
Lembaga Studi Sosial dan Agama (ELSA) Semarang menggelar “Diskusi dan Launching Laporan Kebebasan Beragaman dan Berkeyakinan Tahun 2016 di Jawa Tengah”. Peluncuran laporan diadakan pada Kamis, (12/1) berlokasi di Gereja Santa Theresia Bongsari, Semarang.
Sejak 2011, ELSA rutin melaporkan kasus-kasus di ranah kebebasan beragama dan berkeyakinan dari perspektif hak asasi manusia. Beberapa temuan antara lain: terdapat 16 kasus intoleransi, dan 4 kasus dugaan tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dilakukan oleh negara. Jumlah total kasus pada 2016 adalah 20 kasus. Sebaliknya, ELSA juga mencatat beberapa kemajuan dalam pemenuhan kebebasan beragama.
Dalam laporan terungkap banyak terjadi konflik bernuansa agama baik berskala besar atau kecil di Jawa Tengah. Penangkapan terduga teroris kerap menyeret warga Jawa Tengah, meski lokasi penangkapan terjadi di tempat lain. Tidak ada penjelasan tunggal mengapa sebuah konflik terjadi di masyarakat. Selalu ada kaitan antara masalah internal dan eksternal agama. ELSA juga memantau terdapat eskalasi penolakan terhadap Ahmadiyyah, Syiah dan pembangunan gereja di wilayah Jawa Tengah.
Kelompok pelaku intolerasi adalah kelompok yang konsisten. Gerakan ini menarik perhatian publik dengan melakukan pengerahan massa. Ada tiga hal yang disasar kelompok intoleran yaitu: menolak ajaran kelompok lain, mengokohkan politik identitas, serta mengangkat nama gerakan mereka ke ranah publik.
Direktur ELSA, Tedi Kholiludin menekankan, proses advokasi terhadap korban pelanggaran kebebasan beragama harus melibatkan pendekatan lain, bukan saja berbasis hak-hak sipil, tetapi juga menjadi berbasis hak-hak sipil dan ekonomi. Selama ini, pendekatan advokasi berbasis hak kebebasan beragama kerap mengabaikan aspek kebutuhan mendasar mereka, yakni ekonomi. Disinilah pentingnya pendekatan integratif itu diupayakan.
Rekomendasi ELSA:
(i) Kepada Kepala Daerah, Bupati/Walikota, penguatan kapasitas aparatur negara, terutama dalam perspektif hak asasi manusia harus terus diupayakan. Harapannya, penguatan perspektif ini dapat meminimalisir tindakan-tindakan intoleran yang terjadi di masyarakat dan pelanggaran yang dilakukan aparat pemerintahan.
(ii) Kepada penganut agama atau kepercayaan, keterbukaan untuk menunjukan jati diri agama atau keyakinan yang sebenarnya, akan lebih memudahkan dalam proses advokasi. Sehingga kasus seperti pemaksaan pendidikan agama dsb, tidak terulang kembali. Meski kami sadari bahwa membuka jati diri keyakinan kepada publik tentu saja menimbulkan konsekuensi seperti kekhawatiran adanya stigma dan diskriminasi.
(iii) Kepada pihak peneliti atau akademisi, kiranya data ini dapat dijadikan data awal untuk melakukan kajian lebih mendalam. Sehingga artinya, data ini butuh pendalaman yang serius demi mengungkap kebenaran dan keadilan.
(iv) Bagi semua pihak, semakin hari sepertinya pemahaman akan pentingnya toleransi dan non-diskriminasi harus terus didakwahkan di masyarakat. Sehingga kasus sedikit-sedikit serang, bubarkan, tolak-menolak tidak terjadi kembali di tahun yang akan datang.
Editor: Yvonne Sibuea