Di tengah sambutannya yang berapi-api, Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Muhammad Nasir, mengangkat kepalan tangannya ke udara sambil memekikkan kata “NKRI!” ke arah anak-anak muda peserta seminar. Spontan semua peserta ikut mengepalkan tangan, sambil membalas pekikan Nasir dengan lantang, “Harga mati!”
Menyikapi perkembangan keamanan nasional Indonesia yang dikepung paham-paham anti Pancasila, Gerakan Pemuda Kebangkitan Bangsa (Garda Bangsa) menggelar seminar bertema “Menghadirkan Kitab Kuning, Melawan Paham Radikal” pada Sabtu (6/5) di lantai VI Gedung Pasca Sarjana Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang. Seminar ini menghadirkan Menristekdikti, Muhammad Nasir sebagai Keynote Speaker. Selain Nasir, hadir pula Rektor UNDIP, Yos Johan Utama, Komisi III DPR RI Abdul Kadir Karding, Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme, KH. Ahmad Badawi Basyir, serta dihadiri perwakilan dari Polda Jateng.
Mengapa Harus Kitab Kuning?
Garda Bangsa sebagai Badan Otonom Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) berdiri sejak 11 Maret 1999. Sejak awal pendiriannya Garda Bangsa memang selalu terlibat dalam berbagai permasalahan bangsa. Mereka mempunyai beberapa satuan yang bergerak di berbagai bidang dengan fokus kajian beragam; Garda Sadar Bencana (GSB), Garda Media, Garda Santri, Garda Bumi dan beberapa organisasi turunan lainnya.
Menurut Ketua Dewan Pembina Garda Bangsa Jawa Tengah, Yusuf Chuldori (Gus Yusuf), seminar ini merupakan respon terhadap berbagai permasalahan radikalisasi agama yang kian meluas, “Salah satu cara untuk mengatasinya ya dengan mempelajari kitab kuning,” Gus Yusuf yakin sekali jika kitab kuning ini diajarkan di tingkatan mahasiswa pastilah akan menghasilkan mahasiswa yang punya wawasan keagamaan yang toleran.
Apakah yang dimaksud kitab kuning? Mengapa dinamakan kitab kuning? Beberapa sumber mengatakan, penamaan “kitab kuning” karena pada awal pembuatannya kitab ini memang dicetak di atas kertas berwarna kuning. Pada umumnya, kitab kuning berisi kajian keislaman yang ditulis ulama klasik tentang berbagai disiplin keilmuan dan menjadi bahan ajar utama di kalangan pesantren.
Gus Yusuf dalam pidatonya menjelaskan bahwa keistimewaan pesantren ada pada kitab kuningnya, “Silsilah guru-muridnya jelas, silsilah pengarang kitabnya jelas, inilah yang akan membedakan orang yang belajar di pesantren dengan yang belajar di internet lewat ustadz-ustadz baru.” Kitab kuning adalah semangat yang ingin dibawa dari seminar ini untuk melawan radikalisasi.
Perguruan Tinggi Negeri Berpotensi Terjangkit Radikalisasi
Sementara Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir, mengatakan kalau proses radikalisasi sebenarnya bukanlah kejadian yang sedang berlangsung saat sekarang ini saja, “Sudah berjalan sekian lama, hanya akhir-akhir ini saja semakin ramai.”
Kementerian yand dipimpin Nasir secara serius ingin menanggulangi radikalisasi di kampus, “Perguruan Tinggi Negeri juga berpotensi. Istri Imam Samudra itu kan dari UNDIP, memang bukan hanya UNDIP saja, semua berpotensi.” Nasir berpesan agar kampus-kampus jangan sampai menjadi sarang radikalisme. Baginya, NKRI harga mati sudah tidak bisa sekedar basa-basi, “Semua paham radikal dibawa oleh gerakan transnasional, salah satunya ISIS. Ini ancaman serius untuk NKRI,” pesan Nasir.
Nasir menyerukan agar masyarakat Indonesia kembali ke Bhinneka Tunggal Ika, “Kita harus kembali ke semboyan kita, Bhineka Tungal Ika, Unity in Diversity.” Nasir menambahkan bahwa Indonesia harus berada dalam kondisi yang damai untuk mewujudkan cita-cita yang tinggi, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nasir juga akan terus memantau perkembangan radikalisasi di perguruan tinggi baik negeri ataupun swasta. “Kemarin ada PTS yang dekannya mau diangkat menjadi rektor, ternyata dia anggota ISIS,” ujar Nasir yang merahasiakan nama dan daerah kampus yang diceritakan. “Sikap saya, ya langsung saya berhentikan,” jelas Nasir tegas.
Menyikapi fakta perguruan tinggi yang menjadi sasaran radikalisasi, Rektor UNDIP Yos Johan Utama, menjabarkan berbagai faktor, “Banyak, ada liberalisasi pendidikan, kebebasan akademik yang tidak terbatas, dan banyaknya waktu luang.”
Yos menceritakan hasil pengamatannya selama ini di lingkungan kampus. Menurutnya masjid kampus sangat potensial dijadikan tempat penyemaian bibit radikalisasi, “Kalau masjid kampus atas sudah ada yang menjaga, sekarang saya berkonsentrasi ke masjid kampus bawah.” Terakhir Yos berpesan agar mahasiswa berpemahaman toleran agar menguasai masjid-masjid di kampus.
Menyikapi hal ini Menristekdikti sudah menyiapkan materi bela bangsa dan wawasan kebangsaan sebagai bahan ajar di kampus. Sebelum menghadiri seminar ini, sebelumnya Nasir juga telah menandatangani deklarasi antinarkoba, antiradikalisme, dan antiterorisme di Gedung Prof Wuryanto Universitas Negeri Semarang, Gunungpati. Permasalahan radikalisasi ini nampaknya memang dianggap sebagai permasalahan serius oleh Menristekdikti, hal ini terbukti dari keseriusan Nasir menggandeng Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dalam memerangi radikalisasi.
Abdul Kadir Karding, anggota Komisi III DPR RI, menyatakan bahwa negara harusnya tegas membubarkan organisasi-organisasi yang jelas-jelas terindikasi anti Pancasila. Karding mengkritik peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu saat ada sekelompok mahasiswa mendeklarasikan dukungan kepada salah satu ormas yang bertujuan menegakkan negara Islam.
Nabil Lazuardian salah satu peserta seminar dari Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, berharap kegiatan pencegahan radikalisme bisa terus diperbanyak penyelenggaraannya, “Semoga tidak hanya berhenti disini, karena ancaman radikalisasi memang nyata di kalangan mahasiswa.”
Editor: Yvonne Sibuea