“Pemimpin haruslah mampu mendengar apa yang ada di dalam batin yang dipimpin. Kalau sekedar ora korupsi, ora ngapusi tapi malah mateni wargane*, itu namanya Gubernur Lamis*,” pekik Gus Nuril dengan nada meninggi sambil mengacung-acungkan telunjuknya ke arah Kantor Gubernur Jawa Tengah.
Gus Nuril secara terbuka memperlihatkan kegeramannya terhadap Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, yang tidak segera menutup pabrik semen milik PT. Semen Indonesia pasca putusan Mahkamah Agung yang memenangkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) warga dengan Keputusan No.99/PK/TUN/2016, yaitu pencabutan izin lingkungan penambangan PT Semen Indonesia di Rembang.
Aksi Gus Nuril dalam acara “Doa Lintas Agama untuk Solidaritas Kendeng” pada Rabu 4 Januari ini, sekaligus bertepatan dengan hari ke-17 warga Rembang menggelar aksi penolakan pabrik semen di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah. Dipayungi oleh Gunretno, pimpinan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), Gus Nuril melancarkan orasi dengan sesekali menyeka keringat di dahinya yang terterpa sinar matahari dalam posisi tegak lurus. Gamis yang dikenakannya basah oleh keringat, tetapi pengasuh Pondok Pesantren Soko Tunggal ini tidak terlihat lelah.
Dalam orasinya, Gus Nuril menantang Ganjar Pranowo untuk beradu debat terbuka dalam menyikapi permasalahan ini. Kyai yang tak enggan berceramah di tempat ibadah umat agama lain ini berharap PDIP sebagai partai pengusung Ganjar Pranowo bertanggungjawab. “Kalau sudah begini, Presiden harus tanggung jawab, bahkan PDIP sebagai partai pengusung juga harus terlibat. Seharusnya pemimpin membela warganya, membela wong cilik, membela Marhaen! Mereka (warga pegunungan Kendeng) inilah Marhaen yang sesungguhnya, yang dulu diperjuangkan oleh Bung Karno,” teriak Gus Nuril, diiringi alunan saksofon dari Romo Aloysius Budi Purnomo.
Wajar jika Gus Nuril mengkritik Ganjar Pranowo sebagai gubernur yang tidak mau mendengar isi batin warganya, karena selama 17 hari warga Rembang melakukan aksi di depan kantor gubernur mereka ditampung untuk bermalam di Ponpes Soko Tunggal yang diasuhnya. Setiap malam Gus Nuril dan para santrinya menyaksikan secara langsung penderitaan warga Rembang tersebut. Mereka bertekad pantang pulang sebelum keadilan ditegakkan, meski harus meninggalkan pekerjaan dan keluarga mereka dalam kurun waktu yang belum diketahui.
Selama 17 hari itu juga Gus Nuril dan JMPPK Kota Semarang bahu membahu menyediakan makanan dan minuman bagi warga. Tak aneh, Kyai kelahiran Gresik ini memahami luar dalam perasaan warga Rembang yang tengah berjuang menegakkan keadilan.
Berpihak pada Rakyat Kecil
Gus Nuril tidak sendirian, acara “Doa Lintas Agama untuk Solidaritas Kendeng” yang diinisiasi JMPPK tersebut dihadiri juga oleh Ketua PBNU KH Imam Azis; Dosen UIN Walisongo Semarang, Ubaidillah Achmad; Ketua Komisi Hubungan Antar Agama Keuskupan Agung Semarang, Romo Aloysius Budi Purnomo; sementara dari Jemaat Allah Global Indonesia, ada sahabat Gus Dur Pdt. Tjahjadi Nugroho; Pdt. Samuel dari Jemaat Kristen Indonesia Light Church Semarang; Pdt. Iman Firman dan Pdt. Andi dari Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) Semarang. Para pemuka agama yang hadir ingin menunjukan bahwa perjuangan warga Rembang patut mendapat dukungan penuh dari berbagai kalangan masyarakat. Dukungan para pemuka agama menunjukkan bahwa mereka tidak saja sibuk mengurus ritual agama, tetapi juga peduli pada fenomena sosial yang terjadi di sekitar mereka.
Acara Doa Lintas Agama diakhiri dengan pembacaan doa dari masing-masing pemuka agama. Mewakili Kristen, Pdt. Tjahjadi Nugroho dalam doanya mengingatkan bahwa manusia adalah tempat lupa, maka sudah sewajarnya jika pemimpin harus selalu diingatkan. Pendeta yang juga pendiri Asosiasi Pendeta Indonesia (API) ini berpesan bahwa pemimpin sudah seharusnya “eling” kepada rakyat. Pdt. Tjahjadi mendoakan agar Tuhan selalu memberi kekuatan kepada warga Rembang dan segenap pendukung aksi agar terus mampu memperjuangkan keadilan.
Sementara, Romo Budi, menyatakan bahwa sudah seharusnya pemuka agama berpihak pada rakyat kecil. “Ketika perjuangan mereka secara hukum telah menang di tingkat MA namun mereka tidak kunjung mendapat keadilan, maka hal ini menjadi sesuatu yang sangat ironi. Maka kami (tokoh lintas agama) berada di sisi warga yang menjadi korban ketidakadilan,” pungkas Romo Budi sembari merapikan saksofon menjelang selesainya acara Doa Lintas Agama.
Sebelum perhelatan diakhiri, Gunretno bersama ibu-ibu Kendeng membawa makanan brokohan* sebagai simbol usaha membuka hati Ganjar Pranowo. “Ini ada brokohan hasil masakan warga, semoga harapan warga agar Pak Ganjar terbuka hatinya dan segera menaati amanat putusan MA segera menjadi kenyataan”, ujar Gunretno.
Di tengah peserta aksi antre mendapat jatah makan dari brokohan yang dibagikan ibu-ibu peserta aksi, Gus Nuril membacakan do’a dari ashabul Khafi, doa yang dalam Islam diperuntukkan supaya rakyat kecil terlindungi dari kedzaliman para pemimpin. Seperti biasa, warga kembali membersihkan lokasi aksi usai brokohan habis dibagikan kepada peserta aksi siang itu.
Catatan editor:
1. ….ora korupsi, ora ngapusi tapi malah mateni wargane…. (Terjemahan bebas dari bahasa Jawa: tidak korupsi, tidak membohongi tapi malah membunuh warganya). Dikutip dari jargon yang diusung pasangan Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko pada Pilkada Jawa Tengah 2013; “Mboten Korupsi, Mboten Ngapusi” (Tidak Korupsi, Tidak Membohongi).
2. Lamis (hanya di mulut saja, suka mengobral janji)
3. Brokohan (barokahan, upacara mengucap syukur)
Editor: Yvonne Sibuea