Share the knowledge!

Mengikuti prosesi ritual umat Hindu, tidak akan lepas dari musik gamelan yang mengiringinya. Seperti halnya dalam rangkaian perayaan Nyepi, mulai dari Melasti sampai Tawur Agung, ritual ini tidak luput dari iring-iringan musik gamelan Baleganjur.

Gamelan Baleganjur awalnya berperan sebagai pengiring upacara ngaben atau pawai adat dan agama. Dalam perkembangannya,kini Baleganjur digunakan dalam acara-acara lain seperti pawai kesenian maupun pawai olahraga. Ciri khas Baleganjur adalah gong, kempul dan kendangnya.

Sekilas Baleganjur

Sekelompok pemuda penabuh Baleganjur terlihat bercengkrama di area Pura Agung Giri Nata seusai mengiringi prosesi upacara Tawur Agung pada Senin (27/3) malam. Salah satu penabuhnya, Bayu Mandala terlihat bercucuran keringat meskipun menabuh gamelan di malam hari.

“Soalnya Baleganjur memang musik untuk membawa semangat,” ujar Bayu saat ditemui Kabar EIN usai pentas. Selama ini Baleganjur punya dua pengistilahan, pertama sebagai Baleganjur karena ditujukan untuk memompa semangat, kedua disebut Kalaganjur karena diperuntukkan untuk mengusir Butha Kala.

“Kami sudah terlatih, apalagi pemuda yang asli dari Bali,” ungkap alumni Unika Soegijapranata Jurusan Perpajakan tersebut sambil menunjuk beberapa rekannya yang berasal dari Bali. Menurut Bayu pemuda Bali sudah mahir bermain gamelan Baleganjur karena memang kesenian ini diajarkan secara disiplin sejak mereka berada di bangku SMP di Bali,  “Mereka ini kan kuliah di Semarang, aslinya Bali. Sejak SMP mereka sudah diajari, jadi ya seperti ini, ahli.”

Menemukan anak muda yang masih lincah menabuh gamelan di era modern ini memang tidak mudah; pemandangan yang menyejukkan mata. Sekaligus menjadi jawaban atas pertanyaan “Siapa yang akan meneruskan budaya warisan leluhur?”

Pura Agung Giri Nata memang menjadi titik pertemuan para pemuda Hindu untuk melakukan kegiatan bersama. Termasuk pelatihan Baleganjur ini, mereka menjadwalkannya pada setiap Jumat dan Sabtu, sementara Minggu dipilih menjadi hari untuk berlatih Tari Bali. Jika setiap perayaan besar Agama Hindu, mereka semua akan berkumpul di pura sehari sebelumnya untuk berbagai kepentingan, mulai sekedar berbagi pengetahuan tentang praktik beribadah, nilai ritual sampai menyiapkan sesaji untuk ibadah lusa harinya.

Serba-serbi Catur Brata

Menurut Bayu, hampir semua pemuda Hindu yang bermukim di Semarang melakukan Catur Brata Penyepian di Pura Agung Giri Nata. “Biasanya mereka datang kesini, katanya biar lebih khidmat ibadahnya. Sedangkan anak SMP sampai SMA melakukan Catur Brata di rumah,” jelas Bayu.

“Tidak jarang anak usia SMP atau SMA tidak kuat melakukan Catur Brata yang berisi, amati geni (tidak menyalakan api atau listrik), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak pergi kemana-mana) serta amati lelaguan (tidak mendengarkan musik). Kalau  nanti mereka ikut meditasi di sini, lalu ingin pulang kan repot. Padahal orang dewasa tidak boleh bepergian, nanti malah bikin tidak fokus saja,” papar Bayu mengenai alasan anak-anak melakukan Catur Brata di rumah.

Harus puasa menahan lapar dengan tidak makan mulai dari matahari belum terbit sampai keesokan harinya saat matahari juga belum terbit, khusus anak-anak diajarkan untuk berpuasa secara bertahap. “Seperti dalam Islam, diperbolehkan makan sebenarnya saat maghrib, tapi ada pengecualian, boleh makan lebih dulu pada jam 1 siang. Kami umat Hindu juga demikian,” imbuh Bayu. “Semua ada pengecualiannya, seperti amati karya misalnya, kalau seseorang berprofesi sebagai dokter ya tetap diizinkan bekerja,”.

Facebook Comments

Share the knowledge!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *