Semarang, EIN Institute – Kisah penyebaran Ahmadiyah di Indonesia memang memiliki banyak versi, tetapi yang paling sering dirujuk adalah kisah pelajar Indonesia yang kembali ke Indonesia pasca belajar di Lahore pada tahun 1925.Salah satu bukti catatan sejarah adalah surat dari Abdul Sami Sumantri yang menceritakan betapa menyenangkannya belajar Islam di Ahmadiyah School Qadian. Setelah surat itu sampai ke Sumatra, banyak anak muda Sumatra yang kemudian menyusul untuk belajar ke Qadian, India.
Begitulah sejarah awal masuknya Ahmadiyah ke Indonesia yang ditulis Iskandar Zulkarnaen dalam buku “Gerakan Ahmadiyah di Indonesia” (2006). Buku tersebut dibedah dalam forum yang digagas Jaringan Gusdurian Komisariat Universitas Wahid Hasyim Semarang, pada Kamis(27/4).
Selain mendatangkan penulisnya, Iskandar Zulkarnaen, hadir juga Pengurus Pusat Jemaat Ahmadiyah, Mahmud Mubarik sebagi pembedah. Koordinator Gusdurian Unwahas, M. Sabiq, mengaku jika acara bedah buku ini termasuk berbagai rangkaian kampanye kebhinekaan yang ia gagas. “Sebagai komitmen kami (Gusdurian) terhadap kebhinekaan, kemarin kami juga mengundang Anita Wahid, Direktur The Wahid Institute. Bagi kami NKRI sudah final,” terang mahasiswa jurusan Muamalat tersebut.
Penyebaran Jemaat Ahmadiyah di Indonesia secara kuantitas tidak bisa dikatakan mengalami perkembangan yang pesat. Meski akan memasuki 100 tahun penyebarannya pada tahun 2025 mendatang. Ajaran Ahmadiyah masih dibayangi label “ajaran sesat” yang disematkan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
“Bahkan di Jawa Barat ada Surat Keputusan Gubernur yang dengan tegas melarang berbagai kegaiatan Jemaat Ahmadiyah,” jelas Mahmud menerangkan beberapa faktor kesulitan mengembangkan Jemaat Ahmadiyah. Larangan yang dimaksud Mahmud adalah Peraturan Gubernur Jawa Barat No 12 Tahun 2011 yang ditandatangani Ahmad Heryawan, Kamis 3 Maret 2011. Pasca keluarnya peraturan tersebut, banyak atribut Ahmadiyah yang dibersihkan dari ranah publik.
Mirza Gulam Ahmad Tidak Membawa Syariat Baru
Menurut Mahmud, diterbitkannya surat larangan kegiatan dan label sesat yang diberikan kepada Ahmadiyah terjadi karena kesalahpahaman. “Semua hanyalah kesalahpahaman terkait konsep Imam Mahdi yang kami yakini,” jelas Mahmud dalam acara bedah buku tersebut.
Jika aliran Sunni percaya bahwa Imam Mahdi datang menjelang kiamat untuk meluruskan ajaran Muhammad, maka Ahmadiyah percaya jika Imam Mahdi telah datang. Imam Mahdi tersebut adalah Khilafah pertama mereka, Mirza Gulam Ahmad. Mereka mempercayai bahwa Mirza Gulam Ahmad adalah Imam Mahdi sekaligus Al-Masih (Isa). Ahmadiyah sendiri mengimani bahwa Yesus (Isa) tidak meninggal dalam penyaliban, setelah disalib Yesus (Isa) melanjutkan perjalanan dan meninggal pada usia 120 tahun di India.
Posisi Mirza Gulam Ahmad yang diimani sebagai Imam Mahdi dan Al-Masih yang dipercayai sudah datang sesuai Hadis Muhammad inilah yang berbeda dengan kepercayaan kalangan Sunni. Ahmadiyah menolak klaim jika mereka menganggap Mirza Gulam Ahmad sebagai nabi pengganti Muhammad, “Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dalam urusan syariat. Mirza Gulam Ahmad adalah nabi bayang-bayang yang tidak membawa syariat baru. Tugasnya sebagai Imam Mahdi dan Al-Masih justru menegakan syariat yang dibawa Nabi Muhammad,” demikian penjelasan Mahmud menanggapi posisi Mirza Gulam Ahmad yang dianggap sementara kalangan sebagai dinabikan oleh Ahmadiyah.
Menurut Mahmud, konsep Muhammad sebagai nabi penutup adalah dalam konteks syariat Islam, tetapi untuk urusan penegakan syariat yang dibawa Muhammad itu sendiri, Ahmadiyah percaya ada nabi-nabi selanjutnya. “Mirza Gulam Ahmad tidak membawa akidah baru, semua selesai di Muhammad,” pungkas Mahmud.
Menurutnya selama ini Ahmadiyah tidak mendapat hak jawab yang leluasa untuk mengklarifikasi berbagai macam berita tentang Ahmadiyah, “Pada kurun 2005 sampai 2011 banyak pemberitaan negatif tentang Ahmadiyah. Waktu kami (pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia) mengirim hak jawab, hanya sebagian kecil yang dimuat di beberapa koran,” ujar Mahmud mengenang kejadian beberapa tahun silam tersebut, “Dan parahnya, kalaupun dimuat, itupun pernyataan kami dipotong-potong.”
Ketua Jemaat Ahmadiyah Semarang, Agus Supriyanto menjelaskan, dalam rangka menuju 100 tahun Ahmadiyah di Indonesia, akan ada banyak agenda. “Kami akan tak jemu-jemu mendekati pemerintah, para akademisi dan aktivis kebebasan beragama. Kami mau meluruskan kesalahpahaman yang selama ini terjadi di tengah masyarakat,” ujar Agus menanggapi paparan Mahmud. Agus sendiri menegaskan bahwa gerakan Ahmadiyah di Indonesia lebih fokus ke ranah sosial, dia membeberkan rencana pembuatan rumah sakit Ahmadiyah yang rencananya akan didirikan di Palangkaraya.