi Rukardi pendiri Komunitas Pegiat Sejarah (KPS) selaku penyelenggara diskusi. Rukardi segera membuka acara dengan sekelumit pengantar, tentang keprihatinan KPS menyaksikan situasi sosial politik Indonesia belakangan ini. Salah satu peristiwa yang penting untuk disikapi generasi muda menurut Rukardi adalah penyelenggaran Haul Soeharto pada 11 Maret 2017 lalu.
Ada Apa Dengah Haul Soeharto?
Haul Soeharto yang seharusnya diperingati pada tanggal kematiannya, justru diselenggarakan pada 11 Maret, hari peringatan Supersemar. Peristiwa Supersemar inilah yang kemudian mengantar Soeharto menjadi Presiden RI selama 32 tahun, karenanya kegiatan ini ditengarai bermuatan politis, demikian penjabaran Rukardi.
Haul Soeharto digunakan sebagai ajang glorifikasi figur Soeharto dengan memanfaatkan momentum Pilkada DKI yang mengerucut pada kampanye-kampanye dukungan berdirinya negara Islam. Figur Soeharto dikonstruksikan para pendukungnya sebagai sosok yang pro Islam, sehingga rakyat perlu kembali dipimpin oleh figur seperti Soeharto yang diejawantahkan dalam sosok calon Gubernur/Wakil Gubernur DKI yang “pro Islam”.
Mengapa harus membahas Soeharto? Menelusuri ingatan tentang Soeharto sangat penting dalam memahami perjalanan gerakan Islam di Indonesia. Menurut Rukardi, belajar sejarah mutlak diperlukan untuk melawan ingatan pendek yang menjadi penyakit utama bangsa ini.
Gaya Kepemimpinan Raja Jawa dan Pengaruhnya pada Islam
Adi Joko Purwanto, Dosen Fisipol Universitas Wahid Hasyim Semarang memantik diskusi dengan membeberkan beberapa fakta penting, salah satunya bahwa Soeharto dikenal sebagai penganut Kejawen, sehingga gaya kepemimpinan Soeharto sangat dipengaruhi oleh gaya raja-raja Jawa. Dalam pengambilan keputusan, semua hal sekecil apapun harus disetujui oleh raja, seperti itu pula gaya Soeharto saat memimpin kabinet. Pola kekuasaan yang tersentral pada figur Soeharto memiliki dampak pada Islam; semua komponen bangsa yang berpotensi melawan kekuasaan Soeharto niscaya diredam, tidak terkecuali kekuatan Islam.
Selama masa pemerintahan Soeharto, kekuatan Islam “dibonsai”. Boleh tumbuh tapi tidak besar. Joko memberi contoh, Muktamar NU ke-29 di Cipasung, Tasikmalaya Jawa Barat juga tidak luput dari intervensi Soeharto.
Seperti diberitakan portal resmi Nahdlatul Ulama (nu.or.id) dalam artikel berjudul Gus Dur dan Panasnya Muktamar NU Cipasung disebutkan bahwa muktamar ini adalah muktamar paling menegangkan dan terpanas dalam sejarah NU. NU dan sosok Gus Dur dengan segala keberaniannya ‘melawan’ pemerintah, dipandang oleh Soeharto sebagai ancaman yang paling membahayakan. Hal ini membuat Soeharto dengan kekuasaannya, ingin ‘memutus’ kewenangan Gus Dur di PBNU yang sejak tahun 1984 dipimpinnya. Soeharto melakukan berbagai intervensi dengan mendukung secara penuh salah satu calon Ketua Umum PBNU untuk melawan KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) sebagai incumbent. Untungnya, upaya ini gagal. Gus Dur tetap memenangkan kursi kepemimpinan PBNU, yang kemudian membawanya dipercaya memimpin PBNU selama 3 periode berturut-turut. Berdirinya Majelis Ulama Indonesia pada 26 Juli 1975 di Jakarta juga tidak lepas dari upaya Soeharto melegitimasi kekuasaannya, demikian ungkap Joko.
Beberapa Periode Hubungan Islam dan Negara pada Masa Orde Baru
Bonnie Triyana mengawali diskusi sesi kedua dengan melontarkan sebuah pertanyaan pada para peserta, “Siapakah sebenarnya ‘Islam’ yang dibicarakan dalam diskusi ini?” Bonnie menjawab sendiri lontarannya dengan uraian, bahwa ‘Islam’ yang dibicarakan dalam diskusi ini adalah ‘Habitat Islam Politik’ yang terdiri dari partai-partai Islam, lembaga-lembaga dakwah dan berbagai ormas Islam.
Bonnie menyoroti posisi Islam pada masa pemerintahan Soeharto yang menurutnya diperlakukan sebagai instrumen untuk mempertahankan kekuasaan. Dalam paparannya Bonnie menjabarkan “Hubungan Islam dan Negara pada Masa Orde Baru” menjadi beberapa periode. Yang pertama adalah Periode Konsolidasi pasca tahun 1965, saat itu habitat Islam politik berusaha mendekat pada kekuasaan Orde Baru, tetapi gagal. Yang kedua adalah Periode Fusi Partai (1972-1974), pada masa itu partai-partai Islam disatukan dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang didirikan pada 5 Januari 1973. Masa ini dikenal dengan ciri ketiadaan pembicaraan tentang politik, kecuali menjelang PEMILU. Soeharto mengambil pendekatan keamanan, siapapun ditumpas bila mengancam Orde Baru.
Periode ketiga adalah Periode MUI Didirikan (1975-1978); pada masa ini keterlibatan Islam dalam politik sangat dibatasi. Sedang pada periode keempat yaitu Periode Tanjung Priok (1982-1984) mulai muncul gerakan Islam yang tidak menyukai ideologi tunggal Pancasila versi Soeharto. Ketidaksukaan ini diperkuat dengan pecahnya peristiwa berdarah di Tanjung Priok, 10 September 1984.
Periode terakhir adalah Periode Kemesraan (1990- 1998); pada tahun-tahun akhir kekuasaannya, legitimasi Soeharto mulai melemah sehingga ia merasa perlu mendekat pada Islam. Sudah mulai banyak komponen masyarakat berunjuk rasa menentang Soeharto, saat itu Soeharto memutuskan membutuhkan penopang tambahan. Salah satu titik balik yang menandai kemesraan Soeharto dengan Islam adalah ketika ia merestui berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 7 Desember 1990. Di sisi lain Bonnie menggambarkan bagaimana Soeharto mulai menampilkan imaji religius dengan dukungan publikasi media ketika ia memukul bedug takbir pada Lebaran tahun 1996.
Bonnie Triyana menggarisbawahi bahwa berdasarkan catatan sejarah, Soeharto bukanlah figur yang pro Islam. Justru pada masa pemerintahan Soeharto yang terjadi adalah birokratisasi politik. Semua aspek kehidupan diatur oleh negara. Lembaga-lembaga Islam didorong tidak berorientasi pada ideologi tetapi pada program, agar mudah bersinergi dengan pemerintah.
Karena ingatan manusia Indonesia terhadap sejarahnya memang pendek, Bonnie mendorong anak-anak muda peserta diskusi untuk tidak bosan-bosannya menggali sumber-sumber otentik sejarah bangsa. Upaya-upaya kaum Neo-Orde Baru yang menciptakan hegemoni ingatan massa, harus terus menerus dilawan.
Menanggapi meme populer gambar Soeharto dengan tulisan “Piye kabare? Masih enak jamanku, to?” Bonnie berujar, kampanye semacam itu bertujuan membangkitkan romantisme rakyat semata-mata. “Yang ingin dikembalikan itu bukan kondisi pangan murah pada masa Soeharto, tapi kekuasaannya,” tegas Bonnie menutup paparan.
Yang ingin dikembalikan itu bukan kondisi pangan murah pada masa Soeharto, tapi kekuasaannya.
saya sangat setuju sekali dengan penerjemahan tsb 😀 dimana banyak diantara kawan menganggap bahwa kembali ke jaman soeharto akan membuat hidup menjadi lebih indah. Tak lain hanyalah mimpi semu 🙁 jikalau mereka berusaha untuk “sedikit” memahami pola masalalu.
Tulisan yang bagus yvonne-sibuea, salam.