Karya sastra memberi keleluasaan lebih pada penulisnya untuk menyampaikan kritik sosial karena status cerita rekaan imajinatif yang disematkan padanya. Karya sastra juga bisa memasukkan rincian yang lebih menyentuh emosi pembaca ketimbang buku kajian nonfiksi, sehingga lebih punya daya untuk membangkitkan afeksi atau mendorong perubahan perilaku. Namun, sebetulnya seperti apa pergulatan batin dan proses yang dialami penulis sampai akhirnya berani menuangkan refleksi atas fakta-fakta sejarah dalam karya sastra dan kemudian menerbitkannya?
Dewi Anggraeni Fraser lahir pada 1 Juni 1945 di Jakarta, kini tinggal di Melbourne. Sejak masa remajanya Dewi aktif menulis dan mengirimkan karyanya ke berbagai media. Pertama kali Dewi terjun di dunia jurnalistik sebagai wartawan pada 1986, ketika itu dirinya telah menetap di Australia selama lebih dari sepuluh tahun.
Periode itu majalah Tempo merekrut Dewi sebagai wartawan koresponden tetap hingga Tempo dibredel pemerintah tahun 1994. Ketika kembali beredar 5 tahun kemudian, Dewi yang diminta balik bekerja memutuskan untuk menjadi wartawan lepas karena banyaknya tuntutan pekerjaan yang ia terima dari banyak media di Australia.
Dewi Anggraeni || Foto: Siek Liang Thay
Dewi yang kerap terlihat mengenakan batik ini masih banyak menyumbangkan karya informatifnya baik dalam bentuk opini, esai maupun artikel walau sudah tidak lagi bekerja sebagai wartawan tetap. Berbagai media yang pernah menerbitkan tulisan Dewi antara lain The Jakarta Post, The Age, The Australian, Sydney Papers, Financial Review dan Griffith Review.
“Melalui karya-karya saya baik fiksi maupun non-fiksi, saya ingin menyampaikan cerita-cerita dan isu yang terlupakan atau dianggap tidak menjual oleh media melalui kemasan novel yang bisa menarik minat banyak orang,” ucap Dewi.
Dewi memiliki perhatian khusus pada isu etnis Tionghoa; pergolakan sosial budaya dan politik yang harus mereka alami selama mendiami bumi Indonesia. Ketertarikan ini diejawantahkan dalam rangkaian publikasinya antara lain: Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya Komnas Perempuan, Mereka Bilang Aku Cina: Jalan Mendaki Menjadi Bagian Bangsa, My Pain, My Country, serta novel terkininya Membongkar yang Terkubur.
7 Februari 2020 lalu, Dewi merilis novel bergenre fiksi sejarah Membongkar yang Terkubur di Gedung Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro (MIKOM UNDIP) Semarang.
Novel Membongkar yang Terkubur ditulis dari sudut pandang dua tokoh: Prita Setyawati, seorang perempuan diaspora Tionghoa-Indonesia yang menikah dengan pria Australia-Portugis dan tinggal di Melbourne. Setyawati diminta sebuah perusahaan produksi film untuk menggubah musik latar belakang. Penulisan skenario film akan dimulai setelah gubahan musik karya Setyawati selesai digarap. Tema latar belakang musik yang diminta adalah refleksi kehidupan masyarakat etnis Tionghoa dengan beragam pengalaman hidup di Indonesia yang sarat represi dan diskriminasi. Setyawati yang dibesarkan di Indonesia dianggap memiliki latar belakang yang tepat untuk menggarap proyek musik ini.
Tokoh kedua dalam novel adalah Nicholas ‘Nick’ Goncalves, cucu Prita Setyawati yang sedang berkuliah hukum dan sosial di Melbourne. Kedekatannya dengan sang nenek, serta ketertarikannya pada situasi sosial politik Indonesia; khususnya etnis Tionghoa, membawanya bersikeras untuk menemani Setyawati selama mengadakan riset di Jakarta.
Setyawati dan Nick terlibat dalam penelusuran mendalam tentang berbagai sisi kelam kehidupan nenek moyang mereka secara khusus dan orang-orang Tionghoa secara umum. Berbagai fakta baru tersibak, menguak kerumitan masa lalu yang terbawa hingga kini, menyisakan pekerjaan besar yang masih harus ditunaikan generasi mendatang.
Peluncuran “Membongkar yang Terkubur” terselenggara atas kerjasama EIN Institute, Yayasan Budaya Widya Mitra, Perkumpulan Boen Hian Tong (Rasa Dharma) serta Penerbit Ombak.
Tercatat Triyanto Triwikromo (sastrawan), Widjajanti Dharmowijono (peneliti imagologi), dan Rukardi Achmadi (sejarawan) didapuk sebagai pemantik diskusi dalam acara peluncuran novel ini.
Peluncuran Buku “Membongkar yang Terkubur” di Semarang || Foto: Siek Liang Thay
Berikut pemaparan Dewi Anggraeni tentang pengalamannya menulis dan menerbitkan “Membongkar yang Terkubur” :
Berbeda dengan penulisan fakta dalam dunia politik, sosial dan sejarah yang juga menjadi tugas-tugas saya dalam masa kerja saya sebagai wartawan, penulis kolom. Dari menulis fiksi kita mendapat kebebasan untuk mengembangkan cerita seperti yang kita bayangkan. Namun itu tidak berarti dalam menulis fiksi kita tidak dibatasi fakta sejarah yang sudah direkam para sejarawan, para pakar sosial politik, maupun pakar-pakar lainnya.
Kalau disimak, J.K. Rowling dalam seri Harry Potter-nya, dan J.R.R Tolkien dalam The Lord of the Rings-nya. Dalam cerita fantasinya yang memukau habis-habisan pun, tidak seenaknya saja melantur ke sana kemari semau mereka tanpa respek pada sejarah. Di sini Tolkien menarik batas sejarah lebih panjang dan lebih lebar. Mereka pun tetap memanfaatkan cerita mereka, fantasi atau bukan, dalam kerangka sejarah.
Apa yang terjadi ialah, dalam menulis fiksi, kita dapat mengembangkan kisahnya mengikuti arus yang sudah tersimpan dalam bawah sadar kita. Kisah yang dalam perjalanan hidup kita, terekam dalam prona ingatan kita.
Sebelum saya bicara panjang lebar tentang menulis fiksi, sebaiknya saya kembali kepada apa yang diminta dari saya.
Jawaban yang terlontar dari benak saya ialah, saya memang suka bercerita, dari kecil saya suka bercerita. Dan tentunya dalam bercerita saya ingin agar ada yang mendengarkan. Namun setelah merenungkan banyak pertanyaan ini, saya dapat melacaknya ke saat-saat awal, yaitu waktu mengobrol dengan teman-teman. Obrolan ini segera saya rasakan resonansinya, dan makin saya pikirkan, resonansi ini makin menggaung dalam batin saya, bagai lantunan melodi yang bukan saja kian tinggi volumenya, tapi juga kian bertahta di dalam diri saya, dan menolak ketika saya mencoba mendorongnya keluar.
Banyak dari sahabat saya, bukan keturunan Tionghoa seperti saya, bahkan ada juga yang berbeda agama, tapi kami sangat dekat dan sangat saling percaya. Bahkan, saling melindungi, meskipun tidak jarang berbeda pendapat.
Berbeda pendapat dengan suatu peristiwa atau situasi bukan sesuatu yang mengherankan buat kami. Bagi kami itu sesuatu yang biasa. Tapi kami selalu menghargai dan memperkaya wawasan masing-masing.
Dalam persahabatan kami, saya sering lupa, bahwa mereka juga ingin tahu, bagaimana ambiansi keluarga-keluarga Tionghoa, dan bagaimana rasanya kalau mereka dari dalam memandang keluar dan kalau sudah berada di dalam memandang ke sekeliling.
Tidak pernah terpikir oleh saya, bahwa saya juga sebetulnya ingin tahu. Mungkin secara tidak sadar, saya menganggap itu sesuatu yang kelihatan oleh siapapun. Namun bukan tidak ada rasa ingin tahu dari diri saya. Rasa ingin tahu saya lebih tertuju pada apa yang terjadi pada keluarga ini, keluarga itu, karena biasanya ada indikasi bahwa di balik situasi yang mereka alami masa ini, ada yang menyebabkannya di masa lalu.
Bukankah biasanya begitu, sesuatu yang kita alami sekarang baik di ruang sosial maupun ruang pribadi, ada penjelasan sebabnya di masa lalu. Kesadaran ini membuat kita ingin membongkar apa yang sebenarnya yang sudah ditutupi, yang begitu rapi.
Setelah mengetahui, plus, karena pengetahuan saya tentang ambiansi sosial maupun pribadi dengan dunia orang keturunan Tionghoa banyak yang berasal dari pengalaman dan rekaman bawah sadar saya; saya mengerti bahwa untuk bercerita dengan rasa tanggung jawab, saya harus melacak lebih jauh. Saya pun mulai membaca bahan-bahan yang berkaitan dengan sejarah, pemikiran politik, pengalaman berbagai golongan di dunia tersebut. Saya ngobrol dengan teman-teman dan kerabat keturunan Tionghoa.
Dan lalu saya katakan yang sejujurnya, cerita dan informasi yang saya dapatkan; jauh melebihi apa yang kemudian masuk dalam naskah Membongkar yang Terkubur. Itu juga sesuatu yang biasa terjadi dan perlu. Apa yang kita tahu, harus lebih banyak daripada apa yang kita ceritakan.
Ada yang seperti keluarga saya, sudah berbaur dari segi keturunan, budaya, maupun dari segi sosial dan pandangan politik. Tapi banyak juga yang berbeda dari situasi saya, dalam gradasi yang berbeda-beda pula. Dan tidak banyak keluarga, yang garis perjalanan sejarahnya, dasar pemikiran politiknya lurus dan bersih. Yang membuat garis ini berliuk-liuk juga berarti pengalaman hidup, pendidikan, pernikahan; semua mempengaruhi garis ini.
Kendati sudah saya ketahui secara intelektual, bila saya segera menjadi lebih kuat, fokus saya mendapatkan informasi, bahkan konfirmasi dalam arah kenyataan bahwa kaum etnis Tionghoa selain mengalami diskriminasi sosial, rasial dan institusional juga mengalami persahabatan dengan individu-individu atau keluarga dari masyarakat luas yang bukan Tionghoa.
Dan sekarang perjalanan persahabatan terjalin, mereka tidak lagi merasakan sekat-sekat di antara mereka. Yang ada adalah perbedaan yang membuat hidup mereka masing-masing lebih penuh arti. Tidak jarang persahabatan ini juga menjadi awal hubungan yang lebih dekat dari kedua keluarga yang bersahabat, dengan pernikahan antar etnis dan antar golongan. Memang kenyataan ini juga menunjukkan, bahwa masih ada kekhawatiran dari kedua pihak bahwa pernikahan seperti ini, di mana kedua individu berasal dari dua etnis yang berbeda, tidak akan langgeng. Tapi kalau itu sebabnya, latar belakang sosial politik yang berbeda pun bisa menyebabkan ganjalan yang serius.
Selain itu, orang-orang Tionghoa ini, mengalami masalah maupun ganjalan keluarga tanpa melangkah keluar pun dari Ke-Tionghoa-an mereka. Banyak dari masalah-masalah ini kuat kaitannya dan hidup di tengah-tengah masyarakat yang bukan Tionghoa. Di mana seperti yang saya sebutkan sebelumnya banyak dari mereka sudah berbaur.
Rasa ingin tahu saya benar-benar tergugah untuk melangkah lebih jauh dalam menelusuri cerita-cerita ini. Untuk ini saya memetakan riset sejarah negeri Tiongkok, bagian-bagian yang ada kaitannya dengan rakyatnya yang waktu itu terpaksa meninggalkan tanah leluhurnya karena sebab-sebab tertentu. Ada juga yang secara sukarela meninggalkan tanah leluhurnya untuk berkelana ke tanah-tanah lain. Saya mencari informasi, harapan apa, ketrampilan apa dibawa mereka ke tanah-tanah baru ini.
Berlawanan dengan apa yang kita dengar tentang kaum pengelana dari Tiongkok ini, meskipun berasal dari kawasan yang berdekatan pun, mereka berbeda memperkenalkan diri. Lalu setiba di tanah baru, apa yang terjadi pada mereka?
Karena saya batasi riset saya pada yang tiba di tanah Nusantara, dan lebih spesifik lagi; tanah Jawa; cerita yang berkembang dalam imajinasi saya berlebih kental dan lebih mudah diraih oleh para pendengar atau pembaca ini.
Setidaknya timbul harapan saya, karena bagi seorang penulis, pembawa cerita; itulah yang paling penting, bahwa cerita yang dikisahkannya dapat dibayangkan kembali oleh pembacanya.
Bukan saja dibayangkan tapi juga dimengerti lebih dalam, dihayati.
Saya menulis, menuturkan cerita bukan untuk memberi informasi pada pembaca, maupun menyampaikan sesuatu misi, tapi untuk mengajak pembaca turut dalam “journey of discovery” bersama saya. Saya menguapkan dunia keping-keping cerita bersama-sama dengan pembaca.
Sesungguhnya saya, dan saya kira penulis fiksi pada umumnya dalam menuturkan cerita, telah membuka dirinya, ranah privatnya kepada pembaca.
Ini bukan sesuatu yang mudah kami lakukan, karena kami membuka diri dan artinya kami rentan pada rasa luka. Tetapi ini terjadi dan bagian terbesar dalam rangkuman yang dibuat oleh imajinasi saya, yang menyerap kisah-kisah yang terlempar keluar dari tempat sembunyinya dan telah saya tumpahkan dalam sebuah wadah fiksi.
Dalam cerita “Membongkar yang Terkubur”, keluarga ini adalah tempat batu loncatan untuk perjalanan penelusuran dari jauh. Meskipun alur ceritanya fiksi, latar belakang sejarahnya sudah dirisetkan benar. Sampai batas-batas yang ditarik para sejarawan dalam dokumen-dokumen mereka.
Dalam catatan mereka, para sejarawan pun tidak selalu sepakat dalam berbagai detailnya. Jadi dengan begitu, saya mendapat semacam ruang bermain di situ. Dan seorang penulis fiksi harus sigap memanfaatkan apa saja yang muncul di hadapannya.
Jadi pada gambaran besarnya, membaca cerita ini seperti menyaksikan arwah-arwah yang menari-nari di atas permukaan bumi dunia nyata.
Dalam cerita saya, kejadian-kejadiannya benar terjadi. Dan tokoh-tokohnya yang mungkin adalah tokoh komposit dari beberapa tokoh hidup, berinteraksi dengan tokoh-tokoh imajiner dalam alur cerita yang saya rajut.
Kalau ada bagian-bagian yang menyinggung sebagian pembaca karena satu atau lain sebab, saya minta maaf. Yang saya minta ialah, kalaupun ada yang merasa bahwa apa yang saya ceritakan itu sebetulnya tidak pernah terjadi dalam keluarga saya, atau keluarga saya sangat berbeda dengan keluarga dalam cerita Membongkar yang Terkubur, tolong pikirkan bahwa apa yang terjadi dalam satu keluarga tidak berarti tidak pernah terjadi dalam keluarga lain.
Setelah itu kalau diulas, dianalisis, dikritik, saya harus merelakannya, karena pada dasarnya sekali sebuah buku dirilis oleh penerbitnya, penulisnya sudah kehilangan kendali atas karyanya itu. Karyanya itu sudah menjadi milik publik. Penulisnya hanya bisa berharap; bahwa yang mengulasnya, mengkritiknya, tidak mengobrak-abriknya tanpa simpati.
Kalau nanti ada pertanyaan dari para hadirin yang saya hormati, saya akan berupaya menjawab dengan sejujurnya, asal yang ditanyakan bukan isi atau alur ceritanya. Saya tidak bisa menjawab itu, karena para hadirin mungkin akan merasa tidak perlu membacanya lagi. Kalau itu yang terjadi, pasti itu tidak akan membuat senang Pak Nursam, penerbit saya yang baik hati.
“Terima kasih dan selamat membaca Membongkar yang Terkubur. Semoga membawa kenikmatan tersendiri.“
DEWI ANGGRAENI
* Tautan ke Penerbit Ombak untuk mendapatkan Novel “Membongkar yang Terkubur” : http://penerbitombak.com/product/membongkar-yang-terkubur-novel/
Akhirnya bisa tahu Dewi wartawan Tempo ini. Respect
Ada banyak pesan dan kesan untuk saya sebagai penulis novel pemula. Terima kasih telah berbagi ilmu, ibu Dewi Anggraeni.