“Ayah saya digelandang ke kantor polisi, diinterogasi, kakinya diijepit kaki meja. Petugas itu menuduh ayah komunis, karena tidak memeluk suatu agama..”
Demikian penuturan seorang penghayat aliran kebatinan Perjalanan (1927) di Subang, dalam mengisahkan pengalaman persekusi yang dialami keluarganya dulu.
Sementara salah satu penghayat kepercayaan Medal Urip dari Brebes juga mengutarakan pengalaman yang mirip. Semasa ayahnya masih hidup, keluarga mereka mendapat perundungan dari tetangga-tetangga di lingkungan tempat tinggal.Mereka dituduh sesat. Dan ketika sang ayah meninggal dunia, mereka kesulitan mengurus pemakamannya, karena ditolak oleh warga.
Dua pengalaman tersebut terungkap dalam acara Pemutaran dan Diskusi Film “Atas Nama Percaya”, yang diselenggarakan di Unika Soegijapranata, Semarang, Jumat, 17 Januari 2020 lalu. Film ini merupakan hasil kolaborasi Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM, Watchdoc dan Boston University.
Diskusi menghadirkan lima narasumber yaitu Dr. Samsul Maarif (peneliti CRCS UGM), Dr. Tedi Kholiludin, M.Si. (Ketua Yayasan eLSA Semarang), Retang Wohangara, M.Hum. (Dosen Unika Soegijapranata dan peneliti budaya Sumba), Dwi Setyani Utami, MSc. (Ketua Puan Hayati Jawa Tengah), Adrianus Bintang, MA (Dosen Unika Soegijapranata dan Direktur IPSS).
Diskriminasi terhadap para pemeluk agama-agama lokal terjadi sepanjang perjalanan republik ini. Mulai dari stigma sebagai orang primitif, tidak bermoral, penganut aliran sesat, atheis, komunis, sampai dengan kesulitan mendapatkan layanan publik dalam hal kependudukan, sosial dan pendidikan. Semua itu hanya karena mereka tidak memeluk agama-agama yang ‘diakui’ negara.
Pada tahun 1965 lahir UU no.1 PNPS tentang Pencegahan, Penyalahgunaan, dan/atau Penodaan Agama yang bermaksud melindungi agama yang diakui pemerintah dari ajaran-ajaran penghayat kepercayaan. Tetapi kemudian pecahnya peristiwa G30S semakin memperburuk nasib para pemeluk agama lokal ini. Mereka diasosiasikan sebagai ateis dan komunis, dan dengan demikian adalah musuh negara dan masyarakat. Siapapun yang ingin selamat harus memilih masuk ke agama yang diakui negara. Hal ini dialami Kong Hu Cu, yang sebenarnya sudah sempat resmi menjadi agama yang diakui. Namun karena asosiasinya dengan etnis Tionghoa dan Cina Komunis, maka ‘turun derajat’ lagi menjadi kepercayaan.
Situasi para penghayat aliran kepercayaan agak membaik, saat di awal-awal Orde Baru ada upaya untuk mengakomodasinya. Golkar pada tahun 1970 membentuk Sekretariat Kerja Sama Kepercayaan, yang lalu menjadi Badan Kongres Kepercayaan Kejiwaan Kerohanian Kebatinan Indonesia (BK5I). Dan pada tahun 1973 MPR mengeluarkan ketetapan yang menyatakan agama dan kepercayaan adalah ekspresi kepercayaan terhadap Tuhan YME yang sama-sama ‘sah’ dan keduanya ‘setara’.
Namun nasib baik hanyalah seumur jagung. Dalam sidang tahun 1978, MPR mengeluarkan TAP MPR no. 4/1978 yang menyatakan bahwa kepercayaan bukanlah agama, melainkan kebudayaan. TAP juga mengharuskan adanya kolom agama di formulir kependudukan yang wajib diisi dengan salah satu agama yang diakui. Dan demi tidak kosongnya kolom agama dalam kartu tanda penduduk, negara memaksa para penghayat aliran kepercayaan mengafiliasikan diri ke agama-agama yang diakui. Maka, misalnya, penganut Kejawen terpaksa mengidentifikasikan diri ke Islam, penganut Kaharingan ke Hindu dan Kong Hu Cu serta Tao termasuk ke dalam Budha.
Kekerasan sosio-kultural yang dialami para penghayat aliran kepercayaan atau agama lokal, juga dilakukan oleh institusi agama yang diakui pemerintah. Sebagaimana disampaikan oleh Retang Wohangara; dalam melakukan misi penyebaran agama di Sumba, Kekristenan (Protestan maupun Katolik) selalu menekankan bahwa kepercayaan leluhur mereka, Marapu, tidak benar, menyembah berhala/kafir.
Doktrin yang disampaikan oleh institusi agama yang juga berelasi dengan kekuasaan politik dan ekonomi ini sedemikian kuat pengaruhnya. Alhasil, masyarakat Sumba menjadi yakin bahwa mereka adalah masyarakat yang primitif, terbelakang dan rendah diri karena masih menganut Marapu.
Perjuangan kesetaraan hak bagi kelompok penghayat aliran kepercayaan kepada Tuhan YME dimulai pasca Reformasi 1998. Tahun 2006 UU Administrasi Kependudukan bisa direvisi, yang mengizinkan kolom agama pada formulir kependudukan dikosongkan apabila yang bersangkutan menganut aliran kepercayaan.
Lalu tahun 2016 muncul gugatan ke MK terhadap UU tersebut di atas yang dikabulkan pada tahun 2017. Sehingga para penghayat aliran kepercayaan atau agama lokal (folk religions) berhak mencantumkannya pada kolom agama di KTP.
Sedikit-demi sedikit kehidupan masyarakat penganut agama lokal semakin membaik. Seperti yang diperlihatkan oleh komunitas aliran kebatinan Perjalanan di Subang. Pemerintah dan masyarakat di sana sudah menerima dengan baik keberadaan mereka. Hal ini diperlihatkan dengan adanya bangunan tempat berkumpul dan beribadah yang disebut Pasewakan.
Di sekolah umum juga telah diberikan mata pelajaran khusus Penghayat Ketuhanan YME dengan guru dari komunitas yang sama. Masyarakat Sumba pemeluk Marapu saat ini juga menjadi semakin percaya diri dengan kepercayaan mereka.
Tetapi kasus-kasus perundungan masih terjadi di berbagai lokasi. Menurut catatan Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA), yang banyak melakukan pendampingan pada komunitas-komunitas penghayat, sampai sekarang hampir setiap tahun ada kejadian kekerasan yang dialami komunitas-komunitas ini. Salah satu yang lantas menjadi viral adalah seorang siswa SMK 7 Semarang. Siswa tersebut, yang merupakan penghayat aliran kepercayaan, tidak bisa naik kelas, karena pihak sekolah beralasan tidak bisa menyediakan pelajaran agama di luar enam agama yang diakui pemerintah. Lantas ada juga perusakan tempat ibadah Sapta Dharma di Rembang. Kekerasan lain yang berkaitan dengan pelayanan kependudukan seperti pengurusan akte lahir, KTP, dan pemakaman.
Tedi Kholiludin dalam kesempatan ini juga mengritik penyebutan ‘agama yang diakui oleh negara, karena hal tersebut sebenarnya tidak ada. Mengacu pada UU PNPS No. 1/1965, dikatakan bahwa di Indonesia ada tiga jenis agama/kepercayaan yaitu:
1. Agama yang dijamin (kemerdekaan untuk memeluknya) dan difasilitasi oleh negara, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha (dan kemudian Kong Hu Cu)
2. Agama yang dijamin, tapi tidak difasilitasi (contohnya Zoroaster, Yahudi, Baha’i)
3. Kepercayaan kepada Tuhan YME.
Jadi penyebutan agama yang diakui, dan sebaliknya berarti ada yang tidak diakui, itu tidak benar. Yang ada adalah agama yang dijamin kemerdekaannya untuk memeluknya. Sesuai dengan isi pasal 29 UUD 1945 ayat 2: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.”
Sempat ada perdebatan di awal berdirinya Republik ini, tentang makna kata “kepercayaannya”. Pihak agama-agama besar memahaminya sebagai ‘aliran’ di dalam agama yang ‘diakui’. Misalnya dalam Islam, kepercayaan di ini adalah seperti ‘Sunni’ dan ‘Syiah’. Sedangkan pihak penghayat aliran kepercayaan memahaminya sebagai kepercayaan yang dianutnya.
Perdebatan ini sebenarnya berakar dari pemahaman yang berbeda, atau dibedakan, antara yang disebut ‘agama’ dan ‘kepercayaan’. Pada tahun 1962 pemerintah membuat definisi agama berdasar pendapat Menteri Agama Mukti Ali, yaitu: “Agama itu punya Tuhan, harus punya kitab suci, harus dogmatis, harus punya nabi.” Dengan definisi seperti ini, otomatis agama-agama lokal dan aliran kepercayaan tidak bisa disebut sebagai ‘agama’ dan kastanya menjadi berada di bawah agama-agama dunia.
Dengan sahnya penghayat aliran kepercayaan bisa dituliskan di formulir kependudukan, keadaan berangsur menjadi semakin baik. Akan tetapi sebagian para panghayat masih mengambil sikap berhati-hati. Mereka masih teringat pada periode tahun 1973-1978, ketika status sosial penghayat aliran kepercayaan juga membaik secara politis, namun setelah itu berubah seratus delapan puluh derajat. Apalagi di tingkat lokal, masih acap dijumpai perlakuan diskriminatif.
Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dibereskan, seperti misalnya aturan pendirian sanggar atau rumah ibadah penghayat aliran kepercayaan. Bagaimana memastikan hak-hak umatnya bisa terpenuhi. Bagaimana memupus rasa rendah diri sebagai pemeluk/penghayat aliran kepercayaan yang telah sedemikian terinternalisasi, dan sebagainya.
Untuk itulah, film dokumenter seperti “Atas Nama Percaya” ini beserta acara diskusinya menjadi penting untuk dilakukan. Seperti diungkapkan Samsul Maarif ketika memberikan pengantar pada diskusi,” Film ini sebagai sosialisasi kepada masyarakat dan para pemangku kebijakan agar praktik keagamaan (para penghayat) ini masuk ke dalam nalar berbangsa negara kita.”