Ulasan Buku

Judul buku: Dr. Oen – Pejuang dan Pengayom Rakyat Kecil
Penulis: Ravando
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit: 2017
Tebal: xxxii + 272 halaman

Nama dr. Oen adalah satu nama yang tak asing dalam dunia medis Indonesia. Bagi masyarakat umum, mungkin nama tersebut hanya berasosiasi dengan nama sebuah rumah sakit di Surakarta. Namun bagi masyarakat Surakarta, nama dr. Oen mempunyai tempat istimewa di hati. Dokter Oen adalah sesosok dokter yang benar-benar mencerminkan tugas dan kewajiban seorang dokter yaitu menyembuhkan sakit pada semua orang tanpa memandang latar belakang apapun.

Oen Boen Ing, nama lengkap dr. Oen, adalah anak seorang pedagang tembakau asal Salatiga, Oen Hwie An, yang lahir pada tanggal yang istimewa yaitu tanggal 3 bulan 3 tahun 1903. Sejak muda Boen Ing sudah diproyeksikan ayahnya untuk suatu saat menggantikan dirinya meneruskan usaha keluarga tersebut.

Walau kecukupan finansial sudah pasti terjamin di masa depannya, namun Boen Ing dengan halus menolaknya. Ia ingin jadi dokter. Sejak usia dini, sekira 6-7 tahun, Boen Ing sudah menunjukkan ketertarikan pada dunia pengobatan. Ia sering mengamati dan membantu kakeknya, seorang sinshe (tabib tradisional Tionghoa) terkenal di Salatiga – memeriksa dan mempersiapkan obat-obat ramuan untuk pasien. Dan yang sangat membekas di hatinya adalah, kakeknya tak pernah menarik bayaran atas jasanya. “Tuhan akan memberikan rezeki pada kita selama tangan kita melayani, selama hati kita dipenuhi rasa cinta,” jawab sang kakek ketika cucunya menanyakan perihal itu. Dan rupanya ucapan itu terus terngiang di hati Boen Ing, karena sampai akhir masa praktiknya ia juga tak pernah meminta bayaran.

Profesi dokter pada masa Hindia Belanda bukanlah sebuah profesi yang mentereng seperti pada masa sekarang. Pada masa itu menjadi pejabat pemerintah, profesi hukum (pengacara) atau bidang keteknikan (insinyur, arsitek) dipandang lebih menjanjikan karena bisa jenjang kariernya jelas dan relatif singkat. Sedangkan dokter, selain masa studinya lama (sampai dengan 10 tahun), setelah lulus pun, gaji yang didapat tidak lebih besar dari, misalnya, seorang wedana.

Itulah mungkin yang menjadi alasan keluarga Oen Boen Ing menentang niatannya untuk menjadi dokter. Bahkan kakeknya sendiri menentang. Pikirnya kelak cucunya itu hanya akan akan membebani orang sakit. Tapi Boen Ing tetap berkeras pada pendiriannya. Maka dengan setengah hati orang tuanya merelakan putra sulungnya itu berangkat ke Batavia.

Di Batavia, Boen Ing memulai kuliah di STOVIA (School tot Opleiding van Inlands Artsen / Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi) pada usia 19 tahun di tahun 1922. Nampak bahwa Oen Boen Ing adalah seorang yang tak hanya menaruh minat pada bidang studinya saja. Ia juga menaruh perhatian pada isu sosial dan politik. Salah satunya adalah pada gerakan nasionalisme Tiongkok, yang baru saja menumbangkan monarki sebelas tahun sebelumnya. Boen Ing aktif di Chung Hsioh (Perhimpunan Pelajar Tionghoa). Ia banyak menulis artikel di media informasi organisasinya dan mengritisi berbagai keadaan seputar perkembangan sosial dan politik di Tiongkok dan di kalangan orang Tionghoa di Hindia-Belanda.

Pada tahun 1924 muncul Jang Seng Ie sebagai rumah sakit non-Eropa pertama di Hindia Belanda. Sebagai sebuah lembaga kesehatan yang lebih banyak bersifat sosial, maka operasional rumah sakit Jang Seng Ie banyak tergantung dari sumbangan para donatur. Namun pada masa-masa tahun 1925-1929 rumah sakit ini menderita karena adanya masalah internal dan eksternal (hal. 57). Dan pada masa-masa inilah Oen Boen Ing ikut masuk menjadi salah satu pengurus. Bergabung pada masa sulit seperti itu sekali lagi menunjukkan kepedulian sosial sosok Oen Boen Ing.

dr. Oen muda dan para koleganya

Pada tahun 1932, tepat sepuluh tahun masa studi, Oen Boen Ing lulus dan berhak menyandang titel “dr.” di depan namanya. Dari Batavia dr. Oen membantu praktik di sebuah klinik di Kediri. “Pilihan dr. Oen untuk mengabdi di Jang Seng Ie -Batavia dan poliklinik Gie Sing Wan – Kediri jelas bisa dibilang merupakan keputusan berani yang sarat idealisme. Ditinjau dari segi finansial, menjadi dokter di di rumah sakit/poliklinik yang dikelola yayasan Tionghoa akan lebih tak menentu pemasukannya bila dibadingkan dengan mereka yang memilih bekerja sebagai dokter pemerintah, maupun dokter swasta.” (hal. 74). Toh dr. Oen tetap menjalaninya dengan senang hati. Dan bisa dilihat nantinya dalam perjalanan hidup berikutnya, dr. Oen tetap konsisten dengan hal ini.

Selama di Kediri, selain mengasah kemampuannya sebagai dokter muda, dr. Oen juga mendapatkan ‘hasil’ lain, yaitu pasangan hidupnya. Corrie Djie Oen Nio, yang merupakan putri dari Kapiten Tionghoa Kediri, Djie Thay Hien, menjadi istri yang menemaninya terus hingga akhir hayatnya. Dan setelah enam tahun mengabdi di Kediri, dr. Oen berkeinginan membuka praktik sendiri di Surakarta. Pada tahun 1935 secara resmi ia berpisah dengan masyarakat Kediri dan berpindah ke Surakarta. Di kota inilah dr. Oen melakukan karya-karya kemanusiaan sampai dengan akhir masa hidupnya.

Pada paruh pertama abad ke-20, masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda terbagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan yang berorientasi ke negeri leluhur; baik yang mendukung gerakan nasionalisme Kuomintang ataupun yang menentang, golongan yang berorientasi kepada pemerintah Hindia Belanda dan golongan yang mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Dukungan Nyata dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Sekalipun saat menempuh studi kedokteran, dr. Oen menaruh simpati pada pergerakan nasionalisme Tiongkok, namun kelak di masa-masa kemerdekaan Republik Indonesia dan revolusi fisik 1945-1949, dr. Oen sudah menentukan sikap, yaitu pro-Republik Indonesia. Walau dalam buku ini tak diungkapkan jelas apa yang menjadikannya beralihnya pendirian tersebut, tetapi dr. Oen menunjukkan kesungguhannya melalui tindakan nyata. Sebagai seorang dokter, dr. Oen melayani siapa saja untuk berobat, termasuk di dalamnya adalah para pejuang kemerdekaan Indonesia. Dan tak jarang ia menyabung nyawa di bawah ancaman Belanda, mendatangi tempat-tempat di mana para pejuang yang sakit atau terluka itu berada, karena untuk datang ke kediamannya jauh lebih berbahaya. Bahkan dr. Oen juga berjasa dalam memasok penisilin bagi Jenderal Sudirman selama masa gerilya.

Orang Tionghoa di Indonesia seringkali dipersepsikan tidak nasionalis, eksklusif, kikir. Dokter Oen menggugurkan semua anggapan itu. Di alinea atas telah disebutkan bukti nasionalismenya. Sedang sikap tidak eksklusif ia tunjukkan dengan melayani semua lapisan masyarakat dengan tidak memandang latar belakang etnis, agama maupun ekonomi.

“Dokternya Orang Arab”

Dua bukti berikut menunjukkan keluasan pergaulan dr. Oen. Yang pertama adalah dengan masyarakat Arab Surakarta. Berawal dari urusan perobatan beberapa orang Arab di sekitar Pasar Kliwon, Surakarta. Lambat laun, banyak dari komunitas ini yang berobat kepada dr. Oen, sampai-sampai mendapat julukan “dokternya orang Arab”. Di kemudian hari, ketika RS Panti Kosala yang diasuh dr. Oen membutuhkan sokongan dana untuk pembangunannya, komunitas Arab di Surakarta pun terlibat aktif. Bahkan salah satu tokohnya – Alie Mohamad Soengkar – disebut sebagai salah satu pendiri rumah sakit yang sekarang dikenal sebagai RS dr. Oen.

Dianugerahi Gelar Kehormatan

Bukti kedua cairnya relasi dr. Oen dengan orang-orang di sekitarnya adalah perannya menjadi dokter pribadi Pura Mangkunegaran sejak tahun 1944. Bahkan dr. Oen dipercaya untuk menangani langsung proses persalinan K.G.P.A.A Mangkunagoro IX dan saudara-saudaranya.

Dan atas pelayanannya tersebut, dr.Oen dianugerahi sebuah gelar kehormatan Kanjeng Raden Tumenggung Oen Boen Ing Darmohoesodo oleh Sri Mangkunegoro VIII. Kemudian pada 24 Januari 1993 Sri Mangkunegoro IX menaikkan gelar dr. Oen menjadi Kanjeng Raden Mas Tumenggung Haryo (KRMT) OBI Dharmohusodo. Nama OBI merupakan singkatan dari nama Oen Boen Ing.

Ia juga mendapatkan penghargaan Satya Lencana Bhakti Sosial dari pemerintah Republik Indonesia pada 30 Oktober 1979 karena jasa-jasanya dan pengabdiannya yang tanpa pamrih kepada masyarakat.

Dicintai Warga Surakarta

Maka tak heran, mengingat segala jasanya, nama dr. Oen diabadikan menjadi nama rumah sakit yang sebelumnya bernama Panti Kosala, rumah sakit yang diasuhnya sejak tahun 1935. Dan ketika dr. Oen meninggal dunia pada tahun 1982, puluhan ribu masyarakat Surakarta mengantarkan jenazahnya menuju krematorium. Ini suatu fenomena yang menarik, karena di Surakarta dikenal relasi antara etnis Tionghoa dan Jawa kurang harmonis. Apalagi dua tahun sebelumnya, tahun 1980, terjadi kerusuhan rasial di Surakarta yang merembet ke kota-kota sekitarnya, bahkan hingga mencapai Semarang.

Sisi Personal dr. Oen

dr. Oen Boen Ing dan istri Corrie Djie Oen Nio || Foto: genie.com

Menurut saya, akan lebih mengena lagi jika buku ini juga memuat sisi-sisi kehidupan pribadi dr. Oen. Baik itu kehidupan masa muda di luar kuliah maupun organisasi, atau mungkin romansa dengan (calon) istrinya, atau relasinya dengan keluarganya, bagaimana tanggapan orang tuanya setelah Oen Boen Ing menjadi seorang dokter, dan sebagainya.

Saya pikir dengan memasukkan kisah-kisah pribadi, bahkan jika mungkin kegagalan atau hambatan yang ditemui, sosok dr. Oen akan lebih ‘membumi’. Pembaca akan lebih memiliki relasi akrab dengannya, dengan mengetahui bahwa seorang Dr. Oen yang hebat dan berbudi luhur itu pun adalah seorang manusia biasa yang tidak terlepas dari hal-hal keseharian dan pribadi.

Stereotip Buruk terhadap Etnis Tionghoa Tidak Berlaku

Menghadirkan sosok dr. Oen melalui buku ini menjadi penting dalam rangka menginspirasi kehidupan sosial tak hanya di Surakarta, namun di Indonesia. Ravando, penulis buku ini, adalah seorang sejarawan muda dari Universitas Gajah Mada. Ia menaruh minat pada studi-studi, antara lain, tentang etnis Tionghoa dan sejarah kesehatan. Dua isu yang menyatu dalam hidup dr. Oen.  Dan seperti sempat disinggung juga oleh Ravando pada beberapa bagian di buku ini, bahwa etnis Tionghoa sudah telanjur dicap sebagai antek Belanda dan tidak nasionalis (pada masa kemerdekaan), eksklusif, pelit, dan sebagainya, maka kiranya dengan membaca buku ini, akan membuka wawasan masyarakat bahwa stereotip itu tidaklah berlaku.

Facebook Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *