“Mas Ardi, EIN Institute ada free seat untuk kegiatan Lasem Pluralism Trail tanggal 18 Agustus nanti, berminat bergabung kah? ” pesan singkat dari Ellen masuk ke inbox telepon genggam saya. Saya segera mengiyakan, karena memang tak ada rencana bepergian.
Pukul lima pagi lebih sedikit, iring-iringan mobil membawa peserta dari kantor EIN Institute di Jl. Jeruk VII/24 bertolak ke Lasem, Kab. Rembang. Kira-kira empat jam perjalanan, kami tiba di Rembang, kurang-lebih pukul 09.00 WIB. Kami singgah dulu untuk sarapan pagi.
Matahari belum beranjak tinggi, namun udara Rembang sudah terasa menyengat. Khas wilayah pantai utara. Untuk lebih mengenal citarasa kuliner khas Lasem-Rembang, kami menjajal suguhan Sate Srepeh “Bu Slamet” di jalan Erlangga, Rembang. Memang enak. Terutama bagi lidah saya yang jarang mencicipi hidangan kaya rempah. Kira-kira selama 45 menit lidah kami dimanjakan di warung “Bu Slamet”. Kemudian, setelah perut terisi kami meneruskan perjalanan menuju pasar pecinan Lasem. Jarak tempuh Rembang-Lasem biasanya akan memakan waktu 30 menit.
Pukul 10.15 WIB kami mulai menyisir pasar. Benar saja. Kesannya, seakan-akan kami berada di negeri Cina. Dari tempat kami berdiri, di kanan-kiri jalan, kami disuguhi pemandangan tembok-tembok tinggi menjulang. Bangunan kuno ala Tionghoa. Sontak, ingatan saya melayang pada buku Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik, yang sekilas menyinggung tentang Lasem.
Lao Sam atau Lasem adalah satu dari dua pangkalan tempat persinggahan armada Ceng Ho yang tak bisa kembali ke Tiongkok. Sam Po Toa-lang atau Semarang yang mereka pilih sebagai pangkalan pokok. Mereka mendapat perlindungan dari penguasa Tuban, Adipati Wilwatikta untuk mendirikan pangkalan di Lao Sam dan Sam Po Toa-lang. Dari dua pangkalan itu juga mereka melakukan perdagangan dengan Malaka hingga ke Timur Tengah.
Usai memuaskan mata, pikiran, dan rasa penasaran atas keseharian pasar pecinan, kami melanjutkan langkah ke Kelenteng Gie Yong Bio. Di sana rombongan diterima ramah oleh juru kunci kelenteng, pak Gandor. Panjang lebar beliau menjelaskan, Kelenteng Gie Yong Bio didirikan pada tahun 1780 untuk menghormati tiga leluhur Lasem: Raden Ngabehi Widyadiningrat (Oey Ing Kiat), Raden Panji Margono, dan Tan Kee Wie. Dari kelenteng itu jelas tergambar, relasi apik antara suku Jawa dengan Tionghoa. Kelenteng asimilasi, kelenteng yang mengintegrasikan dua orang leluhur Tionghoa dan seorang Tumenggung Jawa. Tiga leluhur yang bersumpah setia sebagai saudara memimpin masyarakat Lasem melawan VOC pada tahun 1742-1750.
Relasi itu makin gamblang, begitu kami kemudian bertandang ke rumah Sigit Witjaksono, pengusaha Tionghoa. Sigit Witjaksono adalah pengusaha batik tulis Lasem, Sekar Kencana. Ia tinggal di sebuah rumah klasik yang dikelilingi tembok tinggi, Jl. Babagan IV/4 Lasem. Begitu memasuki pelataran rumahnya, kami mendapati dua perempuan Jawa sedang memoles kain bahan batik tulis pesisiran. Javier, cucu Sigit Witjaksono, mengiringi kami mengagumi ornamen rumah dari sayap kiri, terus melipir hingga ke pendopo belakang. Di pendopo itu, kami diterima oleh sang empunya rumah, Sigit Witjaksono. Berjalan tertatih dari bagian dalam rumah, ia menyambut dan menyalami kami satu per satu.
Dari Sigit, rombongan EIN Institute terutama saya merasa mendapatkan pencerahan tentang pluralisme. Perihal merawat toleransi. Sigit berusia 88 tahun, lancar mengulas pengalamannya dalam menegakkan pola relasi Jawa dan Tionghoa. Sigit yang beragama Khonghucu, mempersunting gadis Jawa, keturunan priyayi Tulungagung-Jawa Timur yang beragama Islam, Marpat Rochani. Tidak gampang. Ia mendapat cemoohan dari keluarga pihak istri. Masih berkembang kuat dalam benak priyayi Jawa, bahwa gadis keturunan priyayi itu haram dinikahi oleh suku Tionghoa. “Anakku ayu-ayu ngene, sekolah pinter malah digundik Cina!,”celoteh Sigit dalam cengkok Jawa, mengenang perkataan calon mertuanya yang keras menentang niat baiknya. Nyaris seluruh rombongan dari Semarang tertawa menyimak Sigit berkelakar. Tak terkecuali saya.
Menurut Sigit, sebenarnya di Lasem, hubungan suku Tionghoa dan Jawa tidak ada masalah. Pada era Soekarno, tidak ada masalah. “Soekarno itu hebat,” tegas Sigit. Sedang Soeharto justru membatasi orang Tionghoa berekspresi, sekolah-sekolah Tionghoa ditutup, kegiatan budaya Tionghoa dilarang. Sungguh beruntung, pada era Abdurrahman Wahid (Gus Dur), warga Tionghoa kembali dibebaskan berekspresi. Warga Khonghucu bebas menabuh gamelan. “Nah, kalau bapak-bapak tadi masuk ke rumah saya, dan di bagian depan melihat ada foto Gus Dur, beliau itu yang saya ‘sembah’ ,“ tuturnya sambil memperagakan posisi menjura. “Karena beliau lah kami bebas dari kekangan,” sambung Sigit. “Filsafat hidup Jawa dan Tionghoa itu sama: selarasnya kata-kata dengan perbuatan,” simpul Sigit di akhir pembicaraan. Sebelum bertolak, kami diajak menyusuri ruangan dalam rumah Sigit yang unik. Berlantai papan, berdinding tembok kuno, lengkap dengan pilar-pilar kayu kukuh, dan hiasan-hiasan dinding ala Tionghoa.
Setelah makan siang, sekitar pukul 13.00, beriringan kami menuju Pondok Pesantren Kauman, Lasem. Sebuah pesantren yang berdiri di tengah kampung pecinan Karangturi. Rombongan EIN Institute disambut Gus Zaim, panggilan akrab KH. Zaim Ahmad Ma’shoem, pengasuh pondok yang kini menaungi lebih dari 100 santri.
Gus Zaim dan beberapa sesepuh menyilakan kami duduk di beranda pondok. Dan, selanjutnya diskusi bertema pluralisme pun berlangsung. Aryanto Nugroho dari EIN Institute memandu diskusi. Ada dua narasumber diskusi, Pdt. Tjahjadi Nugroho, pendiri EIN Institute, serta Gus Zaim sebagai tuan rumah. Lagi-lagi saya menyimak. Saya mencatat kata-kata penting yang terlontar dari dua priagung lintas agama itu, sembari ya, saya terhenyak dengan kesigapan santri pondok yang menata rapi alas-alas kaki kami. Tepat. Sepatu dan sandal kami sudah tertata rapi dengan ujung menghadap ke depan. Sehingga, ketika kami hendak meninggalkan pondok, kami tidak lagi harus membalik posisi alas kaki.
Paparan dua pemuka agama tersebut berlangsung teduh. Gus Zaim menggarisbawahi bahwa kehadiran agama tak lain adalah untuk merayakan kedamaian, menyambung toleransi, saling menghargai, dan menjaga koeksistensi. Itulah pluralisme. Menjaga keutuhan sekaligus keunikan tiap individu dan keyakinannya.
“Beda pendapat itu bikin pintar. Sementara beda pendapatan justru bikin perang!,” ulas Pdt. Tjahjadi Nugroho di tengah silang diskusi yang berlangsung. Ia menuturkan pengalaman pribadinya yang banyak belajar dari keakraban relasi dengan individu-individu yang berbeda agama.
Kemudian, tepat pukul 15.30 kami beruluk salam pada Gus Zaim dan para santri. Kami meninggalkan pelataran pondok. Kami meneruskan langkah, sembari menggenggam janji, akan mengetengahkan pemahaman keagamaan yang terbuka dan toleran.
Hmmm, senja belum begitu lepas. Namun, saya tak ikut rombongan melanjutkan petualangan, menuju Kelenteng Cu An Kiong dan Lawang Ombo. Ya, sayang sekali. Sungguh sayang. Sore itu, saya harus segera tiba di Semarang.