Surakarta, Kabar EIN – “Mengapa di Indonesia banyak orang bergelar tinggi, bahkan guru-guru besar, malah anti-kebhinnekaan dan mempromosikan fundamentalisme serta radikalisme?,” demikian lontaran antropolog Sumanto Al Qurtuby saat menjadi narasumber seminar “Hidup Bertoleransi dalam Kebhinneka-Tunggal-Ika-an” helatan Badan Musyawarah Antar Agama Lembaga Keagamaan Kristen Indonesia (BAMAG LKKI). Seminar ini digelar di Auditorium Sekolah Tinggi Teologi (STT) Intheos, Surakarta pada Sabtu (15/7) lalu.
Sumanto berpendapat, menjadi ekstremis dan penyiar kebencian adalah pilihan masing-masing individu. “Kitab suci itu teksnya lengkap. Ada ayat yang membawa pesan damai, ada ayat tentang berperang, tinggal pembacanya memilih. Kalau diibaratkan mal, semua ayat ada dalam kitab, tinggal kita mau belanja yang mana?” seloroh Kang Manto, panggilan akrabnya.
Dosen Antropologi Budaya King Fahd University Arab Saudi ini lantas memberi contoh; saat umat Islam dan Kristen saling berkonflik, orang Kristen bisa memilih mau memegang ayat tentang figur Musa yang kuat dan menyerang, atau ayat tentang figur Yesus yang lemah lembut. Sementara, umat Islam juga bisa memilih, mau memilih ayat-ayat tentang jihad atau tentang persahabatan.
Kang Manto terus terang merasa prihatin pada cara pandang sebagian umat beragama yang terlalu sempit. “Ada orang yang sudah Islam, tapi tetap saja dikafirkan. Menurut mereka, tidak cukup jadi Islam kalau belum masuk golongan mereka. Begitu juga di kalangan Kristen. Beda gereja lantas dibilang nggak masuk surga, masuknya neraka. Hidup ini sederhana kok malah dibuat rumit oleh pemeluk agama,” ujarnya.
Setiap hari berinteraksi dengan banyak pengikut di media sosial, Kang Manto menilai ada dua kategori orang “radikal”. Kelompok pertama yang jumlahnya lebih banyak adalah orang yang hanya ikut-ikutan, bersuara keras karena mengikuti figur tertentu, tapi sebetulnya tidak paham. Kelompok kedua, orang yang memang memilih untuk bersikap ekstrem. “Mengedukasi kelompok pertama lebih mudah karena mereka tidak memiliki fondasi intelektual, tidak stabil,” simpulnya.
Jika diamati, masyarakat Indonesia memang punya ciri khas terlalu mudah terpesona pada segala sesuatu yang berbau asing, sehingga gampang ikut-ikutan. Mulai dari tren sinetron Amerika Latin, India, Korea Selatan, hinggaTurki. Dalam hal beragama pun fenomena ikut tren terjadi.
“Ada orang berjubah, semua ramai-ramai ikut berjubah. Ada yang berjenggot, lantas pada ikut berjenggot. Padahal kalau ditanya belum tentu paham secara mendasar mengapa ia berjubah atau berjenggot. Ormas-ormas keagamaan internasional pun diimpor kemari karena kagum,” ulas pria kelahiran Batang yang pada 2016 lalu meluncurkan buku berjudul Dialog Agama dan Peradaban.
“Bukan berarti berjenggot atau berjubah itu salah,” lanjut Kang Manto. Menurutnya, yang keliru itu adalah jika seseorang tidak bisa memilah aspek budaya dan politik dari esensi agama, lantas melakukan pemaksaan agar orang lain menjadi seperti dia. “Kita harus belajar memahami orang lain dari perspektif orang lain, menghormati keanekaragaman ekspresi keagamaan dan kebudayaan masyarakat,” pesannya.
Sikap pluralis dimulai dari kemauan untuk memperbesar persamaan dan memperkecil perbedaan. Alumni Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang ini punya tips agar umat beragama lebih bisa santai menghadapi perbedaan. Titik awalnya adalah mengekspos mereka pada kebhinnekaan di dalam tubuh agama mereka sendiri.
“Santri itu tumbuh jadi pluralis apabila sejak di pesantren diperkenalkan pada berbagai keanekaragaman pendapat dalam tradisi Islam. Sebaliknya, orang jadi tidak toleran karena tidak berusaha mengelaborasi pemahaman dari mazhab-mazhab di luar kelompoknya,” simpul Kang Manto di penghujung acara.
Editor: Yvonne Sibuea