Share the knowledge!

31 anak muda terlihat duduk melingkar saling bertukar cerita di Aula Lantai I Vihara Buddhagaya, Semarang. Mereka tanpa risih menyampaikan semua kegundahan yang selama ini terpendam; berbagi kisah tentang alasan memilih agama yang sekarang mereka anut. Mereka saling menceritakan pengalaman tidak menyenangkan yang dialami saat berinteraksi dengan umat agama lain, serta menceritakan bagian lain yang menyenangkan.

Mereka adalah peserta program live in yang diselenggarakan komunitas Pondok Damai (PD) mulai dari Jumat sampai Minggu (21-23/4). Yohanes Gimanto (26) dan Muwahib (26) terlihat sesekali saling melempar canda dalam forum saat sesi pertama dimulai.

Mereka mencoba membangun suasana akrab antar peserta,  menghangatkan forum. Dua pemuda ini setia mendampingi Rambu Vania (22) mengelola forum. Vania adalah koordinator program live in Pondok Damai kali ini. Tidak seperti Gimanto dan Muwahib yang sudah kaya pengalaman mengelola forum, Vania memang baru memulai.

Gimanto dan Muwahib adalah alumni Pondok Damai V yang diselenggarakan di kantor Qaariyah Tayibah, Salatiga 2011 silam. Memang mereka sudah beberapa kali mengikuti program live in. Sementara Vania masih terbilang baru, dia mengikuti forum Pondok Damai sejak Februari 2016 lalu, tepatnya saat Pondok Damai IX yang diselenggarakan di Sekolah Tinggi Agama Budha Syailendra, Kopeng, Salatiga.

Meskipun minim pengalaman, berdasarkan rapat pertengahan Februari di Gereja Kristen Indonesia Gereformed, Vania terpilih sebagai kordinator acara Pondok Damai X. Ini ada kaitannya dengan tradisi di forum Pondok Damai. Tradisi itu adalah menjadikan alumni angkatan termuda Pondok Damai sebagai relawan penyelenggara live in selanjutnya. Jika angkatan tersebut tidak bersedia, maka live in Pondok Damai berikut tidak akan diselenggarakan.

Menarasikan Pengalaman

Sesi pertama forum Pondok Damai adalah tentang menceritakan alasan memilih agama yang sekarang diimani. Sesi ini dipenuhi cerita mulai dari kisah yang datar sampai penuh liku-liku spiritual. Kebanyakan mereka mengaku memeluk agama yang mereka imani sekarang karena faktor keturunan.

Rezza (25), salah satu mahasiswa Sekolah Tinggi Theologi Abdiel mengaku mengalami banyak pergolakan spiritual. “Waktu SMP sampai SMA hampir setiap hari saya ke gereja, pernah tu gara-gara diajak ibu pergi aku jadi gak bisa ikut ibadah gereja karena telat, langsung nangis aku,” kenang mahasiswa tingkat akhir yang sedang menyelesaikan skripsi tersebut.

“Tetapi semenjak semester empat, saya sempat meragukan keimanan saya sendiri seiring membaca problematika sejarah kemunculan Kekristenan, belajar logika dan filsafat, sudah beberapa tahun belakangan ini malah hampir tidak pernah ke gereja,” ungkap Rezza menceritakan titik baliknya.

“Ya kalau sekarang saya sadar, siapa sih kita? Kita kan hanya butiran debu, saya sekarang lebih tertarik ke Buddha yang hanya sedikit membahas tentang Tuhan,” ungkap Rezza yang kemudian disambut Fely yang Buddhis dengan sambaran, “Sini mas, ngisi formulir dulu.” Fely terkekeh sambil berinisiatif menyodorkan selembar kertas. Meski mengalami pergolakan, sekarang Rezza mengaku tetap beriman sepenuhnya kepada Kristus.

Sementara di sesi lanjutan,  alumni Psikologi Universitas Negeri Semarang, menceritakan beberapa pengalaman tidak menyenangkan yang dialaminya ketika berinteraksi dengan umat agama lain. “Bisa dibilang dengan umat agama lain atau tidak ya? Saat kami sebagai umat Syiah memperingati 10 Asyura (Tragedi Karbala), meski sama-sama Islam tapi kami dilarang melakukan ibadah yang sesuai keyakinan kami,” kenang Hutomo yang bercerita tentang kasus pembubaran perayaan Asyura oleh Forum Umat Islam Semarang Oktober 2016 silam. Menurut pemuda Syiah yang mempunyai guru spiritual seorang pendeta ini, masih kerap terjadi pelanggaran kebebasan beragama yang menimpa kelompok minoritas.

Menyebar Virus Perdamaian

Peserta saling bercerita dan belajar menjadi pendengar yang baik. Tedi Kholiluddin, alumni Pondok Damai II, punya pendapat tersendiri tentang hal yang membuat Pondok Damai menjadi istimewa, “Yang utama dari kegiatan ini adalah cerita tentang pengalaman keagamaan, bukannya teori-teori.”

Cerita yang berasal dari kehidupan sehari-hari menurut Tedi bisa membuat hubungan antar peserta Pondok Damai semakin erat dan terasa menjadi keluarga sendiri. Bahkan selama kegiatan, saat sesi bercerita ditutup,  para peserta masih melanjutkan obrolan sesuai ketertarikannya masing-masing. Ada peserta Islam ingin mengorek lebih banyak tentang Kristen, ada pula yang Kristen penasaran dengan Buddha.

Peserta live in nampak benar-benar menikmati semua sesi yang diselenggarakan forum Pondok Damai. Mulai dari pengalaman baru berinteraksi dengan umat agama lain, menghapus berbagai prasangka, mengetahui agama lain secara lebih mendalam untuk menguatkan keimanan, sampai pengalaman pertama bisa mengunjungi tempat ibadah agama lain.

Sebelum benar-benar pulang, peserta Pondok Damai X berjanji untuk melanjutkan Pondok Damai XI dan terus menjadi “virus perdamaian” di manapun mereka berada. Hal itu sesuai filosofi nama Pondok Damai, “Dinamakan pondok, bukannya rumah. Harapannya, ini hanya tempat sementara. Mereka yang sudah masuk pondok bisa menyebarkan ide perdamaian secara meluas lagi, tidak hanya disini” tandas Tedi.

Sekilas Pondok Damai

Pondok Damai merupakan komunitas yang tidak mempunyai struktur organisasi formal; tidak mempunyai ketua, sekretaris ataupun bendahara. Semua alumni Pondok Damai punya  kedudukan yang sama. Sampai sekarang Pondok Damai sudah 10 kali menyelenggarakan live in pemuda lintas iman, walau waktu penyelenggaraan tidak tetap.

Live in selalu diselenggarakan di tempat yang tidak memungut biaya sewa. Mengandalkan kekuatan jaringan yang dimilikinya, Pondok Damai selalu mampu menyelenggarakan kegiatannya secara berpindah-pindah tempat tanpa harus membayar. Masih seperti saat pertama kali digagas oleh Rony Kristiawan, rohaniawan di Gereja Isa Almasih Pringgading pada 2007, Pondok Damai diselenggarakan dengan tujuan untuk mengikis prasangka antar umat beragama. Pada tahun berikutnya seorang tokoh Islam, Tedi Kholiluddin, bergabung dengan Pondok Damai.

Para perintis Pondok Damai tetap konsisten menyemai benih-benih perdamaian di Kota Semarang. Seiring waktu apa yang telah mereka rintis sekarang telah membuahkan hasil. Setiap agenda lintas agama di Kota Semarang hampir selalu diikuti alumni Pondok Damai lintas angkatan. Gerakan kultural seperti ini nampaknya memiliki ikatan yang lebih kuat dibanding dengan organisasi formal. Dengan keberadaan Pondok Damai diharapkan para pemuda Semarang bisa membuktikan bahwa kerukunan beragama itu perlu dipromosikan dan dihidupkan oleh masyarakat itu sendiri.

Editor: Yvonne Sibuea

Facebook Comments

Share the knowledge!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *