Sejak pagi Erlin sudah sibuk di tempat usahanya, sebuah rumah makan yang terletak di Jalan M.T. Haryono Semarang atau yang lebih dikenal dengan nama lama, Jalan Mataram. Perempuan paruh baya tersebut tengah menyiapkan bahan-bahan untuk membuat Bakcang, penganan tradisional Tionghoa yang secara turun temurun menjadi sajian pada perayaan Peh Cun.

Peh Cun, dirayakan setiap tanggal 5  bulan 5 penanggalan Imlek. Dalam perayaan Peh Cun, masyarakat Tionghoa membuat dan makan Bakcang, mendirikan telur, mengadakan lomba perahu naga, dan melakukan ritual mandi tengah hari.

 

Legenda di Balik Bakcang dan Perayaan Peh Cun

Bakcang “Ca Poo King”

Bakcang berasal dari dialek Hokkian, salah satu dialek masyarakat Tionghoa yang lazim digunakan di Indonesia. Bak artinya daging, dan cang artinya berisi daging. Jadi Bakcang artinya penganan yang berisi daging.

Buku Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara karangan Aji ‘Chen’ Bromokusumo membahas sekelumit asal usul Bakcang dalam Bab. Bakcang dan Kicang. Uraiannya kurang lebih demikian; Menurut catatan buku sejarah Shi Ji yang ditulis oleh sejarawan Shima Qian , Peh Cun lahir sebagai sebuah penghormatan kepada Qu Yuan, seorang menteri dari negara Chu yang dikenal mempunyai sikap patriotrik tinggi kepada negaranya.

Qu Yuan dikenal sebagai seorang menteri yang loyal kepada negaranya, dialah juga yang berhasil menyatukan beberapa negara lainnya untuk bisa menjadi sekutu dalam menumbangkan Negara Qin. Namun, sikap dan upayanya dalam memajukan negaranya tersebut ternyata menjadi ancaman bagi menteri-menteri korup yang berada di negara Chu.

Menteri-menteri korup dengan berbagai upaya menginginkan agar Qu Yuan bisa keluar dan dibuang dari lingkaran kekuasaan negara Chu. Dengan berbagai fitnah yang dilakukan, Qu Yuan pun didepak dari posisi menteri di negara Chu.

Pasca dibuangnya Qu Yuan dari lingkaran kekuasaan negara, Qu Yuan sendiri menyepi dan mengasingkan diri dari pemerintahan negara Chu. Di tengah pengasingannya, Qu Yuan mendengar bahwa negara Chu diserang oleh negara Qin, negara adidaya yang selama ini sering menggelorakan perang dan ekspansi kekuasaan. Kabar tersebut membuat Qu Yuan merasa sedih, dia mengganggap bahwa dia tak mampu mewujudkan cita-citanya untuk membuat negara Chu berdaulat dan berdikari. Dalam kesedihan yang larut itu, Qu Yuan mengakhiri hidupnya dengan menjeburkan dirinya di tengah sungai Miluo.

Rakyat yang merasa kehilangan, berusaha mencari jenazah Qu Yuan. Nasi dan makanan lain dilemparkan ke dalam sungai untuk mencegah agar ikan-ikan dalam sungai tidak menggangu jenazah Menteri Qu Yuan. Agar nasi dan makanan lain tersebut tidak dimakan naga dalam sungai, maka rakyat membungkusnya dengan bumbung bambu. Ketika kini bumbung bambu makin sulit didapat, maka kemudian dipilihlah daun bambu untuk membungkus Bakcang.

Karena Menteri Qu Yuan membuang diri ke sungai pada tanggal 5 bulan 5, sejak saat itulah rakyat memperingati hari tersebut dengan perayaan Peh Cun.

Rumitnya Membuat Bakcang

Erlin Wibisono, Pemilik Usaha Bakcang Ca Poo King

Erlin menata bahan-bahan Bakcang di atas meja; daging babi giling, ketan, minyak wijen, bawang merah, bawah putih, dan daun bambu;  semua sudah tersedia.

Perempuan Tionghoa kelahiran Semarang ini mulai berjualan Bakcang di Jl. MT Haryono sejak 2016 lalu. Memang belum lama kiprah Erlin berjualan Bakcang di Semarang, namun jangan salah, Bakcang “Ca Poo King” hasil olahannya sudah mempunyai banyak pelanggan, baik dari dalam ataupun luar Semarang sendiri.

Nama “Ca Poo King” sebenarnya merupakan serapan dari nama area Tjap Kauw King di pecinan Semarang, yang berarti sembilan belas rumah petak. Area yang dahulu dinamai Tjap Kauw King berada di ruas Jl. Gang Pinggir sampai dengan pertigaan Jl. Beteng. Masyarakat non-Tionghoa yang kesulitan mengucapkan Tjap Kauw King kemudian kerap menyebut area tersebut dengan Ca Poo King.

Erlin menghabiskan sekitar 3-4 kg ketan dan 1-2 kg daging babi setiap pembuatan Bakcang. Dengan takaran tersebut, dapat diproduksi 35-40 Bakcang setiap harinya. Ketika perayaan Peh Cun mendekat, maka Erlin akan membutuhkan hampir 7 kg ketan setiap harinya.

Erlin dibantu oleh suami dan adiknya dalam membuat Bakcang. Menurutnya, hal paling sulit dalam membuat Bakcang adalah proses pembungkusannya. Setiap adonan dibungkus dengan daun bambu dan dibentuk limas segitiga. Daun bambu yang digunakan untuk membungkus adonan adalah daun bambu muda yang sudah direbus hingga layu, dan kemudian diikat dengan tali rafia.

Bila proses pembungkusan kurang rapi ataupun rapat, biasanya adonan Bakcang akan tumpah keluar. Setelah adonan dibungkus rapi, proses mengukus perlu waktu 9 jam.

Karena proses pembuatan yang rumit, kini, tidak banyak orang Tionghoa yang berminat membuat Bakcang sendiri. Memang, membuat Bakcang memerlukan ketelatenan dan kesabaran tersendiri.

 

Belajar  Turun Temurun

Erlin berkisah, “Dulu saya belajar membuat Bakcang dari ibu saya, tapi saat itu saya belum pandai membungkus adonan Bakcangnya, karena memang susah. Dulu saya hanya bantu-bantu membuat adonan, kalau sekarang sih saya terampil membuatnya.”

Ternyata untuk  proses pembungkusan, Erlin belajar dari suaminya, Wibisono. Untuk menguasai ilmu membungkus Bakcang, Erlin butuh waktu dua minggu penuh. Wibisono juga mengajari Erlin memperbaiki citarasa Bakcang buatannya, sehingga kini digemari konsumen. “Suami saya memang pintar membuat Bakcang dari kecil. Jadi saya banyak terbantu olehnya,” papar Erlin.

 

Berharap Ada Regenerasi

Wibisono, Pemilik Usaha Bakcang Ca Poo King

Ketika diwawancarai Kabar Ein, Wibisono mengungkapkan harapannya agar ada penerus yang bisa ikut nguri-uri tradisi Tionghoa dalam membuat Bakcang. Selain motif ekonomi, keinginan Wibisono meneruskan tradisilah yang membuat ia bersemangat mengembangkan usaha Bakcang. “Saya berpikir untuk melestarikan Bakcang. Kadang saya juga ngobrol sama istri saya, siapa kira-kira yang akan melanjutkan usaha ini. Soalnya anak-anak saya pun belum ada minat,” ujarnya.

Pria yang sehari-hari menggeluti usaha konstruksi bangunan ini mengamati, orang Tionghoa sendiri jarang yang mampu membuat Bakcang. Karenanya Wibisono membuka diri untuk menerima  siapa saja yang mau belajar membuat Bakcang padanya. “Kita tahu sendiri, sekarang sudah kian susah menemukan Bakcang. Saya berharap nantinya tetap ada regenerasi para pembuat Bakcang,”  Wibisono mengakhiri obrolan.

Akulturasi Bakcang

Bakcang juga digemari di kalangan non-Tionghoa. Dahulu, untuk bisa mengonsumsi Bakcang isi daging ayam, konsumen harus memesan secara khusus pada para produsen. Kini, seiring meningkatnya popularitas Bakcang, beberapa produsen sudah memproduksi Bakcang isi daging ayam dan menjualnya di berbagai lapak. Salah satu lapak Bakcang di Pasar Semawis kawasan Pecinan Semarang juga menyediakan Bakcang isi daging ayam. Produk penganan tersebut laris manis diserbu konsumen.

Citarasa daging isian Bakcang yang dijual di Indonesia biasanya sedikit lebih manis daripada Bakcang produksi Tiongkok, bisa jadi menyesuaikan dengan lidah Indonesia yang menggemari penganan manis.

Facebook Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *