Pepatah “hidup segan mati tak mau” nampaknya cocok menggambarkan eksistensi wayang potehi di Indonesia selama lima dasawarsa terakhir. Semenjak dilarangnya ekspresi kebudayaan Tionghoa oleh pemerintah Orde Baru pada 1967, praktis kesenian khas Tionghoa Hokkian ini lenyap dari pandangan masyarakat umum.

Reformasi 1998 dan dukungan Presiden keempat, Abdurrahman Wahid, yang mencabut Inpres No 14 Tahun 1967 yang diskriminatif itu, menggairahkan kemunculan kembali tradisi Tionghoa, termasuk wayang potehi.

Di banyak kelenteng, terutama menjelang dan selama perayaan Imlek, acap dijumpai pergelaran wayang potehi. Namun demikian popularitasnya tak bisa lagi menyamai masa-masa sebelum pelarangan.

Menjembatani Wayang Potehi untuk Dinikmati Lintas Generasi

Generasi milenial Tionghoa khususnya serta generasi-generasi di bawahnya, karena keterikatan erat pada dunia digital –  menjadi terputus secara kesejarahan dengan kesenian wayang potehi. Tidak mengherankan, mereka saat ini, tidak lagi mengenal kesenian wayang potehi. Pasal lain, dalam hal selera, kebanyakan generasi muda juga cenderung menjauhi ekspresi seni budaya tradisional.

Hal lain yang menyebabkan wayang potehi saat ini tak lagi populer adalah dari penampilan wayang potehi sendiri yang ‘out of date’ alias ketinggalan zaman.

Permasalahan ini pernah dibahas di ranah publik pada Januari 2020 lalu, saat diadakan diskusi tentang wayang potehi di Pasar Imlek Semawis. Diskusi tersebut menghadirkan pemerhati budaya Tionghoa, peneliti wayang potehi, pemerintah yang membawahi kerja kebudayaan serta pelaku kesenian potehi itu sendiri.

Lihat: Wayang Potehi 2020: Upaya Kolektif Meraup Perhatian Generasi Digital

Dalam pembicaraan terungkap beberapa faktor yang membuat wayang potehi seolah jalan di tempat, yaitu faktor bahasa (Hokkian) yang kadang pengucapannya berbeda karena sering hanya sekadar hafalan, bukan benar-benar paham; cerita yang terlalu panjang dan klasik, cenderung  membuat membuat bosan; musik yang dirasa juga perlu adanya konteks pada budaya setempat dengan cara dipadukan dengan musik lokal. Selain itu juga diusulkan ada semacam “potehi center” untuk menjadi pusat pengembangan kesenian wayang potehi. Jadi kesenian ini tidak dianggap sekadar warisan budaya masa lalu, tetapi bisa berkembang seiring perkembangan zaman.

Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong atau Rasa Dharma bekerja sama dengan Perkumpulan Fu He An asal Jombang di bawah asuhan Toni Harsono, yang merupakan salah satu perkumpulan wayang potehi yang masih eksis di Indonesia, menyambut tantangan untuk menjaga kelestarian wayang potehi. Satu cara yang sudah digagas sejak Imlek lalu adalah dengan mengupayakan sebuah panggung keliling (mobile stage). Dengan panggung keliling, diharapkan wayang potehi bisa lebih menjangkau tempat-tempat pertunjukan seperti sekolah, perusahaan atau bahkan di perumahan.

Tantangan yang Benar-benar Diwujudkan

Dan rencana itu menjadi kenyataan dengan diluncurkannya GoPot(ehi) di gedung Perkumpulan Rasa Dharma, Kamis, 1 Oktober 2020 lalu. GoPot(ehi) memakai sebuah mobil bak terbuka yang dimodifikasi, sehingga dapat memuat lima orang kru pementasan dengan panggung di bagian belakang bak. Setelah pertunjukan selesai, panggung bisa dimasukkan dan ketiga sisi bak belakang ditutup. Mobil pun bisa beralih ke lokasi berikut. Pengadaan GoPot(ehi) ini didukung oleh perusahaan minuman kemasan Marimas.

Panggung GoPot(ehi) di depan pintu masuk Perkumpulan Boen Hian Tong (Rasa Dharma)

Acara peluncuran tersebut digelar dalam suasana pandemi Covid-19, sehingga menerapkan protokol kesehatan yang cukup ketat dan hanya dihadiri oleh para undangan. Tampak hadir pula Walikota (demisioner) Semarang, Hendrar Prihadi, yang akrab disapa Mas Hendi.

Transformasi Wayang Potehi

Harjanto Halim, sebagai Ketua Perkumpulan Rasa Dharma menjelaskan bahwa acara peluncuran GoPot(ehi)  digelar bersamaan dengan berlangsungnya Festival Kue Bulan (Tiong Ciu Pia) yang jatuh pada setiap tanggal 15 bulan 8 dalam penanggalan Cina. Maka cerita yang dipilih untuk mengawali kiprah GoPot(ehi) ini adalah “Hou Yi Memanah Matahari”, yang mengisahkan kesetiaan seorang istri dalam menjaga pil ajaib yang dititipkan sang suami padanya. Dalam kondisi terdesak, ia terpaksa menelan pil ajaib tersebut, yang justru membuatnya melayang ke angkasa sampai ke bulan. Maka sejak saat itu untuk mengenang istri tercintanya, sang suami membuat kue berbentuk bulat seperti bulan.

Pengurus Perkumpulan Boen Hian Tong bersama Toni Harsono

Pengisahan “Hou Yi Memanah Matahari” oleh Perkumpulan Fu He An berdurasi hanya 30 menit. Jauh lebih singkat dibanding pementasan wayang potehi konvensional yang bisa berlangsung berjam-jam. Hal ini merupakan penyesuaian berdasar masukan dalam diskusi Januari lalu. Diharapkan dengan durasi 30-45 menit, penonton masih bisa fokus dan menikmati jalannya cerita.

Ayo Nonton Wayang Potehi

Pihak yang tertarik untuk mengadakan pementasan GoPot(ehi) bisa menghubungi langsung Toni Harsono melalui akun Whatsapp (https://wa.me/62853-3536-8489). Biaya sekali pementasan hanya sebesar satu juta rupiah. Sampai dengan tanggal 9 Oktober, GoPot(ehi) masih akan berada di Semarang. Setelahnya mereka akan mulai perjalanan menjelajah Nusantara dengan pertama menuju ke barat (Sumatra).

Facebook Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *