Roy adalah seorang pemuda Fakfak yang beragama Kristen dan tercatat sebagai mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Fakfak, Papua Barat. Uniknya, dia menjadi Kristen karena menuruti permintaan ayahnya, seorang muslim yang saleh. Alasannya, sebelum menjadi muslim, ayahnya itu beragama Kristen. Menurut adat Fakfak, perpindahan agama entah dari Islam ke Kristen atau Kristen ke Islam harus ditukar oleh keturunannya, agar terjadi keseimbangan agama dalam riwayat keluarga.
Kisah Roy dituturkan antropolog Ronald Helwedery dalam diskusi Satu Tungku Tiga Batu: Model Keberagaman dan Rekonsiliasi Fakfak hari Jumat (28/7) yang diselenggarakan oleh Institute of Peace and Security Studies (IPSS) dengan dukungan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang dan Pengurus Wilayah Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama (PW Lakpesdam NU) Jawa Tengah; bertempat di Gedung PIP Balaikota Semarang.
“Memang sudah adatnya di Fakfak. Ibu yang dulu Islam lalu pindah ke Kristen, salah satu anaknya harus kembali ke Islam. Ayah pindah Kristen, anaknya harus ada yang kembali ke Islam. Orangtua bilang ke anak, ‘Nenekmu dulu Islam, pindah ke Kristen, dan belum ada yang ganti.’ Lalu anak pun masuk ke agama Islam. Dan mereka biasa-biasa saja,” jelas kandidat doktor Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga tersebut.
Apakah ini bukan berarti kadar beragama orang Fakfak masih rendah? Pria kelahiran Papua yang akrab dipanggil Rony ini menjawab, “Tidak juga. Masing-masing orang tetap menjalani hidup beragamanya dengan sungguh-sungguh, rajin sembahyang, dan sejenisnya.”
Rony menilai, kesadaran orang Fakfak sudah trans-agama. “Kita saja bertoleransi sering sebatas sopan santun, namun orang Fakfak ini sudah melampaui toleransi,” kata Rony. Umat Islam biasa mengajak saudaranya yang Kristen masuk ke masjid serta merayakan Lebaran, tetapi juga ikut hadir di baris terdepan gereja mendengar khotbah Natal sampai selesai. Sementara, keluarga Kristen sangat hormat pada saudaranya yang beragama Islam, sampai punya piring khusus di rumah untuk menjamu mereka karena tahu mereka tidak makan babi. Kampung Kristen bisa dikepalai oleh orang Islam.
Menurut Rony, narasi perdamaian dalam budaya Fakfak adalah kritik diam pada agama-agama besar. “Umat agama-agama besar masih sering tak konsisten, menyerukan perdamaian tapi perilakunya berperang atau saling mempermalukan. Orang Fakfak ini konsisten sekali menghidupi budaya damai. Keberagaman tidak lagi dibebani fanatisme sempit. Kalau diajak bicara yang jelek-jelek tentang agama lain, mereka tidak mau dengar, malah sangat tersinggung, karena menjelekkan agama orang lain sama seperti menjelekkan dirinya sendiri, sebab semuanya adalah saudara.”
Sejarah Kekerasan di Fakfak Masa Lampau
Agama-agama besar sudah masuk ke Fakfak sejak lama. Sejak abad ke-16, Kesultanan Ternate dan Tidore sudah mempengaruhi masyarakat pantai menjadi pemeluk Islam, sedangkan Kristen datang pada penghujung abad ke-19 bersama dengan kedatangan Belanda. Agama Islam tidak disebarkan lewat kampanye, melainkan kawin-mawin dan perdagangan. Perjumpaan antar agama besar berlangsung damai, tidak ada saling takluk-menaklukkan. Pada saat misionaris Kristen datang ke Fakfak, orang Islam yang di pantai berkata: Kami sudah beragama, mari kami antarkan ke gunung untuk mengajar saudara-saudara kami yang belum beragama.’ Sampai sekarang pun masih ada tradisi penahbisan pendeta baru diarak oleh orang-orang Islam dari pantai. Perkawinan lintas agama pun sesuatu yang biasa bagi mereka.
Namun bukan berarti Fakfak dari dulu damai. Sebaliknya, sampai awal abad XX, tanah Fakfak masih dikuasai budaya kekerasan. Bukan antar agama, tapi antar suku. Ada banyak sub-etnik dengan bahasa yang berbeda-beda di sana. Perang Hongi (1498-1808) dilancarkan lewat perang fisik maupun adu kekuatan supranatural, ada tradisi potong kepala (head hunting) dan perbudakan terhadap suku yang kalah oleh suku yang menang. Perang Hongi adalah perang sipil yang terjadi antara orang Baham dan Fak-fak melawan orang Kaimana/Namatota.
Seiring munculnya ajaran mesianisme lokal, penyebaran agama Kristen di daerah gunung Fakfak dan upaya pemerintah kolonial Belanda membangun tatanan hukum, bangkit pula inisiatif lokal untuk membangun budaya damai. “Para pemimpin kelompok dan marga itu sadar, apa gunanya berperang terus? Jadi mereka mulai membentuk aliansi-aliansi lewat sumpah bersama antar kelompok. Ini luar biasa, masyarakat sendiri yang berinisiatif untuk menciptakan kohesi dan solidaritas sosial baru,” terang Rony yang menghabiskan waktu setahun belakangan untuk hidup bersama dan meneliti masyarakat Fakfak.
Kini orang Fakfak tidak ingin lagi terjadi pertumpahan darah. Selain belajar dari sejarah masa lalu, masyarakat Fakfak pun punya karakter sangat mau belajar dari siapa saja. “Orang luar silakan mau masuk dengan membawa apapun, bahkan seekstrem apapun ajaran yang akan masuk, orang Fakfak tidak akan menolak. Tapi mereka hanya akan mengambil yang baik-baik, yang dirasa tidak baik dan tidak pas bagi mereka tidak akan mereka ambil,” papar Ronny.
Kesatuan Silsilah
Narasi perdamaian dibangun pertama-tama dengan merujuk pada kekerabatan dan kesatuan silsilah. “Bahamatta” jadi istilah payung, sebagai penanda bahwa meskipun berbeda-beda sub etnis dan agama, mereka semua berasal dari nenek moyang yang sama dari pegunungan Baham. Sedangkan istilah Matta merujuk pada orang-orang pantai yang bertemu dengan suku-suku lain, yang kemudian membentuk komunitas-komunitas pantai.
Mitos kekerabatan bahkan diperluas bukan hanya untuk orang asli Fakfak tapi juga merangkul orang luar, seperti orang Arab, Jawa, Seram, dan lain-lain. Orang Fakfak yakin bahwa orang-orang yang datang dari luar ini sebetulnya juga turunan nenek moyang mereka, terpisah karena hanyut ke tempat lain, dan kini kembali dalam wujud yang berbeda. Itu sebabnya mereka berkata, “Kalian bukan orang luar, tapi saudara.” Perasaan berkerabat pada orang luar ini makin kuat ketika orang luar itu mau ikut berpartisipasi dalam kegiatan mereka, seperti memberi sumbangan saat pesta adat.
Etika Idu-idu
“Etika ideal mereka satu saja, yakni idu-idu – hidup damai, sejahtera, aman, senang, dingin, itu etika yang mereka kembangkan setelah melewati krisis manusia yang berkepanjangan semasa Perang Hongi puluhan tahun. Mereka mencita-citakan rekonsiliasi, dan mengupayakan aliansi-aliansi antar kampung. Mereka bilang, mari kita hidup damai tenteram bersama-sama, baik satu dengan yang lain, dengan harmoni dan keterbukaan,” lanjut Rony. Perasaan yang kuat bahwa semua orang bersaudara membuat mereka sekuat tenaga menolak kekerasan. “Kami berasal dari satu keturunan, kami ini satu darah, tidak mau saling bunuh,” kata mereka. “Seperti air laut, sekalipun dipotong dengan parang, akan tetap bersatu.”
Musyawarah Bersama Kopi dan Tembakau
Orang Fakfak sangat menjunjung tinggi adat dan budaya. Bagi mereka, adat adalah yang pertama, baru agama dan pemerintah. Adat membungkus agama dan pemerintah. Mereka punya tradisi minum kopi dan mengisap tembakau bersama untuk menyelesaikan masalah. “Sambil meminum segelas besar kopi sedikit-sedikit, mereka berunding berjam-jam, bahkan bisa menghabiskan 2-3 hari untuk bermusyawarah, kita sebagai orang luar mungkin tak akan sabar mengikutinya, tapi mereka memang tidak suka buru-buru. Terburu-buru pertanda kamu punya niat tidak baik,” jelas Rony.
Budaya Bicara Berbungkus-bungkus
Adat mereka juga mencegah orang membicarakan masa lalu atau keburukan orang lain. Budaya diam Bahamatta sangat halus, bicara dengan bahasa perumpamaan yang “berbungkus-bungkus”, tidak mau tunjuk hidung kesalahan orang, dan tidak mau menceritakan yang bisa membuat orang lain malu. Menurut aturan adat, jika seseorang menerima sesuatu yang baru – misalnya pindah kampung – maka dia harus menutup lembaran lama sama sekali, dan tidak boleh bercerita apa pun tentang yang lama sekalipun dia tahu. Kalaupun hendak bercerita, harus seizin kerabat yang berwenang. Seorang adik tak bisa cerita soal sejarah keluarganya kalau kakak belum memberinya izin bicara. “Soalnya mengungkap orang punya salah dan sejarah masa lalu itu tabu, tidak boleh. Kalau sampai salah bicara tentang orang, mereka bisa mati, itu keyakinan mereka,” tambah Ronny.
Lebih lagi, kata Ronny, dalam berkomunikasi orang Fakfak sangat halus, lebih halus daripada orang Jawa. Mereka sangat mengandalkan intuisi. Budaya hikmat mereka tidak bicara dari akal ke akal, tapi mengajak masuk ke rasa. Mereka bicara berbungkus-bungkus, tidak bilang ini salah atau ini benar, hanya cerita saja. Kita diminta mengambil sendiri kesimpulan. Itu sebabnya orang luar Fakfak, bahkan yang sama-sama Papua pun, sering sulit memahami orang Fakfak.
Filosofi Satu Tungku Tiga Batu
Orang Fakfak mengumpamakan masyarakat mereka ibarat rumah. Ada teras, ada ruang publik, dan ada kamar-kamar privat untuk masing-masing agama: Islam, Kristen, dan Katolik. Perumpamaan ini berarti masyarakat lokal menerima agama-agama yang datang. Ibarat tuan rumah mereka berkata, “Mari masuk, silakan beraktivitas,” tapi mereka mengharapkan ada saling hormat terhadap ruang-rang privat dan kerjasama dalam ruang publik, sebab bagaimana pun juga semua bersaudara, seperti adik-kakak, tidak hidup sendiri-sendiri.
Filosofi rumah ini sudah teruji berulang kali. Awal tahun 2000, saat panas-panasnya politik agama, sempat datang juga perahu perang dari Maluku membawa kelompok yang ingin berjihad di Papua, membawa alat-alat perang. Komunitas Fakfak yang beragama Islam menyambut mereka dengan baik, tapi diam-diam memberi kabar pada saudara mereka di kampung Kristen, yang meneruskan lagi kabar itu ke pemerintah setempat. Datanglah aparat menangkap para pendatang itu. Semuanya berlangsung tanpa ribut-ribut.
Begitu juga saat ada kontroversi kampanye Fakfak hendak dijadikan Serambi Madinah untuk menandingi kampanye Manokwari sebagai Kota Injil. Masyarakat setempat tidak mau membantah, tapi punya cara sendiri untuk mengkanalisasi ketegangan. Mereka bicara dengan perumpamaan, “Mengapa kami tuan rumah dikasih duduk di teras? Teras itu kan untuk bicara sambil lalu, kita maunya bicara dari hati ke hati.” Hanya saja penduduk yang jauh dari Fakfak, khususnya di Jawa, karena tidak tahu filosofi Fakfak ada yang menyikapi emosional kampanye-kampanye itu, yang sebetulnya tidak didukung oleh orang Fakfak sendiri.
Sejak tahun 2000, filosofi ini dirumuskan secara resmi oleh pemerintah daerah dengan nama “Satu Tungku Tiga Batu”. Filosofi Satu Tungku Tiga Batu merupakan pengejawantahan adanya tiga batu, yakni kehidupan bergama di Fakfak: Islam, Protestan, dan Katolik. Ketiga agama tersebut yang menjadi penyangga “tungku” agar tidak timpang dan tetap kokoh. Masyarakat Fakfak menyebut ketiga agama tersebut sebagai agama keluarga.
Menurut Rony, inisiatif politik pemerintah daerah tersebut dalam rangka memberikan kerangka relasi lintas agama sebagai basis pengembangan kehidupan berpermerintahan dan bermasyarakat. “Satu tungku tiga batu ini modal kultural, slogan utama di Fakfak yang sangat baik, hanya tantangannya adalah jangan orang bicara Satu Tungku Tiga Batu tanpa memahami etika ideal masyarakat Fakfak,” ujar Ronny. Dia menegaskan bahwa Satu Tungku Tiga Batu hanya bisa terpelihara apabila filosofi dasar kedamaian, inklusif, keselarasan, keseimbangan, kesetaraan, kesejahteraan, serta keterbukaan dan ketulusan menjadi dasar dan penuntun tatanan masyarakat multi agama dan multi kultur.
Editor: Yvonne Sibuea