Share the knowledge!

Sosok perempuan tinggi besar dengan rambut terurai itu mencuri perhatian penonton Kirab Menoreh Sabtu, 9 November 2019 lalu. Kirab Menoreh diadakan untuk memperingati sebuah peristiwa penting: berpindahnya ibukota Kabupaten Menoreh dari kota Parakan ke kota Temanggung.

Nama perempuan itu Lydia Apririasari. Ia terlihat berbeda dari peserta kirab lainnya yang berpakaian adat Jawa; terlihat seekor ular pyton warna kuning membelit leher dan bahunya. Karena kedekatannya dengan ular itulah Lydia diberi nama julukan ‘Lydia Ulo’ (ular).

Grebek Parakan 2019 || Foto: Siek Liang Thay

Semenjak masih kuliah di Jurusan Biologi Lingkungan, Fakultas Biologi, Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, Lydia sudah tertarik pada dunia reptilia dan amfibia (herpetologi), khususnya pada jenis ular. Ini dibuktikan dengan seringnya Lydia diminta mengisi berbagai acara yang berkenaan dengan ular, baik pameran maupun penyuluhan-penyuluhan tentang cara menangani ular.

Lydia juga sudah menerbitkan dua buah buku saku yaitu “Genus of Reptiles in the World” dan “Panduan Mengenal Ular”. Saat ini ia sedang menyiapkan buku panduan tentang ular yang lebih rinci.

Atas kiprahnya, Lydia dianugerahi Juara II Penghargaan Kalpataru tingkat Kabupaten Temanggung untuk kategori Perintis Lingkungan tahun 2018. Selepas kedua orang tuanya tiada, dan adik satu-satunya berkarir di luar kota, rumah Lydia jadi kosong. Iapun lalu terpanggil untuk merawat rumah peninggalan keluarga tersebut.  Saat ini Lydia yang masih  melajang tinggal di rumah yang di Parakan terkenal dengan sebutan Gedhong Papak (karena beratap datar), ditemani lima belas ekor ular dan empat ekor anjing.

Gedhong Papak – Parakan || Foto: Siek Liang Thay

Dalam acara Grebeg Parakan 2019 lalu, ia tak sekedar meramaikan pawai. Tapi lebih dari itu, Lydia, yang bernama Tionghoa Pik Swan Siok, juga terlibat menjadi bagian dari panitia penyelenggara. Salah satu panitia Grebeg Parakan yang juga adalah temannya semasa kecil mengajak Lydia bergabung ke dalam kepanitiaan. Lydia menanggapinya dengan antusias, karena semenjak kembali tinggal lagi di Parakan tahun 2012 lalu, Lydia ingin berbuat sesuatu agar masyarakat Parakan ini lebih guyub lagi.

Sebagai bagian dari panitia Sarasehan Sejarah, ia mengusulkan adanya City Tour untuk mengunjungi tempat-tempat bersejarah di Parakan. Kegiatan tersebut kemudian terbukti menjadi salah satu daya tarik dalam rangkaian Grebeg Parakan. Ternyata banyak peserta yang belum pernah mendengar kisah-kisah Kelenteng Hok Tek Tong, pendekar kungfu Lauw Djeng Tie, Rumah Gambiran, situs penyepuhan bambu runcing, makam Kyai Parak dan makam Kyai Subchi.

Sekalipun kemudian Lydia menyadari bahwa dalam kepanitiaan tersebut ia berbeda sendiri, baik gender maupun etnisnya – “wedok dewe, Cino dewe” (satu-satunya perempuan dan Tionghoa), katanya sambil tertawa, namun Lydia sama sekali tidak canggung. Sejak kecil ia sudah sering srawung dengan teman-temannya yang beretnis Jawa. Teman-temannya yang kebanyakan justru anak laki-laki itu berasal dari kampung-kampung di bagian barat Parakan (Kauman, Besaran, Jetis). Lydia sendiri tak ingat bagaimana awal mulanya ia bisa berteman dengan mereka itu. Tapi satu hal, pengalaman tersebut membuatnya ia mudah bergaul dengan semua orang yang berasal dari berbagai latar belakang. Apalagi setelah ia kuliah dan bekerja di berbagai tempat dan kota, wawasannya semakin terbuka.

Keinginan untuk mengajak seluruh elemen masyarakat Parakan bersatu padu membangun kotanya, membuat ia sangat antusias dalam menjalani perannya sebagai panitia Grebeg. Sekalipun saat rapat-rapat persiapan harus pulang tengah malam dan pada hari pelaksanaan punggungnya sakit karena terlalu lama berdiri, ia terima itu sebagai harga yang harus dibayar demi ingin melihat kotanya lebih maju.

Lydia menyediakan dirinya sebagai ‘jembatan’ antara komunitas Tionghoa dan Jawa yang ada di Parakan. Pengalaman pergaulan yang luas di berbagai kalangan akan menjadi modal yang berharga dalam merajut relasi tersebut. Lydia bahkan sudah berencana mengajak elemen masyarakat Parakan untuk ikut serta dalam perayaan Natal nanti. Sebuah ajakan yang direspon positif oleh Gus Tahal – pengasuh Pondok Pesantren Salafie Darul Ulum, sekaligus Ketua Panitia Grebeg Parakan 2019.

Untuk jangka panjang, Lydia mengaku belum mempunyai gambaran apa yang akan dilakukan untuk Parakan. “Sambil jalan sajalah, “ katanya sambil tertawa. Ia percaya bahwa selama niat kita untuk kebaikan, nantinya pasti akan ada jalan.

Facebook Comments

Share the knowledge!

One thought on “Lidya Apririasari, Menjembatani Komunikasi Jawa – Tionghoa di Parakan

  1. Lydia kamu salah seorang keturunan kongco Tjan Kang sungguh hebat. (Irwan Suryadi Tjandra)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *