Siek Hwie Soe: Dari Xiamen ke Parakan
Siek Hwie Soe. Nama ini tak bisa dipisahkan dari Parakan, kota kecamatan yang berada di antara dua gunung Sumbing dan Sindoro. Ia merantau dari desa Lin Aou, Xiamen (Amoy) ke Jawa, dan datang ke Parakan diperkirakan pada awal tahun 1820an. Di Parakan saat itu sudah ada seorang pedagang bernama Loe Tjiat Djie. Siek Hwie Soe bekerja padanya dan terbukti bahwa ia adalah seorang pemuda yang rajin, jujur dan dapat diandalkan. Oleh karena itu, Siek Hwie Soe tak hanya mendapat kepercayaan sang majikan dalam hal pekerjaan, namun juga untuk menikahi putrinya, Loe Tien Nio.
Di kemudian hari Siek Hwie Soe mengembangkan bisnisnya sendiri yang berkembang pesat. Ia berdagang hasil bumi, termasuk gambir. Menurut risalah Riwayat Keluarga Siek yang ditulis oleh Siek Tiang Kiet (cicit Siek Hwie Soe), ketika membawa dagangan “(memakai) tidak kurang dari 20 ekor kuda yang dikerahkan, sehingga setiap kali datang kiriman gambir, jalanan tersebut menjadi padat dan lalu lintas terganggu, karena jalan tersebut memang agak sempit.” Saking suksesnya berdagang gambir, maka jalan di mana rumah keluarga Siek ini berada disebut jalan Gambiran. Siek Hwie Soe memang menggunakan rumah dan lahan yang ia warisi dari Loe Tjiat Djie, sebagai basecamp bisnisnya. Rumah itu kelak mendapat julukan “Lawang Méncéng”, karena posisi pintu gerbang dan bangunannya tidak sejajar dengan Jalan Gambiran.
Siek Hwie Soe meninggal pada tahun 1864. Malang, istrinya pun meninggal pada tahun yang sama. Demikian juga putra sulungnya, Siek Ing Tjiang. Tidak diketahui apa penyebab kematian ayah, ibu dan anak ini. Siek Hwie Soe dan Loe Tien Nio kemudian dikebumikan di Gunung Manden, Parakan. Makamnya sangat megah dan besar. Lingkaran dindingnya berlapis tiga (bahkan ada yang mengatakan berlapis lima). Dari kejauhan makam ini tampak menonjol dibandingkan makam-makam yang lain, sehingga mendapat julukan Bong Gede. Sementara Loe Tjiat Djie dan istri sudah mendahului beristirahat dalam keabadian. Mereka juga dimakamkan di Manden, hanya berjarak dua ratusan meter dari Bong Gede.
Satu Kapal Dua Nakhoda
Sementara itu bisnis Siek Hwie Soe, walau ditinggalkan sang kepala keluarga beserta istri dan anak sulungnya, ternyata tetap jalan terus. Bertahun sebelumnya, ketika anak-anaknya masih kecil, Siek Hwie Soe merekrut seorang keponakan yang bernama Siek Tiauw Kie untuk membantunya bekerja. Sama seperti pamannya, sang keponakan yang juga pekerja keras ini kemudian dinikahkan dengan anak tirinya Djoa Tjoe Nio (anak Loe Tien Nio dari pernikahan sebelumnya). Sementara anak kedua, Siek Tjing Liong, naik menggantikan kakaknya sebagai pewaris bisnis Siek Hwie Soe, bersama-sama sepupunya yaitu Siek Tiauw Kie.
Sayangnya, satu kapal rupanya tak bisa ada dua nakhoda. Terjadi perselisihan. Kedua bersaudara sepupu ini akhirnya sepakat untuk berpisah jalan. Properti dan bisnis diundi. Siek Tiauw Kie mendapat bisnis di Parakan dan properti di jalan Gambiran sebelah barat. Sedangkan Siek Tjing Liong mendapat bisnis di Semarang dan properti di jalan Gambiran sebelah timur.
Siek Tiauw Kie, Sang Keponakan dan Jejak Keturunannya
Keturunan Siek Tiauw Kie di antaranya adalah Siek Oen Swie, penghuni terakhir rumah besar, yang kini dimiliki oleh Lembaga Ekayana Buddhist Center, dan diberi nama Prasadha Mandala Dharma. Namun di kalangan awam, rumah ini dikenal sebagai Rumah Bhante. Saudara Siek Oen Swie, yaitu Siek Kim Tan, juga memiliki rumah di jalan Gambiran, yang kini dimiliki oleh arsitek Chris Dharmawan dan difungsikan sebagai Museum Peranakan Parakan.
Siek Tjing Liong, Anak Kedua, Pewaris “Lawang Méncéng“
Sementara Siek Tjing Liong membangun rumah di timur rumah-rumah ayah dan kakeknya, yang lalu disatukan menjadi satu kompleks. Rumah Siek Tjing Liong, di jalan Gambiran no. 9 ini, kemudian diwariskan kepada anak sulungnya, Siek Soen Dhian, yang mengurus properti di Parakan. Sedang kedua adik lelakinya, Siek Djwee Kioe dan Siek Tjoen Kioe, tinggal di Semarang untuk mengurus bisnis di kota ini.
Rumah Siek Hwie Soe (Lawang Méncéng) dan rumah Loe Tjiat Djie, walau berada di lahan yang sama, namun mendapat nomor jalan berbeda, yaitu Gambiran 7A. Siek Soen Dhian mempunyai empat orang anak. Anak lelaki sulungnya bernama Siek Tiang Lay, yang adalah kakek saya. Saya lahir dan tinggal di Parakan sampai usia menjelang remaja dan sering bermain di lahan Lawang Méncéng yang luas dan akrab dengan seluk-beluk ruang-ruang yang ada. Sehingga kompleks rumah ini meninggalkan kenangan mendalam.
Makam Sang Dermawan yang Terlupakan
Jika membaca kisah hidupnya, Siek Hwie Soe dikenal sebagai seorang yang sangat dermawan. Ia suka menolong sesamanya, baik yang masih berhubungan saudara maupun orang sekampungnya. Ia juga telaten merawat makam-makam terlantar yang tak ada ahli warisnya. Ia mengundang guru untuk memberi pelajaran bagi anak-anak. Siek Hwie Soe juga mendonasikan tanahnya yang terletak di ujung jalan (sekarang) Bambu Runcing sebagai lokasi dibangunnya Klenteng Hok Tek Tong.
Setahun lalu, saya berkesempatan mengunjungi makam Siek Hwie Soe – Bong Gede, dan cukup prihatin melihat kondisinya kini. Secara umum makam tersebut memang masih menyisakan kemegahannya, namun dinding dan lantainya pecah-pecah dan banyak ditumbuhi tanaman liar. Juga dinding melingkar yang sampai tiga (bahkan konon lima) lapis tertutupi semak-semak.
Melacak Keberadaan Makam Loe Tiat Djie
Ketika cerita kunjungan ke makam leluhur ini diunggah ke Facebook, saya mendapat masukan dari Pak SuMur (Sutrisno Murtiyoso) seorang arsitek pemerhati sejarah dan budaya Tionghoa, yang juga asal Parakan. Pak SuMur mengingatkan bahwa hendaknya makam Loe Tjiat Djie juga diperhatikan, karena bagaimana pun, Siek Hwie Soe bisa jadi ‘orang’ sedikit-banyak juga berkat jasa mertuanya itu. Maka, dua pekan kemudian, dengan ditemani seorang kawan peneliti makam-makam tua, Mas Pippo Agosto, saya meluncur kembali ke Parakan. Dan bersama-sama seorang sepupu, SL Gie, kami ke Manden untuk melacak makam Loe Tjiat Djie.
Ternyata tidak mudah dan melelahkan mencari makam yang sudah berumur ratusan tahun dan besar kemungkinan tidak terawat alias tertutupi tanaman liar. Ketika sudah hampir putus asa mencari ke sana ke sini, akhirnya Mas Pippo dibantu Pak Safak, seorang warga lokal yang biasa bersih-bersih makam, bisa menemukan makam yang sudah nyaris terkubur oleh semak belukar itu. Kelelahan pun terbayar lunas.
Lawang Méncéng Berpindah Tangan
Penelusuran makam leluhur keluarga Siek ini juga nyaris berbarengan dengan kondisi yang terjadi pada kompleks rumah warisan di jalan Gambiran 7A dan 9 (foto 6-7). Sekitar dua-tiga tahun lalu kompleks rumah ini, yang berisi rumah Siek Tjing Liong, rumah Siek Hwie Soe dan rumah Loe Tjiat Djie beserta beberapa gudang, dijual oleh keluarga besar. Sehingga dengan demikian praktis keturunan Siek Hwie Soe melalui putranya, Siek Tjing Liong, tidak lagi memiliki properti di Parakan.
Namun saya masih bersyukur karena pemilik baru berniat untuk mempertahankan, bahkan merevitalisasi rumah Siek Tjing Liong (jalan Gambiran 9), yang dulu pernah menjadi kediaman Kakek saya.
Bagian-bagian rumah yang sudah lapuk dibongkar dan diperbaiki dengan tetap memperhatikan desain serta konstruksi aslinya. Alhasil, rumah yang terakhir saya masuki sekitar awal tahun 2018 dengan kondisi singup, lembab dan kotor, sekarang tampak cerah dan rapi.
Bagian-bagian rumah yang sudah lapuk dibongkar dan diperbaiki dengan tetap memperhatikan desain serta konstruksi aslinya. Alhasil, rumah yang terakhir saya masuki sekitar awal tahun 2018 dengan kondisi singup, lembab dan kotor, sekarang tampak cerah dan rapi.
Hanya saja yang sangat mengejutkan, dan sangat disayangkan, adalah rumah Siek Hwie Soe dan rumah Loe Tjiat Djie (Jalan Gambiran 7A), yang berusia lebih tua, ternyata dirobohkan. Tidak tahu apa pertimbangan dan tujuannya, karena pertengahan tahun ini, ketika saya berkesempatan masuk ke kompleks rumah tersebut, hanya terlihat tanah kosong di bekas rumah-rumah tersebut berdiri.
Pada tangkapan layar Google Earth tahun 2018, bisa dilihat perbandingan ketika masih ada rumah Siek Hwie Soe (foto kiri, no.2) dan rumah Loe Tjiat Djie (foto kiri, no.3); dibandingkan dengan tangkapan layar Google Earth tahun 2023 setelah kedua rumah tersebut dirobohkan, menyisakan rumah Siek Tjing Liong (foto kiri, no.1). Beruntung Pak Chris Dharmawan pernah mendokumentasikan dan memuat foto-foto interior rumah Siek Hwie Soe dalam buku Parakan Living Heritage. Sayangnya rumah Loe Tjiat Djie yang terletak di belakang rumah Siek Hwie Soe tidak ada dokumentasi interiornya sama sekali. Dan rumah itu sekarang sudah rata dengan tanah.
Sekarang satu-satunya “rumah” peninggalan Siek Hwie Soe dan Loe Tjiat Djie adalah rumah keabadiannya, yang itu pun kondisinya juga sudah kurang terawat. Agak ironis, sebagai seorang yang semasa hidupnya suka merawat makam telantar, kini makamnya sendiri justru tampak tak terawat. Perbaikan dan perawatan perlu segera dilakukan, dan menjadi tugas keturunannya, agar sejarah dan cerita leluhur tidak lantas hilang ditelan zaman.