Relasi dan intimasi seseorang dengan lingkungan tempat tinggalnya penting untuk terus dibina. Terlebih kini dalam era digital, di mana kita bisa menjelajah dunia virtual tanpa batas dan rentang perhatian menjadi pendek dengan segala hal yang bersifat instan. Manusia (terutama generasi muda) cenderung menjadi semakin kurang perhatian pada lingkungan sekitar. Terungkap dalam idiom bahwa gawai itu mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Ketertarikan pada lingkungan hanyalah pada hal-hal yang bersifat hiburan dan permukaan.
Semarang adalah satu kota yang memiliki peran signifikan dalam lintasan sejarah Nusantara. Di samping itu Semarang dikenal pula sebagai kota yang sangat plural dan menjunjung tinggi toleransi antar golongan. Keberagaman dan toleransi ini tak bisa dipisahkan dari sejarah terbentuknya kota Semarang menjadi kota yang kosmopolit. Berbagai budaya yang berpadu-padan di kota ini mengemuka dalam berbagai tradisi musik, bangunan, busana, kuliner serta hidup keseharian warganya.
Kedua hal inilah yang melatarbelakangi EIN Institute dan Persekutuan Orang Muda – Jemaat Allah Global Indonesia (POM JAGI) untuk mengadakan sebuah seri kelas daring bagi anak muda bertajuk “Mengenal Kawasan Kota Tua Semarang” atau disingkat “Mengenal Semarang”. Kelas yang digelar sebulan sekali mulai bulan Agustus hingga November ini menghadirkan Muhammad Yogi Fajri, pegiat sejarah dan cagar budaya Semarang, sebagai narasumber.
Tidak banyak orang tahu bahwa kawasan kota tua Semarang bukanlah hanya Kota Lama yang saat ini menjadi salah satu tujuan wisata utama Semarang. Semarang lama dibentuk oleh lima kawasan yang didasarkan pada etnisitas, yaitu Kota Lama (Eropa), Kauman (Jawa-Islam), Pecinan (Tionghoa), Pekojan (Koja) dan Kampung Melayu (etnis campur dengan dominan Arab). Kelima kawasan yang beragam dan “diikat” oleh aliran Kali Semarang inilah yang menjadi inti dan mewarnai kota Semarang sampai dengan awal abad ke-20, ketika kemudian mulai ada pemekaran kota ke arah selatan dan selanjutnya ke barat dan timur.
Yogi, panggilan akrab sang narasumber kami anggap mumpuni untuk mengampu serial kelas daring ini, karena selain memiliki ketertarikan pada isu sejarah dan cagar budaya Semarang, dia juga bergiat melalui komunitas Lopen dan Bersukaria Tour, serta aktif dalam berbagai forum pemerhati konservasi kawasan cagar budaya. Di samping itu, usianya yang relatif muda menjadikannya cocok untuk mengomunikasikan pengetahuan tentang sejarah dan cagar budaya kepada kawula muda.
Melalui acara ini Yogi mengajak anak-anak muda, bahkan yang dewasa juga, untuk melihat kawasan bersejarah Semarang tidak hanya dengan kacamata estetika dan nostalgia belaka. Audiens juga dipaparkan pada masalah yang mendera kawasan-kawasan tersebut. Sehingga melalui program ini anak-anak muda ini menjadi lebih terbuka wawasan dan kepeduliannya terhadap kota Semarang. Secara umum kelas daring ini dibuka untuk umum, terutama warga Semarang. Namun secara khusus, acara turun ke lokasi diperuntukkan bagi anak-anak muda JAGI.
Kota Lama
Kota Lama kami susun sebagai topik pembuka, karena kawasan inilah yang sekarang bintangnya paling bersinar di antara kawasan-kawasan tua lainnya. Kota Lama telah ditetapkan menjadi salah satu ikon wisata Semarang. Pada akhir pekan tak jarang jalan Letjen Suprapto (dulu Heerenstraat) padat oleh wisatawan yang sibuk berswafoto. Dalam hati, saya sering bertanya-tanya apakah mereka yang sibuk berswafoto itu paham bahwa keberadaan kawasan ini merupakan buntut dari dikuasainya Semarang oleh VOC (dan kemudian Hindia Belanda), sebagai ongkos yang harus dibayar Mataram atas jasa VOC ikut menumpas pemberontakan Trunajaya?
Dalam mengenalkan Kota Lama, Yogi tak hanya menyajikan berbagai keindahan bangunan-bangunan kuno serta perbandingan dulu dan sekarang. Namun Yogi juga menampilkan beberapa dampak negatif dari revitalisasi yang menjadikan kawasan ini sebagai salah satu tujuan wisata utama Semarang, di antaranya adalah sumur tua di barat Gereja Blenduk yang alih-alih dirawat, justru dibangun toilet di sebelahnya. Atau berbagai ornamen jalan (street furnitures) seperti bollard, lampu, pot bunga, water fountain dan boks telepon yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi warisan budaya. Belum lagi pembiaran oleh beberapa pemilik gedung yang enggan merekonstruksi bangunan lamanya, sehingga bangunan tersebut melapuk sedikit demi sedikit.
Kampung Kauman
Kampung Kauman adalah kawasan yang diulik pada giliran berikutnya. Kampung Kauman yang tak bisa dipisahkan dengan kawasan Jurnatan-Bubakan, sebagai kawasan pemerintahan pertama jaman pendiri Semarang yaitu Ki Ageng Pandanaran. Kauman sebagai permukiman bersanding dengan berbagai fasilitas publik seperti masjid agung, alun-alun, pendopo kabupaten dan pasar.
Sekalipun jalan utama yang membelah Kauman merupakan jalan yang padat dengan kegiatan perekonomian yang ramai, namun permukiman di baliknya ternyata cukup nyaman, tertata dan bersih. Bahkan cukup mengejutkan bahwa kami menemukan beberapa hidden gems bangunan-bangunan rumah lawas yang indah dengan berbagai langgam – indis, melayu, jengki – yang masih utuh dan berfungsi.
Kondisi ini terasa sangat kontras dengan kondisi fasilitas publiknya. Era Orde Baru menjadi era kehancuran dan penghancuran kawasan yang mestinya menjadi cagar budaya. Kanjengan awalnya merupakan pusat pemerintahan kabupaten Semarang. Pasca ibukota kabupaten Semarang dipindah ke Ungaran, Kanjengan hanya tinggal menyisakan nama, karena semua bangunan lamanya dirobohkan dan diganti dengan bangunan modern. Sempat dibangun semacam klub malam di sini, yang lantas juga terpuruk, saat ini kawasan Kanjengan berisi ruko-ruko dan pedagang pasar kaki lima. Kondisi jalan yang rusak dan drainase yang buruk sehingga acap banjir saat musim hujan menambah kesemerawutan kawasan ini.
Tahun 2015 Semarang hampir saja kehilangan satu cagar budaya penting di kawasan ini yaitu pasar Johar. Kebakaran hebat memorak-porandakan tak hanya bangunan ini namun juga melebar ke pasar Yaik di sebelahnya dan kawasan Kanjengan. Untung saja, para pegiat konservasi cagar budaya bergerak cepat untuk mengadvokasi pembangunan kembali karya Thomas Karsten ini. Saat ini bangunan fisiknya sudah kembali ke bentuk semula.
Alun-alun, yang merupakan ciri khas struktur kota-kota di Jawa, sempat menghilang sejalan dengan dibangunnya Simpang Lima sebagai alun-alun baru. Tak banyak orang, terutama generasi muda, yang tahu bahwa di tempat berdirinya pasar Yaik dan Hotel Metro dulunya adalah sebuah tanah lapang. Pasca kebakaran pasar Johar, pasar Yaik dirobohkan dan lahannya dikembalikan menjadi alun-alun, sekalipun ukurannya lebih kecil dibanding aslinya.
Kampung Melayu
Kawasan berikutnya yang diperkenalkan adalah Kampung Melayu. Kawasan yang terletak paling utara jika dibandingkan dengan kawasan-kawasan kota tua lainnya ini tampak sebagai kawasan yang paling terabaikan pembangunannya maupun konservasinya. Padahal Kampung Melayu bisa dikatakan sebagai kawasan yang paling kosmopolit. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari fungsinya di masa lalu sebagai tempat pendaratan para pedagang antar pulau – antar negeri. Sehingga tampaklah berbagai etnis yang menghuni kawasan yang lantas menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua franca. Etnis Arab Hadramaut merupakan etnis yang cukup dominan di sini. Hal ini tampak dari diadakannya jabatan perwira tituler (Kapten Arab) untuk mengelola kawasan ini. Selain itu budaya etnis Arab juga tampak dari peninggalan Masjid Layur, yang dikenal juga sebagai masjid Menara, dan budaya kuliner yang masih bertahan sampai sekarang sepeti nasi kebuli, nasi briyani, dan nasi mandhi.
Keragaman penduduknya tampak dari nama-nama kampung yang mengekspresikan asalnya seperti Banjar dan Cerbonan. Etnis Tionghoa pun tampak menghuni kawasan ini, terlihat dari bangunan-bangunan yang beratap pelana khas arsitektur Cina, ditambah lagi dengan keberadaan kelenteng Kam Hok Bio di ujung Jalan Layur yang menegaskan eksistensi mereka.
Namun kekayaan budaya tersebut saat ini menghadapi tantangan. Tak hanya seolah terabaikannya dari perencanaan pembangunan wilayah kota, situasi ekologis juga ikut memperparah situasi Kampung Melayu. Kondisi tanah muda yang masih labil mengalami penurunan sedikit demi sedikit. Banyak bangunan yang pelan-pelan “tenggelam” ke dalam tanah, termasuk masjid Layur yang menjadi ikon kawasan ini. Dari perbandingan foto lama tampak bahwa bangunan yang awalnya berlantai dua, saat ini tinggal satu lantai, karena lantai bawahnya telah berada di dalam tanah. Kampung Melayu menjadi representasi dari kondisi Semarang sebagai salah satu kota di Indonesia yang mengalami ancaman tenggelam paling parah.
Pekojan dan Pecinan
Pekojan dan Pecinan adalah kawasan yang dikunjungi terakhir. Keduanya sengaja disatukan dalam satu kelas karena sekalipun jalan Pekojan membentang cukup panjang dari perempatan Jurnatan hingga jembatan Kali Semarang, kawasan Pekojan yang asli sudah menyusut hanya tinggal terkonsentrasi di sekitar masjid Jami Pekojan di jalan Petolongan.
Tak banyak yang bisa diulik dari kampung Pekojan selain masjid Jami Pekojan yang merupakan salah satu masjid tertua di Semarang serta tradisi menyantap bubur khas saat bulan puasa. Di samping itu, dikemukakan juga bahwa kawasan Pekojan ini sebelumnya merupakan area pemakaman etnis Tionghoa, yang lalu dipindah di antaranya ke Bong Bunder di Mugas. Pemindahan ini ditandai dengan sebuah prasasti yang tertempel di ujung jalan Petolongan, yang masih bisa dilihat sampai sekarang.
Pecinan Semarang terbentuk sebagai konsekuensi pasca Perang Semarang, yang merupakan rangkaian Geger Pacinan. Segera setelah aliansi Jawa-Tionghoa bisa dikalahkan di kota ini, etnis Tionghoa yang awalnya tinggal di berbagai tempat, dipaksa untuk tinggal di satu kawasan yang tak jauh dari benteng VOC (Kota Lama sekarang) agar mudah diawasi. Pada perkembangannya kawasan yang dikenal sebagai Pecinan ini tumbuh menjadi kawasan yang padat, dengan bangunan rumah saling berdempetan satu sama lain. Padatnya penduduk di Pecinan juga tampak dari setidaknya delapan klenteng yang berusia ratusan tahun di berbagai sudutnya, teramasuk Tay Kak Sie, yang adalah klenteng dengan jumlah dewa terbanyak di Semarang.
Satu wujud keberagaman di Pecinan yang masih hidup sampai sekarang adalah Pasar Gang Baru. Pasar yang mengambil tempat di jalan sebuah permukiman ini begitu kental relasi antar etnis maupun agamanya. Para pedagang muslim yang berjilbab tampak santai saja bersebelahan dengan penjual daging babi yang beretnis Tionghoa. Para pemilik rumah, baik yang membuka toko maupun rumah tinggal biasa dengan rela membiarkan ruang depannya digunakan untuk berjualan ataupun menaruh barang dagangan. Keberadaan dua klenteng di sekitar Pasar Gang Baru, yaitu Siu Hok Bio (klenteng tertua di Pecinan) dan Hoo Hok Bio, menambah kekentalan toleransi di kawasan ini.
Pada era Soeharto berkuasa, di mana etnis Tionghoa ditekan penghidupannya, kawasan Pecinan juga mengalami kekerasan budaya (cultural violence) yaitu pengeprasan fasad pada bangunan-bangunan yang terletak di jalan-jalan utama (Gang Pinggir dan Gang Warung) demi melebarkan jalan. Hal ini membuat wajah bangunan yang awalnya berarsitektur Cina dengan balkon yang membentuk arcade (jalan yang teratapi), menjadi tak punya karakter. Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah yang harus dipikirkan pemerintah kota beserta masyarakat, khususnya mereka yang bergiat di Pecinan.
*****
“Kunjungan ke Kampung Melayu memberi saya banyak pelajaran. Tak hanya pengetahuan mengenai sejarah kejayaan Kampung Melayu, tapi juga bagaimana bangsa ini telah terbiasa dengan keharmonisan antar etnik sejak dulu, dan kesadaran mengenai kedaan bumi kita saat ini.” (Siva, 17 tahun)
“Saya jadi (makin) melek sejarah, peduli dan peka akan lingkungan, tidak hanya sekedar lewat saja, jadi benar-benar paham akan daerah yang kita tinggali. Dan menyenangkan sekali tinggal di daerah Semarang yang ternyata mempunyai cerita yang begitu menarik.” (Widi, 24 tahun)
“Terimakasih mas Yogi, saya orang Semarang 21 tahun tapi ga pernah tau apa2 tentang Semarang, akhirnya tercerahkan.” (Octa, 21 tahun)
Itulah tanggapan dari sebagian anak muda POM-JAGI atas serial kelas daring “Mengenal Semarang”. Walau mungkin saat ini belum ada yang bisa mereka lakukan untuk kota di mana mereka tinggal, namun setidaknya mereka mulai paham bahwa Semarang ini mempunyai sejarah yang unik; bahwa yang namanya “kawasan kota tua” bukan hanya Kota Lama yang dikenal sekarang; bahwa ada banyak permasalahan yang dihadapi Semarang baik di masa lalu maupun yang dihadapi saat ini (seperti kegelisahan Octa Liongni tentang Kampung Melayu yang terungkap melalui puisi di bawah). Niat Pemkot untuk menjadikan Kawasan Kota Tua sebagai tujuan wisata sah-sah saja. Namun yang harus diperhatikan adalah bahwa perbaikan fisik bangunan serta infrastruktur haruslah dilakukan tidak sekadar untuk menjadikannya tujuan wisata, namun demi karakter budaya kawasan.
Selamatkan Kampung Melayu
Oleh: Octa Liongni
Konon katanya,
Kampung ini kampung pedagang
Perahu berlalu lalang
Orang sibuk berjaga
Menyambut pedagang
Gemercik air begitu tenang
Menyusuri Kota Semarang
Tapi sayang…
Perlahan semua menghilang
Semua tak dipikir matang
Memang tak terbayang,
Semua ini bisa hilang
Waktu berjalan
Bangunan tak bertuan
Dipenuhi dengan coretan
Bahkan luasnya lahan,
Bukan lagi keindahan
Sampah? Jelas bertebaran
Di tengah kepadatan
Aku pun terdiam
Apakah tak ada yang heran?
Kampung ini hampir tenggelam?
Kini
Arus berhenti
Waktu terus berganti
Kulihat ke sana kemari
Rumah berjajar tanpa privasi
Terik matahari menyinari
Sembari menyisir rel kereta api
Kutengok ke kiri
Ironis sekali, ucapku dalam hati
Rumah menjulang tinggi
Kini tak terlihat lagi
Apakah tak ada yang menyadari?
Krisis iklim semakin menjadi-jadi?
Pertanyaanku saat ini,
Maukah kamu, kamu, kamu berdedikasi?
Menyelamatkan Kampung Melayu ini?