Semarang, Kabar EIN – Politisasi identitas dan agama yang membuat Indonesia bergejolak belakangan ini terjadi karena orang terjebak pada keakuan dalam beragama. Akibatnya, umat terlalu fokus pada perbedaan dan tergesa menyebut orang yang berbeda sebagai “kafir”. Idealnya, keakuan dalam beragama itu dilampaui ke arah kemanusiaan dan roh moral universal yang dikandung dalam setiap agama. Demikian disampaikan Siti Rofiah, peneliti Lembaga Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, dalam acara Jagongan Kebangsaan di Graha Sinode GKMI Grasima, Jl. Sompok Lama 60 Semarang, Rabu (15/5) malam lalu.
“Saat ini banyak orang mabuk agama, mempertuhankan agamanya, bukan Tuhan yang sejati. Dengan gampangnya menyebut orang lain kafir, padahal kafir itu konsep yang sangat rumit, tidak boleh sembarangan dilontarkan,” kata dosen Fakultas Syariah UIN Walisongo tersebut. Dalam kehidupan sehari-hari, keegoisan itu mestinya dilampaui menuju kemanusiaan.
Sebagai pembicara pertama dalam sesi “Keislaman dan Keindonesiaan”, Siti Rofiah menerangkan tentang cita-cita Islam Nahdliyin. Dalam pemikiran NU, cita-cita Islam Nusantara bukanlah Darul Islam (negara Islam), melainkan Darus-salam (negara yang damai). “Syariat Islam bisa ditegakkan secara privat, tidak harus negaranya jadi negara Islam, yang penting orang Islam leluasa menjalankan syariatnya,” jelas Rofi, panggilan akrabnya.
Rofi menyayangkan pernyataan sebagian orang bahwa membela NKRI tidak ada dalilnya dalam Islam, padahal mencintai tempat hidup adalah keteladanan Rasul. Tokoh besar NU, K.H. Hasyim Asy’ari sendiri berpendapat bahwa agama dan nasionalisme bukan dua kutub yang berseberangan. Dan sesuai hasil Muktamar NU ke-11 di Banjarmasin tahun 1936, kewajiban mempertahankan Nusantara sebagai tempat umat Islam Indonesia hidup bersifat fardlu ‘ain, mengikat setiap individu.
Justru yang harus ditingkatkan lagi adalah upaya umat beragama untuk mewujudkan roh dari hukum Islam, yakni keadilan, kesetaraan, perlindungan hak asasi, dan nilai-nilai luhur lainnya yang berlaku universal. “Sesuai ayat An Nisa:58, dalam bernegara yang diutamakan Islam adalah keadilan, artinya menolak diskriminasi, artinya ulama harus lebih banyak bersuara tentang keadilan gender juga memprotes korporasi-korporasi perusak lingkungan,” terangnya.
Nilai-nilai universal dalam Islam itu harus diperjuangkan agar diwujudkan dalam hukum negara, tapi bukan berarti pemaksaan syariat kepada umat lain. “Dalam masyarakat yang beragam seperti Indonesia, tidak bisa serta merta syariat Islam dipositivisasi jadi hukum, harus ditransformasi dulu jadi etika sosial yang diterima masyarakat, tujuannya untuk menciptakan kemaslahatan,” tambah Rofi. Menurutnya, selain perlu pembaharuan pemikiran lewat tafsir-tafsir kontekstual, forum pertukaran wacana antar warga perlu diperbanyak dan dipersering.
Acara Jagongan Kebangsaan ini diselenggarakan oleh Peace Hub, Persaudaraan Lintas Agama (Pelita) Semarang, eLSA Semarang, dan LBH Semarang. “Intinya ingin menyadarkan pada kita semua arti penting keterlibatan kita di dalam isu-isu kebangsaan, selain menjalin silaturahmi dengan sesama warga yang memiliki keprihatinan bersama tentang kondisi Indonesia, semoga acara ini bisa terus berkelanjutan,” kata pendeta Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) Andi O. Santoso yang menjadi moderator acara.
Editor: Yvonne Sibuea