
Semarang, EIN Institute– Bulan bulat menemani langit cerah di halaman belakang Klub Merby Jl. MT Haryono Semarang pada Minggu malam (6/8). Terlihat sekelompok orang bernyanyi bersama. Lagu yang mereka lantunkan, Indonesia Tanah Air Beta; dibawakan oleh Grup Musik Bohemian berkolaborasi dengan Romo Aloysius Budi Purnomo yang tak lepas meniup saksofon kesayangannya.
Acara bertema Merawat Kebangsaan Melindungi Keragaman tersebut digelar untuk memperingati hari kelahiran ke-77 KH. Abdurrahman Wahid atau yang dikenal dengan panggilan Gus Dur. Inisiator peringatan adalah Jaringan Gusdurian Semarang yang bekerjasama dengan berbagai komunitas di Semarang; Persaudaraan Lintas Agama (Pelita), Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA ), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Kota Semarang, EIN Institute, dan beberapa komunitas lain.
Subhan selaku Koordinator Jaringan Gusdurian Semarang dalam sambutan pembukaan menyampaikan bahwa peringatan serupa juga diselenggarakan oleh Jaringan Gusdurian di seluruh Indonesia. “Sebenarnya hari lahir Gus Dur itu pada tanggal 4 Agustus kemarin, namun kami baru bisa menyelenggarakan peringatan pada malam hari ini.” ungkap Subhan yang juga alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Diponegoro tersebut. “Semoga kita semua dapat berkomitmen meneruskan perjuangan Gus Dur pada peringatan hari lahir Gus Dur ini.” imbuhnya.
Malam peringatan dikemas dalam bentuk diskusi dan testimoni. Mushonifin sebagai pemandu diskusi, mempersilakan Romo Budi memberikan kesaksian tentang Gus Dur. Romo Budi berkisah bahwa sebagai seorang Romo atau Pastur di Gereja Katolik, ia memiliki kedekatan dengan keluarga Gus Dur. Begitu Gus Dur wafat ternyata kematiannya kian menggemakan semangat keberagaman. Romo yang juga menjabat sebagai Ketua Hubungan Antar Keyakinan Keuskupan Agung Semarang itu mengenang, “Ketika Gus Dur wafat, seketika saya menulis artikel dengan judul Relasi Gereja Katolik dan Gus Dur. Artikel itu dimuat di Harian Suara Merdeka.”
Romo Budi juga yang menginisiasi berdirinya Komunitas Gusdurian Jawa Tengah, “Waktu itu deklarasi bersama kawan-kawan di Jawa Tengah tepat 49 hari setelah wafatnya Gus Dur, di Taman Budaya Raden Saleh Semarang. Kami didampingi putri sulung Gus Dur, Alissa Wahid dan kakak beliau yang dokter, Gus Umar. Saya juga yang membacakan deklarasi tersebut.” ungkapnya.
Menurutnya, setelah acara tersebut setiap kali Haul Gus Dur, Romo Budi juga selalu diundang untuk hadir di Ciganjur. “Keluarga Ciganjur selalu mengapresiasi kehadiran kami (warga Katolik) dalam haul, sebagai bagian dari keluarga Gus Dur,” tuturnya. “Relasi itu juga sedemikian rupa, setiap bulan Ramadhan, Ibu Sinta Nuriyah selalu memberikan kesempatan kepada saya untuk menyelenggarakan entah buka bersama ataupun sahur bersama beliau.” tutur Romo Budi.
Menjadi Juru Damai Seperti Gus Dur
Khoirul Anwar salah seorang peneliti di eLSA Semarang menyampaikan bahwa masyarakat harus bekerja sama antar iman atau agama. “Meskipun di luar sana ada banyak kelompok yang tidak suka pada gerakan persaudaraan lintas agama ini, serta mempropagandakan kebencian melalui media sosial. Namun kita tidak boleh diam dan kalah dari kelompok-kelompok tersebut,” ujar Khoirul menyemangati forum diskusi.
“Masing-masing kita harus menjadi bagian forum koordinasi, menyampaikan pesan-pesan perdamaian seperti yang sudah dipelopori oleh Gus Dur. Menjadi juru damai merupakan fardlu kifayah, kewajiban komunal. Jika ada satu konflik yang terjadi antara umat manusia tidak ada orang muslim yang menjadi juru damai, maka semua orang muslim berdosa,” jelas Khoirul.
Ketika ada seorang muslim yang menjadi juru damai, maka gugurlah kewajiban lain sebagai muslim. Khoirul mengisahkan, waktu itu Nabi Muhammad ingin menjalankan shalat Ashar, namun diberi kabar ada suku sebelah yang sedang berkonflik. Lalu, Nabi menggagalkan shalat Ashar-nya dan tidak jadi salat berjamaah, tetapi pergi mendamaikan konflik yang terjadi antar manusia.
“Saya harap dengan memperingati Harlah Gus Dur ini kita sama-sama untuk ikut serta memperjuangkan apa yang pernah diperjuangkan oleh Gus Dur. Menjadi muslim yang mendamaikan konflik di antara umat manusia, baik itu konflik agama, suku, dan yang lain. Bila ada benturan karena perbedaan, tugas kita bersama untuk mendamaikan konflik tersebut.” tutur Khoirul yang juga aktivis muda NU tersebut.
Gus Dur Pribadi yang Spontan
Pdt. Aryanto Nugroho dari Jemaat Allah Global Indonesia (JAGI) yang merupakan bagian dari Gereja Unitarian menyampaikan beberapa pengalaman sang ayah Pdt. Tjahjadi Nugroho dan dirinya secara personal dengan Gus Dur. Tanpa Gus Dur, mungkin gereja yang sekarang menjadi tempat melayaninya tidak ada.
“Alkisah, waktu itu ayah saya mengajukan izin gereja, tetapi Bimas Kristen tak memberi izin. Karena Unitarian dianggap bukan Kristen. Gus Dur yang saat itu menjabat sebagai Presiden RI, menelepon Bimas Kristen bahwa dirinya sendiri yang akan meresmikan JAGI. Maka akhirnya diberikanlah izin tersebut.” Pdt Aryanto berbagi kepada forum.
Menurut Pdt. Aryanto, menyampaikan apa yang menjadi pesan Gus Dur yakni; yang harus diajari toleransi bukan hanya kaum mayoritas, tetapi juga kaum minoritas dalam hal ini Kristen. Orang-orang Kristen perlu belajar untuk berhenti merepresi minoritas di dalam Kristen. Karena di dalam ke-Kristen-an juga ada mayoritas dan minoritas. Gereja-gereja kecil sering dicap sesat, seperti aliran Saksi Yehovah dan Kristen Unitarian. “Yang paling berbahaya bukan ketika acara seremonial, tapi justru omongan diam-diam di rumah lebih berpotensi menyebarkan kebencian dan kecurigaan.” katanya.
Pdt. Aryanto menceritakan ketika pada 2007, Gus Dur berkunjung ke Semarang. Lalu, Gus Dur menelpon Pdt. Tjahjadi Nugroho, ayahanda Pdt. Aryanto, yang merupakan salah satu sahabat dekat Gus Dur. “Nug, kamu di Semarang kan? Ya sudah, nanti saya mau main ke rumah.”
Akhirnya dengan keadaan bingung dan tanpa persiapan, untuk menyambut kedatangan Gus Dur dibuatlah rawon. Tak ayal kabar Gus Dur akan berkunjung segera menyebar di tetangga rumah, sehingga antusiasme warga untuk bersalaman dan berfoto bersama Gus Dur tak dapat dibendung. “Gus Dur itu datang ke rumah temannya tidak butuh protokoler dan tidak harus dengan persiapan khusus.” kenang Pdt. Aryanto.
Gus Dur Juara Stand Up Comedy
Ada satu hal lagi yang menjadi ciri khas Gus Dur, yakni hobinya melontarkan lelucon. Menurut Pandita Agus dari perwakilan umat Buddha, Presiden Republik Indonesia yang menjadi juara stand up comedy adalah Gus Dur. Sebagai guru bangsa, setiap kali Gus Dur datang di satu acara, dia selalu menyampaikan humor yang cerdas tapi memiliki makna yang dalam.
Keberanian Melintasi Batas-batas
Pdt Abraham Silo Williar, intelektual Protestan UKSW Salatiga juga berbagi cerita, berdasarkan penutran Gus Mus, sahabat Gus Dur; ketika Gus dur dilahirkan sudah ada semacam tanda, dan bagi orang yang bisa melihat tanda itu, itu adalah tanda yang istimewa. Gus Dur diramal akan menjadi orang yang luar biasa, namun dia akan menghadapi masalah yang berat.
Gus Dur nyatanya juga, adalah orang yang berani melintasi batas-batas. Jika pada waktu itu, orang ramai mengutuk Israel, Gus Dur justru malah jadi salah satu pengurus yayasan di Israel. Pdt Silo pesimis dengan kaum muda saat ini, mengamati fenomena instan sekarang menjadi atmosfer yang ditiru. “Saya tidak yakin kalau warisan Gus Dur akan diteruskan oleh yang muda-muda. Bagaimana mau mewarisi, kalau membaca karyanya saja tidak mau.” ujarnya.
Menurutnya Pdt. Silo, anak muda yang hadir di acara Harlah Gus Dur ini harus berani melintasi sekat-sekat yang ada. “Kalau kita kuat iman, kenapa kita harus ragu. Saya kira perjuangan Gus Dur tidak hanya harus diteruskan oleh teman-teman Nahdliyin saja, namun juga komunitas keagamaan yang lain. Karena, pesan-pesan yang disampaikan oleh Gus Dur adalah pesan yang universal.” tegas Pendeta Silo.
Di akhir sesi diskusi, salah satu sesepuh Tionghoa Semarang, Kwa Tong Hay menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Gus Dur. “Gus Dur ini begitu besar toleransinya kepada yang lain. Khususnya kepada minoritas yang tertindas.” Tercatat, Gus Dur lah Presiden RI yang mengambil kebijakan bersejarah bagi etnis Tionghoa, dengan mencabut Peraturan Pemerintah No 14 Tahun 1967 yang berisi larangan atau pembekuan kegiatan-kegiatan warga Tionghoa.