Kamis lalu saya ngabuburit asik dengan ikut menyimak anak-anak muda ngobrol tentang kerukunan beragama melalui YouTube livestreaming LBH Semarang. Obrolan yang dinamai Ngobrol Pintar Sareng Rencang (NgoPi SaRe) mengusung tema “Potret Kerukunan Beragama di tengah Pandemi Covid-19”.
Intoleransi di Masa Krisis
Pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini menimbulkan dampak dalam banyak hal, tak terkecuali kehidupan kerukunan beragama di Indonesia. Peristiwa yang memprihatinkan terlihat dalam video yang viral beberapa waktu lalu, terlihat terjadi persekusi terhadap umat beragama yang melaksanakan ibadah di rumah oleh warga masyarakat. Padahal ibadah di rumah merupakan anjuran dari pemerintah guna mencegah penyebaran Covid-19. Dari peristiwa yang terjadi di Cikarang beberapa waktu lalu ini tentu menjadi potret masih adanya kasus-kasus intoleransi yang terjadi selama masa Pandemi Covid-19 ini.
Noval Sebastian dari LBH Semarang sangat menyayangkan peristiwa itu terjadi, “Saya tidak mengerti apa motif persekusi terhadap umat Nasrani yang beribadah di rumah tersebut terjadi. Tetapi asumsi saya adalah mungkin orang-orang yang melakukan persekusi tersebut beranggapan jika sebuah rumah dijadikan tempat untuk beribadah dan berdoa umat Nasrani otomatis rumah tersebut menjadi gereja. Padahal ibadah bisa dilakukan di mana saja sama seperti umat Islam yang bisa menjalankan sholat dimanapun asal tempat tersebut suci”.
“Yang saya sayangkan adalah sikap yang diambil oleh pemangku kebijakan, kalau yang melakukan persekusi dan intimidasi dari kelompok mayoritas. Kenapa rasanya sangat mudah selesai dengan meterai dan video klarifikasi dari pelaku? Seharusnya aparat harus lebih tegas menindak kasus-kasus persekusi semacam itu terjadi,” ujar Dewi Praswida aktivis GUSDURian Semarang.
Kalau kita lihat fenomena yang terjadi pada beberapa waktu terakhir ini memang bisa disebut sebagai persekusi. Dan rasanya perlu adanya pemenuhan keadilan bagi semua umat beragama dan berkeyakinan yang dijamin oleh negara tanpa memandang mana yang mayoritas dan mana yang minoritas. Bukan justru ketimpangan penegakan hukum yang nyata terjadi.
“Seharusnya masyarakat dan pemerintah bekerja sama untuk melalui masa pandemi ini, tetapi justru yang terjadi ada kelompok masyarakat yang mempersekusi masyarakat yang lain. Ini sangat disayangkan, dan di sini peran negara sangat diperlukan, dan aparat harus berani menindak tegas jika peristiwa seperti itu terjadi. Harapannya tidak muncul adanya balas dendam dari agama lain, jadi masyarakat harus saling menghargai antar sesama, terutama dalam hal beribadah,” tambah Setyawan Budi, Koordinator Persaudaraan Lintas Agama (PELITA) Semarang; yang lebih dikenal dengan panggilan, Wawan.
Pembiaran Intoleransi Sudah Lama Terjadi
Nauval mengungkap, ketidaktegasan pemerintah menghadapi kesemena-menaan terhadap umat beragama minoritas sudah lama terjadi. Contoh kasus lama adalah kisruh perizinan GBI Tlogosari di Semarang yang telah berlangsung sejak 1998. Juga kasus di Jepara, di mana Gereja (GIJT) dilarang beribadah …
Kepedulian di Masa Krisis Tidak Perlu Dikotak-kotakkan oleh Agama, Suku atau Ras.
Akan tetapi masih ada angin segar yang datang dari potret kerukunan beragama selama masa Pandemi Covid-19 ini. Beberapa hal yang terjadi menunjukan bagaimana antar umat beragama saling bersolidaritas memberikan dukungan bagi sesama, salah satunya yang ditunjukkan di Semarang dengan terlibatnya jaringan lintas agama dalam mendistribusikan bantuan bahan pokok.
Kegiatan yang dimotori oleh GUSDURian Peduli ini memberi bantuan sosial pada masyarakat membutuhkan yang terkena dampak Covid-19, bantuan tersebut dalam bentuk paket sembako dan paket sehat. “Yang dilakukan di Semarang ini termasuk unik, karena menggandeng teman-teman komunitas lintas agama untuk terlibat dalam pendistribusian bantuan. Banyak macam ekspresi haru kita temukan dari penerima selama membagikan bantuan, ternyata hal sekecil apapun yang kita berikan jika kita mau bergotong-royong tidak memandang perbedaan agama dan sebagainya itu akan memberikan dampak yang luar biasa” ujar Wawan yang turut terlibat dalam pendistribusian bantuan.
Dan sejauh ini selama hampir satu bulan kegiatan pendistribusian bantuan dilakukan tidak dijumpai adanya penolakan ataupun orang yang mempermasalahkan siapa yang memberikan bantuan dan siapa yang berhak menerima bantuan. Karena penerima bantuan tidak dipilih bedasar apa agama dan keyakinannya, akan tetapi berdasar pada orang yang memang berhak mendapatkan bantuan.
Justru para relawan kemanusiaan ini membawa misi ganda dalam melakukan kegiatannya, karena selain mendistribusikan bantuan paket sembako & paket sehat juga turut membawa pesan kerukunan beragama kepada masyarakat luas. Hal ini tentunya sangat boleh untuk diduplikasi dan dilakukan di daerah-daerah lain. Anak-anak muda mau bergotong-royong membantu sesama tanpa memandang latar belakang agama, suku, dan rasnya.
“Dimasa pandemi ini kita harus saling jaga, tidak perlu meributkan agama orang lain, justru jika semakin banyak orang yang beribadah dan berdoa harapannya semoga musibah pandemi ini segera berakhir” tambah Dewi.