Semarang, EIN Institute – Maria terlihat mondar mandir di area Gereja Santa Theresia Bongsari sejak sore hingga menjelang malam. Sebagai ketua panitia acara pentas seni lintas iman “Love in Diversity – With Tolerance We Can”, Maria terlihat terus melakukan koordinasi dengan panitia lainnya. Acara yang digelar di Aula Santa Theresia tersebut berlangsung pada Sabtu malam (18/2).
Terlibat dalam kepanitiaan pentas seni lintas agama merupakan pengalaman pertama bagi mahasiswi Teknologi Pangan Universitas Soegijapranata ini. “Saya senang dapat pengalaman baru, seperti waktu main di pondok pesantren. Saya sebagai umat Katolik kaget waktu pak Kyai mengulurkan tangan untuk bersalaman, saya kira kan semua umat muslim gak mau bersalaman dengan lawan jenis. Ternyata umat muslim sendiri juga beragam,” ungkap Maria menceritakan kisahnya di sela-sela persiapan acara. Perempuan bernama lengkap Maria Gresly ini mengaku bersafari ke berbagai tempat ibadah di Kota Semarang untuk mengundang secara langsung pemuda-pemudi lintas agama.
“Acara ini menampilkan gelar budaya sesuai ciri khas masing-masing agama, ada Rebana dari Pondok Pesantren Al-Islah Ungaran; ada Tari Pendet Bali dari Pemuda Hindu Kota Semarang dan beberapa pentas musik Orang Muda Katolik”, papar Maria menyebutkan beberapa pementasan yang akan ditampilkan.
Maria berpendapat bahwa keberagaman tidak seharusnya menghalangi manusia untuk hidup guyub rukun. Selama sebulan mempersiapkan acara Love in Diversity ini, Maria juga mengaku bahwa ada beberapa komunitas yang membatalkan keikutsertaan di gelar kebudayaan ini menjelang hari H pementasan. Meski demikian, Maria mengaku sangat senang karena acara berlangsung sesuai harapan panitia.
Kaum muda peserta acara sudah memenuhi aula sejak petang; aula mendadak beralih menjadi tempat pasangan muda-mudi melewatkan malam minggu. Kepala Paroki RM Eduardus Didik Chahyono SJ atau lebih dikenal dengan Romo Didik sebagai pengasuh nampak senang atas antusiasme generasi muda yang hadir.
Romo Didik menjelaskan bahwa acara Love in Diversity digelar untuk merawat persaudaraan sejati, “Ini untuk memupuk rasa persaudaraan dan perdamaian. Tanpa perdamaian, pembangunan semata-mata tidak akan menciptakan peradaban kasih.” Ia juga menjelaskan kalau acara serupa akan digelar setiap tahun. Sementara bulan depan Romo Didik juga berencana akan menggelar acara Tanam Mangrove Lintas Iman untuk terus memupuk persaudaraan.
Sementara Rani dari Pemuda Hindu Kota Semarang, menampilkan pentas seni Tari Pendet bersama rekan-rekannya. “Tari Pendet dipilih karena memang beberapa waktu lalu terdengar isu kalau tari ini mau dicuri,” terang Rani yang ditemui usai menari. Tari ini memang bisa dilakukan sebagai ritual atau sebatas dipentaskan sebagai kesenian tanpa unsur ritual sama sekali.
Kelenturan pemudi-pemudi Hindu Kota Semarang menggerakkan tubuhnya menunjukan betapa sering mereka berlatih menari. Mereka rutin berlatih di sekretariat yang terletak satu lokasi dengan Pura Agung Giri Nata di Jalan Sumbing. “Seneng sih, apalagi yang menyelenggarakan dari salah satu umat agama. Biasanya kan kalau kayak gini diselenggarakan oleh lintas agama, berarti dari masing-masinng agama sudah tumbuh rasa toleransinya,” tambah Rani memberikan kesannya pada acara tersebut.
Meski tidak ikut tampil, perwakilan dari Pemuda Khonghucu dan Mahasiswa Jurusan Studi Agama-Agama UIN Walisongo beserta dosennya turut hadir meramaikan acara.
Naili Ni’matul Illiyyun, dosen muda Studi Agama-Agama UIN Walisongo ini bahkan mengajak teman-temannya yang selama ini masih jarang bersosialisasi dengan komunitas lintas agama, “Mereka saya ajak ya biar gak hanya belajar teori toleransi saja, biar bisa membaur dan mengenal yang lain.” Hadir atas undangan Romo Didik yang sudah lama bersahabat dengannya, Naili berharap acara-acara lintas iman selanjutnya bisa lebih bagus. “Ya semoga bisa lebih membaurlah, biar kita bisa saling kenal,” ujar Naili.
Konsep acara Love in Diversity dirancang sedemikian menarik perhatian anak muda. Di pintu masuk aula disediakan tempat khusus untuk berswafoto, tidak ada ceramah-ceramah rohaniawan, dan semua kegiatan bernuansa ringan. Pentas seni berlangsung seru, anak muda yang hadir larut dalam keriaan; sebagian ikut berjoged dan bergandengan tangan. Mungkin memang sesederhana itu cara generasi muda belajar tentang keberagaman.
Editor: Yvonne Sibuea