Semarang, EIN Institute – Di balik patung Warak yang menjulang di Taman Pandanaran Semarang, hampir 100 orang datang berkumpul pada Selasa (28/8) malam lalu. Setelah saling menyapa akrab, mereka langsung mencari tempat duduk masing-masing di ruang publik berbentuk teater itu. Sehelai spanduk dengan tulisan Pelita Untuk Meiliana: Keprihatinan Pasal Penodaan Agama, dibentangkan dekat kanopi
Selain bermakna cahaya, Pelita juga singkatan dari Persaudaraan Lintas Agama, suatu wadah komunikasi bagi elemen-elemen lintas agama dan lintas isu di Semarang. Sejak dibentuk dua tahun lalu, Pelita serius menyuarakan pesan “melindungi keberagaman, merawat kebangsaan”. Termasuk kali ini, ketika kasus kriminalisasi Meiliana mencuat di media massa. Para pegiat Pelita segera berinisiatif mengajak warga Semarang untuk ikut bersuara, menyalakan lilin solidaritas bagi perempuan dari Tanjung Balai, Sumatera Utara itu.
Seperti diberitakan detik.com pada berita berjudul “Tangis Meiliana Divonis 18 Bulan Bui karena Keluhkan Volume Azan” (22/8); Meiliana dijatuhi vonis 18 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Medan pada 21 Agustus 2018 lalu. Awalnya hanya karena Meiliana mengeluhkan kerasnya pengeras suara di masjid. Kemudian ia dijerat dengan pasal 156 subsider pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penistaan agama. Proses hukum terhadap Meiliana terjadi saat suasana politik Indonesia memanas saat terjadi aksi-aksi menentang Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, karena tuduhan menista agama juga. Aroma politisasi terhadap kasus Meiliana ini pernah ditulis dalam laporan penelitian berjudul “Rekayasa Kebencian dalam Konflik Agama: Kasus Tanjung Balai” yang dirilis Pusat Studi Agama dan Demokrasi (Pusad) Yayasan Paramadina.
“Kasus Meiliana menggambarkan tantangan yang kita hadapi bersama. Pertama, ini potret intoleransi. Kedua, lemahnya penegakan hukum. Ketiga, pengadilan yang tidak menghadirkan keadilan.” Demikian tutur Tedi Kholiludin, peneliti senior dari Lembaga Sosial dan Agama (eLSA) Semarang kepada audiens. Ia membeberkan catatan eLSA bahwa pasal penodaan agama sudah menjerat banyak sekali orang yang sama sekali tidak punya pretensi untuk menodai agama. Pasal 156 KUHP maupun UU Nomor 1/PNPS/1965 malah dijadikan alat oleh kelompok intoleran untuk mencapai tujuan-tujuan yang tidak ada hubungannya dengan agama. Dalam membuat putusan, hakim selalu di bawah tekanan massa, sehingga tidak bisa memutuskan seadil-adilnya.
Tedi meminta publik tidak diam saja, “Sekarang Meiliana, besok ini bisa saja terjadi pada kita. Siapa pun bisa dijerat karena alasan penodaan agama, karena pasal ini sangat karet. Siapa pun yang melihat celah, ada kata-kata orang lain yang bisa dikriminalisasi, bisa memakainya untuk menjerat orang itu. Di Jawa Tengah, sejak 2009 sudah ada 5 orang yang dijerat pasal penodaan agama, padahal semuanya didapati tidak ada maksud menodai agama. Mari kita ingatkan pemerintah. Biarlah Meiliana jadi orang terakhir yang dikriminalisasi karena mengekspresikan pikirannya, hak yang dimiliki setiap warga negara.”
Ketidakadilan digarisbawahi pula oleh Ubaidillah Achmad, yang biasa dipanggil Gus Ubaid. “Saya juga beberapa kali mengingatkan masjid di sebelah rumah saya, kalau adzan, volume pengeras suaranya tolong dikecilkan supaya tidak terlalu bising. Mengapa Meiliana dikriminalisasi, sedang saya tidak?” tanya pemimpin Pondok Pesantren Bait As Syufah An Nahdliyah Rembang ini. Suatu pertanyaan retoris yang semua orang tahu jawabannya. Gus Ubaid lantas membacakan sajak untuk Meiliana, ungkapan gusar hatinya pada sikap intoleransi di negeri ini, diiringi lantunan saksofon dari Aloysius Budi Purnomo, Pr. Romo Budi adalah ketua Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang.
Tampil juga malam itu Pendeta Tjahjadi Nugroho, pendiri Asosiasi Pendeta Indonesia, yang menilai kasus Meiliana adalah bagian dari gerakan intoleransi yang menguat belakangan ini, sekaligus tanda belum dewasanya kehidupan beragama di Indonesia. Tokoh lain yang turut menyampaikan keprihatinan adalah Pendeta Andi O. Santoso dari Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI), Andi Gunawan dari Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Jawa Tengah, dan pegiat isu perempuan Dinah Katjasungkana.
Ketua Perkumpulan Rasa Dharma, Harjanto Halim berbagi cerita satir tentang etnis Tionghoa di Indonesia yang secara struktural dibuat seolah orang asing. “Harus ganti nama, harus punya Surat Bukti Kewarganegaran Republik Indonesia, tapi seolah hanya kalau Pemilu saja diakui sebagai warga Indonesia, didesak-desak datang ke TPS untuk mencoblos.” Ia juga membuat catatan kritis tentang pentingnya mendidik masyarakat agar cerdas dan toleran. “Bagaimana supaya masyarakat tidak mudah diprovokasi oleh isu agama dan etnis? Bagaimana supaya masyarakat bisa membedakan mana yang esensi, mana yang tidak? Ini PR untuk para aktivis di Tanjung Balai dan kota lain. Syukurlah Semarang sejauh ini luar biasa dalam toleransi, kita bangga jadi warga Semarang!”
Tawa dan refleksi bercampur sepanjang acara. Bolak-balik terdengar seruan dari pembawa acara atu orator berseru “Siapa kita?” yang dijawab hadirin, “Indonesia!”, juga seruan “Bebaskan Meiliana!” yang disambut, “Bebaskan!”. Di penghujung malam solidaritas, para hadirin kemudian bersama-sama menyalakan lilin lalu membentuk lingkaran. Ditemani terang bulan yang masih purnama, mereka menyanyikan lagu “Kulihat Ibu Pertiwi sedang bersusah hati …” Hening lalu menyelimuti saat Gus Ubaid memanjatkan doa demi keutuhan bangsa dan negara, serta bebasnya Meiliana.