“Sebenarnya masalah LGBT bukanlah wacana baru, fenomena ini sudah ada sejak zaman pra-Islam,” tutur Khoirul Anwar dari Lembaga Studi Sosial dan Agama (ELSA) Semarang saat menyampaikan materi pada diskusi Waroeng HAM bertema “Minoritas Seksual dan Permasalahan Hukumnya”. Diskusi ini digelar pada Senin, (19/12) di Impala Space, kawasan kota lama Semarang. Waroeng HAM adalah acara diskusi rutin yang diinisiasi oleh LBH Apik Semarang dan Persatuan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Jawa Tengah
“Literatur sejarah Islam biasanya menyebut LGBT sebagai mukhanats. Lelaki yang punya tabiat keperempuan-perempuanan. Mukhanats sering dipanggil ke berbagai acara sebagai pengisi hiburan, dan mereka mendapat bayaran dari penanggap,” ujar Khoirul.
Khoirul berpendapat bahwa LGBT sejak lahir itu tidak mengapa, yang tidak diperbolehkan adalah yang dibuat-buat. “Karena mukhanats sering mendapat bayaran seusai ditanggap, banyak orang yang iri kemudian menjadi mukhanats palsu demi mendapat uang. Bahkan ada orang yang sengaja ingin mendekati istri nabi dengan menjadi mukhanats palsu, orang yang seperti itulah yang dilaknat Nabi Muhammad dalam konteks mukhanats,” tambah Khoirul. Ia menekankan, jika ada hadits yang menghujat mukhanats, maka harus dipahami konteksnya terlebih dulu.
Khoirul beranggapan bahwa kerasnya penolakan masyarakat harus diimbangi dengan mengangkat sisi religius individu LGBT. “Kita seharusnya mampu mengekspos sisi religius LGBT, karena dalam masalah agama mereka sering terkena stereotip yang buruk. Jika kita mampu mengekspos pasti masyarakat akan beda sikapnya,” kata Anwar menyimpulkan akhir diskusi
Dr.Dra.Hastaning Sakti, M.Kes, Psikolog, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro juga sependapat dengan Khoirul. Menurut Hastaning, jika hal tersebut sudah menjadi kodrat, maka masyarakat harus secara terbuka menerima LGBT. “Kalau sudah LGBT sejak lahir, maka itu bukan lagi masalah psikologi, tetapi ranah neuorologi. Berbeda bila seseorang menjadi LGBT karena pengaruh keluarga dan atau lingkungan, itu masalah psikologi,” ujar Hastaning.
Menurut Hastaning, tekanan dari keluarga membuat beberapa individu LGBT yang menjadi kliennya pernah melakukan percobaan bunuh diri. “Kita seharusnya bisa membantu mereka menentukan dan menunjukan identitasnya, karena aktualisasi diri itu penting. Mereka sering dianggap tidak normal oleh masyarakat, sehingga mendapat perlakuan yang tidak sama. Kita harus mendekati mereka dengan penuh rasa kemanusiaan” imbau Hastaning di akhir paparannya.
Editor: Yvonne Sibuea