Share the knowledge!

Semarang, Kabar EIN – Warga Ngobrol Bareng tentang Hak Asasi Manusia (Waroeng HAM) seri ke-8 digelar di Gedung LPUBTN, Kawasan Kota Lama Semarang pada Jumat, (23/6). Empat pembicara diundang mengupas tema “Pancasila dalam Menghadapi Intoleransi” dari berbagai sisi.

Para pembicara adalah budayawan Semarang sekaligus dosen tamu Universitas Negeri Semarang (UNNES), Gunawan Budi Susanto (Kang Putu), Ketua DPRD Kota Semarang, Supriyadi, Peneliti Senior Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLsa) Semarang, Tedi Kholiluddin serta Umi Ma’rufah dari Jaringan Gusdurian Semarang.

Mewakili panitia, Elisa Widyastuti memaparkan bahwa tema ini dipilih karena dinilai sesuai dengan keadaan bangsa Indonesia saat ini. Memanasnya situasi politik terkait Pilkada DKI tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Dunia maya menjadi ajang caci maki, bahkan kemudian marak terjadi tindakan persekusi di berbagai wilayah Indonesia. Pancasila sebagai ideologi negara diwacanakan untuk diubah oleh sementara kalangan.

Festival Sebagai Penyumbang Perdamaian

Menyikapi gonjang ganjing politik nasional, dan membandingkan situasi Semarang dengan ibukota Jakarta, Kang Putu berpendapat sulit rasanya membuat Semarang menjadi kota yang tidak lagi damai. “Semarang ini masih sangat damai karena mempunyai banyak festival, terlebih festival kecil-kecilan,” ungkapnya.

Selama ini Kang Putu selalu menolak anggapan bahwa Semarang adalah kota dagang yang kering nilai kesenian. “Dalam nyadran, iriban, sedekah bumi, ada kesenian di sana, ada resolusi konflik di sana,” urainya.

Bagi Kang Putu, proses berdialog, saling bertatap muka adalah proses resolusi konflik yang bisa didapat dari berbagai festival. “Apalagi pada tahap rembugan dan urunan (musyawarah dan iuran) warga dalam mempersiapkan festival. Semakin banyak penyelenggaraan festival akan memungkinkan suatu kota tetap damai,” Kang Putu menyampaikan keyakinannya. Ia mengaku resah, karena budaya rembugan bertatap muka mulai tergantikan dengan percakapan di media sosial.

Merespon apa yang disampaikan Kang Putu, Ketua DPRD Kota Semarang Supriyadi juga menegaskan komitmen bahwa dirinya akan berusaha sekuat tenaga mencegah organisasi ekstrem masuk ke Semarang, “Tentunya saya butuh bantuan seluruh lapisan masyarakat, ayo jaga Semarang agar tetap seperti ini, damai dan harmonis.”

Optimis dengan Pancasila

Peneliti senior eLSA Tedi Kholilludin menyatakan bahwa optimisme harus terus dikampanyekan karena Indonesia punya Pancasila. “Saya termasuk yang optimis kalau toleransi di Indonesia akan membaik.” Tedi membandingkan berbagai negara yang larut dalam konflik karena tidak mempunyai konsep Pancasila sebagai pemersatu bangsa. Pancasila bagi Tedi adalah alarm kebangsaan, alarm ini akan berbunyi jika ada berbagai masalah yang mengancam kesatuan bangsa.

“Dalam kajian sosiologi agama, Pancasila ini dikategorikan sebagai agama sipil, ia mempunyai fungsi sosial sebagai pengikat seluruh masyarakat yang plural menjadi satu kesatuan,” ujar Tedi penuh semangat.

Terakhir dia berpesan agar umat Islam di Indonesia hendaknya jangan menggunakan kosmologi Timur-Tengah, agar terhindar dari pandangan bahwa Nasrani dan Yahudi haruslah dimusuhi “Jadi keimanan orang Islam di Indonesia hendaknya bangga dengan ucapan: aku orang Indonesia yang beragama Islam, bukan malah sebaliknya,” ungkap Tedi mengakhiri pemaparannya.

Sementara perwakilan Jaringan Gusdurian, Umi Ma’rufah berpendapat perlu ada pertemuan intens antar pemuda lintas agama. “Komunikasi antar agama itu penting,  apalagi bagi anak muda. Kita harus sesering mungkin bersentuhan dengan fakta lapangan bahwa kita ini masyarakat plural,” tegasnya.

Facebook Comments

Share the knowledge!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *