Semarang, Kabar EIN– Belakangan ini politik identitas semakin marak digunakan untuk kepentingan politik elektoral. Berbagai elemen bangsa merespon dengan membuka ruang-ruang diskusi baru tentang kebangsaan. Demikian halnya di Semarang, berbagai kalangan cukup gencar mengampanyekan ajakan menghormati keberagaman.
Yang terbaru adalah Seminar Nasional dan Peluncuran Buku berjudul “Tionghoa dalam Keindonesiaan: Peran dan Kontribusi bagi Pembangunan Bangsa”.yang digelar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (UNDIP) dan Yayasan Nabil, Rabu (5/4) di Gedung ICT UNDIP Lantai 5.
Yayasan Nabil
Yayasan Nabil sebagai penyelenggara merupakan lembaga yang terus berusaha memperkenalkan, menyebarluaskan dan mengembangkan doktrin “Penyerbukan Silang Antarbudaya” (Cross Cultural Fertilization). Yayasan yang secara resmi didirikan pada 2006 silam ini dipimpin Eddie Lembong, mantan Ketua Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), beserta istrinya, Melly Saliman. Menganugerahkan Nabil Award kepada tokoh yang dianggap ikut membantu membangun bangsa, merupakan salah satu upaya Yayasan Nabil berkontribusi dalam pembangunan karakter bangsa.
Memilih di Persimpangan Jalan
Didaulat sebagai pembicara kunci, sejarawan Bonnie Triyana menyampaikan paparan di hadapan para tamu undangan, termasuk para dosen semasa ia masih menjadi mahasiswa Jurusan Sejarah di Fakultas Ilmu Budaya UNDIP.
Sudah menjadi ciri khas Bonnie melontarkan pertanyaan di awal paparan, “Hari-hari belakangan ini, kita seperti sedang berada pada sebuah persimpangan jalan, yang memberi kita dua pilihan. Apakah kita akan terus melaju ke depan sebagai sebuah bangsa modern yang tidak lagi mempertentangkan asal usul latar belakang ras dan agama, ataukah kita akan kembali pada jalan yang membawa kita jauh ke belakang sebelum Sumpah Pemuda diikrarkan di bulan Oktober 1928, berjuang demi kepentingan golongannya sendiri-sendiri?” Beberapa peserta nampak manggut-manggut merenungkan pertanyaan Bonnie.
“Mengapa hanya Tionghoa saja yang dipertanyakan kontribusinya? Padahal Jawa, Sunda, Sumatra sudah selesai, tidak lagi ditanyai apa perannya untuk Indonesia,” lanjut Bonnie lugas.
Kondisi yang semacam itu dimungkinkan karena adanya stereotip yang dipertahankan di tengah masyarakat. “Stereotip Tionghoa ini tentu buntut dari sistem politik kita yang mengkotak-kotakkan masyarakat berdasarkan agama, suku, dan etnis,” simpulnya.
Bonnie juga menyampaikan keprihatinan Eddie Lembong mengenai penghapusan nama-nama orang Tionghoa yang terlibat dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). “Hal ini tentu akan mempertebal stereotip bahwa masyarakat Tionghoa hanya memikirkan bisnis saja, tidak pernah terlibat dalam perpolitikan nasional,” Bonnie menyayangkan.
Bonnie menggarisbawahi sikap penegak hukum yang tidak tegas menyikapi maraknya kasus penyebaran kebencian berdasarkan ras, “Siapa saja yang melanggar UU. No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis harusnya langsung ditindak, buktinya kan tidak,” ungkap Bonnie.
Bonnie menyerukan agar sebagai bangsa Indonesia kita harus terus waspada terhadap penyalahgunaan politik identitas, “Jika Indonesia adalah sebuah konsep politik, maka stabilitas politik hanya bisa terjadi jika ada perlakuan yang sama antar etnis,” pungkas Bonnie yang disambut tepuk tangan para peserta seminar.
Sejarah sebagai Ingatan Bersama
Usai Bonnie menyelesaikan paparannya, Guru Besar Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UNDIP, Singgih Tri Sulistiyono mempertebal informasi kesejarahan pada seminar. Singgih mengingatkan peserta bahwa merawat bangunan sejarah secara fisik itu mudah, tetapi menjaga semangatnya itu sulit.
Mengomentari tema seminar, Singgih berpendapat bahwa semua kelompok di Indonesia sebenarnya sudah berkorban, “….yang Islam, Kristen, Jawa, Sunda, Tionghoa, semua sudah berkorban. Semua sudah berkomitmen meleburkan diri dalam politik kebangsaan sebagai Indonesia,” ungkap Singgih gamblang.
Menurut Singgih, relasi Jawa dan Tionghoa selalu harmonis sebelum kedatangan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). “Orang Tionghoa harus diakui terlibat dalam penyebaran Islam di Jawa. Di sepanjang pesisir Pantai Utara mereka hidup harmonis dengan yang lain,” imbuhnya.
Keharmonisan Tionghoa dengan Jawalah yang justru memicu VOC untuk memecah relasi yang berpotensi mengancam dominasinya di Indonesia, “VOC akhirnya membuat dikotomi masyarakat berdasarkan agama, suku, ras dan berbagai simbol-simbol,” demikian Singgih menjelaskan asal muasal ketegangan Jawa dengan Tionghoa.
Sejarah panjang bahwa semua kelompok pernah berdarah-darah memperjuangkan kemerdekaan, seharusnya menjadi ingatan bersama yang bisa semakin memperkuat integritas bangsa. Singgih menghimbau agar bangsa Indonesia mampu memahami nilai kontekstual sejarah. Selain Bonnie Triyana dan Singgih Tri Sulistiyono, panitia seminar juga menghadirkan Guru Besar Filsafat, Iriyanto Widisuseno serta tokoh Tionghoa Semarang, Harjanto Halim.
Beberapa tamu undangan kehormatan mendapat bingkisan buku terbitan Yayasan Nabil “Tionghoa dalam Keindonesiaan: Peran dan Kontribusi bagi Pembangunan Bangsa” , mereka adalah sejarawan Semarang Jongkie Tio, Ketua Yayasan Widya Mitra Widjajanti Dharmowijono serta pegiat sejarah Semarang, Rukardi.