“Semarang sama sekali bukan daerah kering kebudayaan. Sesungguhnya, tidak ada sejengkal tanah pun, di mana di sana ada kehidupan manusia akan kering dari kehidupan kebudayaan.” [HERSRI SETIAWAN – Sastrawan]
Antariksa. (2005). Tuan Tanah Kawin Muda.
Semarang sebagai sebuah kota penting dalam konstelasi jalur dagang sejak masa Hindia Belanda, sangat jarang dinarasikan sebagai kota dengan jejak seni budaya yang marak pelaku dan penikmat.
Semarang lebih dominan disorot dari porsi pentingnya sebagai kota pelabuhan strategis yang dibangun pemerintah kolonial untuk memuluskan kegiatan perdagangan lewat jalur laut. Hingga kemudian Hindia Belanda memerdekakan diri sebagai Indonesia pada 1945, imaji Semarang sebagai kota dagang tetap bertahan hingga kini.
Selain imaji sebagai kota dagang, Semarang yang sejak dasawarsa kedua abad-20 menjadi simpul berbagai gerakan politik anti-kolonial dinilai sebagai kota ‘yang subur dengan kegiatan revolusioner’, tapi ‘sangat kering dengan kehidupan kebudayaan’; demikian keluhan-keluhan yang sampai ke telinga Hersri Setiawan, ketika ia baru saja ditunjuk menjadi Sekretaris Umum Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) pada akhir 1959. Bagi Hersri, penilaian tersebut lebih terasa parah karena penilaian ’Semarang adalah kota politik, bukan kota budaya’ mengambil pembanding Yogya dan Solo yang telah lama mendapat julukan sebagai ‘kota pelajar’ dan ‘kota budaya’. Menurutnya, pembandingan ini sangat tidak tepat sehingga ia tertantang untuk membuktikan bahwa pendapat tersebut keliru. Ia tidak percaya bahwa kota Semarang ‘kering budaya’. Ia menjadwalkan mengunjungi Semarang sebagai pelaksanaan program Turba atau Turun ke Bawah, sebuah program yang wajib dijalani seniman anggota LEKRA untuk benar-benar memahami masalah masyarakat kecil sebagai dasar penciptaan karya seni.
DEKONSTRUKSI IMAJI SEMARANG OLEH HERSRI SETIAWAN
Setelah berkeliling Semarang, Hersri menuliskan fakta-fakta yang ditemukannya, yang dimuat dalam Bab Mencoba Rumusan Baru dalam buku Tuan Tanah Kawin Muda (hal.68-71) karya Antariksa.
‘Wajah Semarang’ yang ditemukan Hersri, terkesan ‘lebih Cina’ dengan mayoritas warga yang sibuk berdagang memburu untung, berbeda dengan ‘Wajah Yogya’ yang terkesan ‘Jawa kental’ dan lebih asyik menunggu musim. Penduduk Cina Yogya bermukim di sepanjang area Pecinan, sementara di Semarang, penduduk Cina membaur tinggal di tengah-tengah kampung.
Semarang punya Gedung Rakyat Indonesia Semarang (GRIS) yang ‘sepi’ kegiatan budaya, sementara gedung-gedung pertemuan umum di Yogya sangat padat dengan ceramah-ceramah kebudayaan, lomba deklamasi, mengarang cerpen dan puisi. Hersri mendapati praktik-praktik seni budaya di Semarang justru lebih membumi. Contohnya, pementasan wayang potehi bisa dinikmati secara gratis di trotoar sekitar Pasar Yaik pada malam-malam tertentu.
Pada masa Hersri berkunjung, Semarang sudah punya dua gedung pertunjukan besar; Gedung Sobokartti di Jl dr. Cipto dan Gedung Wayang Orang Ngesti Pandhawa di dekat ‘GRIS’. Ketika menyaksikan pertunjukan Wayang Orang Ngesti Pandhawa, tiga pelakon panakawan yang dicatat Hersri adalah Kusni, Sastro Sabdo dan Narto Sabdo, yang di kemudian hari bertransformasi menjadi dalang wayang kulit tersohor. Dalam banyolan-banyolan tiga panakawan tersebut, selalu diseling kata-kata Tionghoa, yang mengisyaratkan ‘pendukung’ di balik seni pertunjukan Jawa ini.
Hersri menyimpulkan bahwa, “Semarang sama sekali bukan daerah kering kebudayaan. Sesungguhnya, tidak ada sejengkal tanah pun, di mana di sana ada kehidupan manusia akan kering dari kehidupan kebudayaan.” Hersri juga menggarisbawahi, bahwa perlu dicari siapa penggerak dan pendukung kehidupan seni budaya Semarang di kalangan masyarakat Tionghoa, selain priyayi dan lapisan menengah Jawa. Kesimpulan Hersri yang dilaporkannya sebagai hasil Turba ke Semarang, kemudian menjadi rujukan dalam pemetaan beragam kegiatan dan pembangunan organisasi kebudayaan di Semarang pada masa tersebut.
STAGNASI SENI BUDAYA SEMARANG, FAKTA ATAU INFERIORITAS BELAKA?
Sebagai warga Semarang yang melewatkan masa tumbuh kembang hingga dewasa di Semarang, cukup banyak individu dalam lingkaran perkawanan saya yang berasal dari kalangan pegiat seni budaya. Keluhan-keluhan dan ungkapan rasa putus asa atas stagnasi lanskap seni budaya kota, kerap mampir di ruang-ruang diskusi kami. Inferioritas terhadap kota-kota seperti Yogya dan Solo ternyata masih terdeteksi hingga 2022, 69 tahun setelah Hersri Setiawan merilis analisis pribadinya tentang kekayaan seni budaya Kota Semarang yang memang memiliki ciri tersendiri.
Kekosongan identitas budaya dan ketidakpahaman atas narasi kesejarahan leluhur sebagai dampak langsung kebijakan politik kebudayaan Orde Baru, pada perkembangannya membawa saya untuk memulai penelusuran mandiri, mengumpulkan berbagai buku, dokumen-dokumen tua berupa surat kabar, majalah, kwitansi, foto-foto, dan apa saja yang sekiranya dapat memberikan informasi tentang Semarang sebagai kota tempat saya dibesarkan, maupun tentang etnis Tionghoa yang merupakan leluhur dari sisi ibu saya.
MENGAPA TAN TAT HIN?
Hasrat ingin tahu ini juga yang akhirnya mempertemukan saya dengan seorang kolektor barang dan dokumen tua, bernama Abu Lawas pada sekitar tahun 2014. Dari kegemaran berbincang-bincang sambil mengagumi benda-benda tua koleksi beliau , saya mendengar kisah kejayaan seorang fotografer Tionghoa bernama Tan Tat Hin, yang malang melintang sebagai fotografer terkemuka di Semarang. Berbagai piranti fotografi yang pernah dimiliki Tan Tat Hin sejak mengelola Tan Tat Hin Studio hingga beralih nama menjadi Studio Photax, kini dikoleksi oleh Abu Lawas. Pak Abu, demikian panggilan akrabnya, punya cita-cita satu saat nanti ingin menggelar pameran khusus bertema Memorabilia Tan Tat Hin.
Dua tahun berlalu hingga perjalanan kerja-kerja saya bersama Lembaga EIN Institute, mempertemukan saya dengan figur budayawan Semarang, Tubagus Svarajati. Saya ingat, mendapatkan saran dari seseorang yang saya sudah lupa siapa, agar menemui Pak Tubagus jika ingin lebih banyak tahu tentang Semarang maupun budaya Tionghoa. Singkat cerita, diskusi-diskusi bernas dengan beliau yang walaupun tidak rutin dilakukan, sangat memperkaya pengetahuan saya sebagai seorang pembelajar pemula.
Tanpa sengaja pula, saya menemukan esai beliau yang berjudul “Jika Orhan Pamuk Melukis Semarang” yang dimuat dalam blog pribadinya. Dalam esainya, Tubagus mengungkapkan kerinduan akan lahirnya sosok se-dedikatif Orhan Pamuk yang tekun melukis kota kelahirannya Istanbul, untuk menyelamatkan keping-keping kenangan bila satu saat nanti zaman berubah dan kota kehilangan perwajahan lamanya. Tubagus berandai-andai sekiranya akan muncul lebih banyak lagi sosok pelaku dokumentasi kota seperti Liem Thian Joe, Amen Budiman, Jongkie Tio, hingga Rukardi, melalui karya teks yang mereka hasilkan.
Menyoroti dokumentasi visual, Tubagus berpendapat karya lukis dan karya foto yang dihasilkan para seniman Semarang belum maksimal dimanfaatkan sebagai metode merekam sejarah kota. Satu fotografer yang karyanya dianggap Tubagus pantas untuk dikumpulkan dan dikaji dari berbagai disiplin keilmuan, adalah Tan Tat Hin. Tubagus berpendapat, karya-karya foto Tan sangat prima secara teknis, namun sayangnya tidak tersimpan dengan rapi, sehingga sulit untuk dilacak secara lengkap oleh publik.
Dua informasi awal inilah yang kian menguatkan niat saya untuk mulai menelisik informasi tentang Tan Tat Hin dari berbagai sumber. Mayoritas foto Tan Tat Hin yang berhasil saya peroleh hanyalah hasil pindai dari surat kabar, majalah dan buku tua, sehingga dapat dipastikan penampakannya sangat buram dan tidak mampu merepresentasikan karya asli Tan Tat Hin yang berkualitas tinggi. Beberapa foto lainnya, saya dapatkan dari akun media sosial, serta blog pribadi. Dua lembar kartu pos bergambar panorama Semarang hasil jepretan kamera Tan Tat Hin, dipinjamkan oleh sahabat lama saya, Harry Suryo, untuk direproduksi menjadi foto berukuran lebih besar.
TAN TAT HIN, FOTOGRAFER MUDA BERBAKAT
Tan Tat Hin, seorang pemuda Tionghoa kelahiran Wlingi-Blitar 29 November 1910 yang kemudian bermigrasi ke Semarang untuk bersekolah sambil menjalani profesi sebagai fotografer profesional.
Pada usia 18 tahun, karya-karya foto Tan Tat Hin telah dimuat berbagai media cetak seperti: Panorama, Pewarta Soerabaja, Djawa Tengah Review, Warna Warta, Weekblad Sin Po, hingga kemudian dimuat di Doenia Film, Star Magazine, dan media luar negeri The Young Companion terbitan Shanghai. Hingga tercatat salah satu pencapaian besar Tan Tat Hin muda yaitu memotret Raja Siam yang sedang mengunjungi Mayor Tionghoa Salatiga Be Kwat Koen. Saat itu Tan Tat Hin masih berstatus siswa sekolah. Ke depannya Tan Tat Hin tercatat sebagai fotografer terkemuka non-Belanda yang karya-karyanya diperhitungkan publik.
TONIL YANG BERKIBLAT KE BUDAYA TIONGKOK
Melalui lensa Tan Tat Hin, terdokumentasikan jejak seni budaya di Semarang yang pernah berkiblat ke seni budaya dengan pengaruh dari negeri Tiongkok. Jenis pertunjukan yang paling kerap ditampilkan adalah tonil, sebuah istilah yang berasal dari bahasa Belanda: toneel, yang merupakan gabungan seni drama dan tari. Pada periode 1930-1940an, tonil mengambil kisah-kisah dari negeri Tiongkok serta busana para pemeran yang mengadopsi busana bangsa Han.
WARGA TIONGHOA SEBAGAI INISIATOR KEGIATAN SENI BUDAYA DAN DONATUR KEGIATAN AMAL
Terdokumentasikan juga peran inisiator dan donatur dari kalangan warga Tionghoa yang sangat aktif menyelenggarakan berbagai pertunjukan seni dengan tujuan pengumpulan dana amal yang dialokasikan untuk membantu berbagai krisis baik di Tiongkok maupun di Hindia Belanda.
RUANG-RUANG YANG DIGUNAKAN DALAM PERTUNJUKAN SENI BUDAYA
Karya foto Tan Tat Hin mendokumentasikan berbagai kelas ruang publik yang digunakan dalam menggelar pertunjukan seni budaya. Dari Staadschouwburg yang merupakan ruang pertunjukan kelas atas, hingga rumah-rumah yang digunakan sebagai kantor sekretariat berbagai organisasi Tionghoa yang lebih sederhana, hingga yang paling inklusif adalah pertunjukan seni budaya yang merupakan bagian dari Pasar Malam Semarang yang digelar Asosiasi Pasar Malam Semarang sejak 1925.
HARAPAN SEORANG PENGUMPUL ARSIP
Inisiasi awal ini saya harapkan akan menjadi pemantik para akademisi/peneliti di bidang antropologi, etnografi, sejarah, arsitektur maupun berbagai disiplin ilmu lainnya untuk dapat melakukan kajian lanjutan; menyumbangkan goresan-goresan kecil pada lukisan besar kesejarahan kota.
Keterbatasan kualitas foto dan keterbatasan narasi yang dapat diungkap pada tiap lembar foto yang tersaji dalam Pameran Foto “Metropolis Semarang 1930-1950an dari Balik Lensa Fotografer Tan Tat Hin” hendaknya tidak menjadi penghalang bagi para audiens untuk menikmati kedinamisan kegiatan sosial dan seni budaya masyarakat perkotaan Semarang di masa lalu.
Kurator: Yvonne Sibuea (EIN Institute)
Foto Utama: Agus Budi Santoso
Catatan: Artikel kuratorial ini dipublikasikan bersamaan dengan Pameran Arsip Fotografi: Metropolis Semarang 1930-1950an dari Balik Lensa Fotografer Tan Tat Hin yang telah diselenggarakan di Monod Huis Jl. Kepodang-Kota Lama, Semarang, pada 23-25 September 2022 lalu. Pameran arsip fotografi diselenggarakan sebagai bagian dari kegiatan Srawung Semarangan 2022 inisiasi Gambang Semarang Art Company bekerja sama dengan EIN Institute, Forum Peranakan Tionghoa Semarang, serta RM Joglo Agung – Likoopi; dukungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melalui Fasilitasi Bidang Kebudayaan 2022.