“Oh, ternyata dulu Parakan pernah menjadi ibukota kabupaten..”
“Di sini to makamnya Kyai Parak yang namanya jadi cikal bakal nama Parakan..”
“Wah, ternyata kita dulu pernah mempunyai seorang pendekar kungfu yang terkenal ya..”
Itulah sebagian reaksi masyarakat Parakan mengenai kota kecamatan yang membawahi 17 kelurahan itu. Hal-hal tersebut terungkap dalam rangkaian acara Grebeg Parakan yang diadakan 6 – 9 November 2019 lalu. Parakan yang selama ini identik hanya dengan tembakau, bambu runcing dan rumah-rumah tua Tionghoa ternyata menyimpan sejarah yang cukup penting dalam bidang budaya dan perjuangan bangsa.
“Seluruh masyarakat Kabupaten Temanggung berhutang pada kota Parakan, karena Parakan merupakan tonggak sejarah berdirinya Kabupaten Temanggung.” Demikian ditegaskan oleh H. Muhammad Al-Khadziq, Bupati Temanggung pada pembukaan menyambut rangkaian acara Grebeg Parakan Rabu, 6 November 2019 lalu. Sejarah mencatat, 185 tahun yang lalu seusai Perang Diponegoro/Perang Jawa, ibukota Kabupaten Menoreh berpindah dari kota Parakan ke kota Temanggung. Nama kabupatennya pun berubah menjadi Kabupaten Temanggung.
Untuk itulah sebagai penghormatan dan rekonstruksi sejarah, Pemkab Temanggung menginisiasi Grebeg Parakan. Tahun ini adalah tahun kedua diadakannya grebeg. Tahun lalu saat pertama kali diadakan, acara Grebeg hanyalah berupa kirab “Boyong Menoreh”, yaitu pawai membawa pusaka dari Parakan ke Temanggung. Tahun 2019 ini skala acaranya diperbesar, dengan menampilkan beragam kegiatan seperti pentas seni, pameran segala potensi masyarakat Parakan (kota dan desa), wisata dan sarasehan sejarah, serta kirab “Boyong Menoreh” sebagai puncak acara.
Parakan adalah sebuah daerah yang unik. Pedesaannya terkenal dengan produk pertanian, ditandai dengan keberadaan Pasar Legi yang merupakan pasar besar, yang selain menjual produk dan hasil olahan produk pertanian, juga menyediakan pendukungnya seperti peralatan tani dan bibit. Kotanya juga unik, karena walau terletak di pedalaman namun terdapat komunitas Tionghoa yang cukup besar, yang biasanya hanya menjadi ciri khas kota-kota pesisir Jawa.
Dalam kancah perjuangan bangsa pun, Parakan mempunyai peran melalui bambu runcing. Senjata tradisional yang populer digunakan tentara rakyat dalam perang gerilya ini lekat dengan nama Parakan karena Kyai Subchi, seorang kyai karismatik yang mempunyai kemampuan menyepuh bambu runcing dengan doa-doa Islami.
Keberagaman latar belakang ini melahirkan suatu pola hidup (budaya) yang unik. Hal inilah yang ingin dipertahankan, bahkan diperkuat, melalui Grebeg Parakan. Seperti dikatakan oleh KH. Mustahal Nasucha, yang akrab dipanggil Gus Tahal – pengasuh Pondok Pesantren Salafie Darul Ulum, sekaligus Ketua Panitia Grebeg Parakan 2019 – bahwa “Parakan bukanlah milik satu golongan, etnis ataupun agama. Melainkan milik kita bersama”.
Kalaupun pada pelaksanaannya, terutama pada saat kirab “Boyong Menoreh” terasa lebih kental budaya Jawanya, hal itu bisa dimaklumi. Pertama, karena sejarah “Boyong Menoreh” adalah peristiwa dalam lingkup Parakan sebagai sebuah entitas politik di bawah kerajaan Jawa yaitu Mataram. Kedua, Grebeg ini baru pertama kali dibuat dalam skala besar, sehingga panitia nampaknya juga sedang mencari-cari format yang pas untuk merangkul semua pemangku kepentingan Parakan.
Gus Tahal dalam acara ramah tamah di Rumah Gotong Royong – rumah tempat sang pendekar kungfu Louw Djing Tie menumpang – sempat mengungkapkan harapannya, agar di masa mendatang teman-teman dari komunitas Tionghoa bisa terlibat lebih intens melalui acara Grebeg ini. Bagaimana pun Parakan ini adalah milik bersama.
Di samping itu, pagelaran budaya yang mengangkat nilai-nilai lokal dinilai efektif menangkal paham fanatisme keagamaan dan intoleransi. Sehingga diharapkan masyarakat Parakan bisa lebih solid dalam menyikapi dan menghadapi kecenderungan sektarianisme yang berkembang akhir-akhir ini di Indonesia.