Sekilas Perang Sepanjang dan Misteri Kapitan Sepanjang
Mary Somers–Heidhues dalam tinjauannya terhadap buku karangan Daradjadi Gondodiprojo Perang Sepanjang 1740-1743: Tionghoa-Jawa Lawan VOC (yang kemudian direvisi menjadi buku Geger Pacinan 1740-1743) menyebutkan ada tiga kelebihan Perang Sepanjang yang ditulis Daradjadi. Salah satu perbedaan sudut pandang yang diangkat Daradjadi menurut Somers-Heidhues adalah kemampuan militer yang cukup tinggi dari orang Tionghoa, dalam hal ini dibuktikan dengan peran penting Kapitan Sepanjang, pemimpin pasukan Tionghoa. Penekanan berbeda ini menegaskan bahwa pada satu ketika golongan Tionghoa bahu membahu bersama-sama golongan bumiputera untuk mengusir Kompeni Belanda. Jadi, mereka bukanlah “kaum oportunis yang tidak bisa diperbaiki” tetapi adalah rekan seperjuangan yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia (Didi Kwartanada dalam Pengantar “Geger Pacinan 1740-1743”).
Dalam Perang Sepanjang (1740-1743) ada tiga tokoh pimpinan pasukan aliansi yang menonjol. Dua di antaranya mengukir sejarah berdirinya keraton-keraton Mataram selanjutnya. Mereka adalah, satu, Raden Mas Said yang mempunyai gelar Pangeran Sambernyawa. Pada perjanjian Salatiga pada tahun 1757, Raden Mas Said mendapat hak untuk memerintah sebagian wilayah Mataram, mendirikan pusat pemerintahan (keraton), dan mendapat gelar KGPAA Mangkunegara I. Dua, Pangeran Mangkubumi, yang dalam perjanjian di Desa Giyanti tahun 1755 mendapat hak untuk memerintah Mataram bagian Barat, mendirikan pusat pemerintahan di Ngayogjakarta Hadiningrat, dan mendapat gelar Sultan Hamengkubuwana I. Kedua tokoh ini telah mendapatkan anugerah sebagai pahlawan kemerdekaan nasional dari Pemerintah Republik Indonesia.
Tokoh yang ketiga adalah Kapitan Sepanjang. Berbeda dengan dua rekan seperjuangannya yang masing-masing sudah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional (1988 dan 2006): tokoh Kapitan Sepanjang masih diliputi misteri hingga kini. (Didi Kwartanada dalam Pengantar “Geger Pacinan 1740-1743)
Selepas kekalahan pasukan aliansi dan tertangkapnya Sunan Kuning, Kapitan Sepanjang terus bergerak ke arah timur pulau Jawa sambil terus menyerang pos-pos VOC, sebelum akhirnya ia menyeberang ke pulau Bali. Di pulau tersebut ia mengabdi pada sebuah kerajaan. Namun bagaimana keberadaan dan akhir kehidupannya, tak ada yang mengetahui. Nama dan nasibnya terlupakan.
Beberapa sumber mengatakan nama asli Kapitan Sepanjang adalah Souw (Oey) Phan Ciang, Wang Tai Pan, atau Tay Wan Soey. Nama Tay Wan Soey pertama kali disebut sebagai pemimpin pemberontak Tionghoa yang ingin diajak berunding oleh pihak Kompeni pada 5 Oktober 1740, tapi ajakan berunding itu ditolak Tay Wan Soey (Didi Kwartanada dalam Pengantar “Geger Pacinan 1740-1743)
Menurut beberapa ahli sejarah, antara lain Prof. B.J. Veth dan du Bois, Tay Wan Soey adalah saudara lain ibu dari Kaisar Tiongkok bernama Kin Lung atau KianLiong (Mandarin:Qian Long) yang merupakan salah satu kaisar terbesar dinasti Qing yang dikuasai bangsa Manchu. Tay Wan Soey dibuang ke luar wilayah Tiongkok karena dicurigai ingin melakukan pemberontakan. Dengan posisinya sebagai orang “buangan”, Kapitan Sepanjang sudah tidak memiliki hubungan dengan Kaisar Tiongkok selaku “kawulanya”. Maka, sangatlah layak apabila Sepanjang diusulkan sebagai Pahlawan Nasional, menyusul sahabat-sahabatnya Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said, seperti yang diidamkan Daradjadi (Didi Kwartanada dalam Pengantar “Geger Pacinan 1740-1743“)
Awal Perang Sepanjang
Batavia, Oktober 1740, terjadi kerusuhan. Orang-orang Tionghoa, yang merasa hidupnya ditekan oleh Kompeni (VOC) melakukan penyerangan dan perusakan terhadap berbagai aset milik perusahaan dagang Belanda tersebut. Kompeni tak tinggal diam. Mereka membalas dengan lebih keras. Penduduk Tionghoa dirazia, dikumpulkan, dan dibantai. Diperkirakan sejumlah 10.000 orang, dewasa-anak-anak, lelaki-perempuan, menemui ajalnya di tangan pasukan Kompeni, atau pihak-pihak yang diperintahkan melakukan eksekusi. Dalam sejarah, peristiwa ini disebut sebagai De Chinezenmoord atau 1740 Batavia Massacre: Pembantaian Orang-orang Cina di Batavia.
Kejadian ini menimbulkan reaksi berantai yang hebat selama tiga tahun berikutnya. Orang-orang Tionghoa yang selamat, dipimpin oleh Kapitan Sepanjang melarikan diri ke arah timur. Berita tentang pembantaian dan rencana menyerang balik Kompeni segera menyebar. Di kota-kota yang mereka lewati, mereka menghimpun kekuatan dari orang-orang Tionghoa setempat. Namun tak hanya, kaum Tionghoa, para Bupati di wilayah kekuasaan Mataram juga banyak yang bersimpati kepada perjuangan ini. Rakyat Jawa juga sudah muak dengan kesewenang-wenangan Kompeni. Sampai akhirnya sang raja pun, Sunan Pakubuwono II, turun tangan mendukung perjuangan ini. Maka lahirlah persekutuan pasukan Jawa-Tionghoa yang sangat merepotkan Kompeni. Peperangan terjadi hampir di seluruh pantai utara Jawa dari Batavia, Karawang, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Kudus, Rembang, Lasem, Tuban, Surabaya, hingga Pasuruan. Juga di pedalaman, di sekitar pusat Mataram, yang sekarang dikenal sebagai Yogyakarta, Surakarta, Banyumas hingga Pacitan, Madiun, Malang (Iwan Santosa, Catatan Editor dalam “Geger Pacinan”).
Tak dinyana, sekitar setengah tahun setelah memberikan dukungan, Sunan Pakubuwono II menariknya kembali. Ia berbalik menjadi pro VOC dan kontra Laskar Jawa-Tionghoa. Para bawahannya kebingungan, ada yang patuh pada sang Sunan, ada yang tetap berketetapan untuk melawan Kompeni. Pasukan Jawa terpecah. Aliansi Jawa-Tionghoa lantas mengangkat Raden Mas Garendi, cucu Amangkurat III, sebagai raja ‘tandingan’ dengan gelar Sunan Amangkurat V. Serangan-serangan pasukan aliansi akhirnya bisa merebut keraton Mataram di Kartasura pada pertengahan tahun 1742. Namun enam bulan kemudian, dengan bantuan VOC dan pasukan Madura, Sunan Pakubuwono II berhasil merebut kembali tahtanya. Sunan Amangkurat V, yang juga dikenal sebagai Sunan Kuning, terusir dan meneruskan perlawanan secara gerilya. Sampai akhirnya pada tahun 1743, Sunan Amangkurat V bisa tertangkap di Surabaya dan selanjutnya dibuang ke Sri Lanka.
Perang Jawa dan Kebencian Terhadap Tionghoa
Kurang lebih delapan puluh tahun kemudian, Jawa dilanda perang besar lagi – Perang Diponegoro, atau yang juga biasa disebut Perang Jawa, pada tahun 1825-1830. Namun berbeda dengan Perang Sepanjang yang kental dengan kerja sama antara orang Tionghoa dan Jawa, Perang Jawa justru diwarnai sentimen anti-Tionghoa. Salah satu peristiwa tragis yang terjadi adalah pembantaian terhadap komunitas Tionghoa di Ngawi, yang dipimpin oleh Raden Ayu Yudokusumo, salah seorang putri Sultan Hamengku Buwono I, yang menaruh simpati pada perjuangan Pangeran Diponegoro. Pangeran Diponegoro sendiri mengeluarkan perintah kepada para bawahannya untuk tidak menjalin relasi politik dan seksual dengan kaum peranakan Tionghoa, karena hal tersebut ia yakini bisa membawa sial. Keyakinan ini dipicu oleh pengalaman pribadinya mengalami kekalahan dalam perang di Gowok 15 Oktober 1826. Kebetulan sebelum berperang ia tidur dengan seorang perempuan Tionghoa tawanan perang yang dijadikan tukang pijat.
Tionghoa-Jawa, dari Teman Menjadi Lawan
Mengapa bisa terjadi perubahan sikap dari teman menjadi lawan? Apakah tidak ada upaya merawat memori kolektif tentang persahabatan saat bersama-sama melawan penjajah? Menurut sejarawan Didi Kwartanada, kemungkinan memori kolektif yang timbul adalah memori yang traumatis, karena Perang Sepanjang berakhir dengan kekalahan pihak Aliansi Jawa-Tionghoa. Satu hal yang jelas, pasca 1743 Kompeni segera mengambil langkah-langkah untuk mencegah kembali bersatunya kaum Tionghoa dan Jawa, yaitu dengan mengelompokkan tempat tinggal orang-orang Tionghoa pada satu lokasi (wijkenstelsel) dan penerapan surat jalan jika bepergian dari wilayahnya (passenstelsel). Dengan sendirinya orang-orang Tionghoa secara wilayah lantas menjadi ‘eksklusif’.
Selain itu orang Tionghoa juga diposisikan oleh Kompeni dan berikutnya Pemerintah Hindia Belanda sebagai middle-man minority. Posisi ini memang terletak di tengah antara kaum Eropa (Belanda) dan kaum Bumiputera. Tak hanya secara sosial, kepada kaum Tionghoa ini juga diberikan konsesi untuk mengelola dan menarik pajak gerbang cukai / gerbang tol, di mana setiap pengelola harus menyetor sejumlah uang tertentu kepada Kompeni, serta memonopoli distribusi berbagai komoditi penting termasuk candu. Kedua hal ini adalah sumber kesengsaraan rakyat Jawa pada masa-masa sebelum terjadinya Perang Jawa.
Jadi lengkap sudah penyebab kesebalan dan kebencian orang Jawa kepada orang Tionghoa – tempat tinggalnya ‘eksklusif’, kerjanya menghisap uang rakyat dan merusak mentalnya sekalian. Maka tak heran ketika rakyat Jawa bangkit untuk berontak, sasaran serangan mereka tak hanya fasilitas atau properti milik Belanda, namun juga komunitas-komunitas Tionghoa.
Sentimen anti Tionghoa ini dengan sengaja terus dipelihara oleh pemerintah kolonial dan Orde Baru. Dan dalam lintasan sejarah sikap diskriminatif terhadap Tionghoa juga lantas menimbulkan perasaan antipati dan diskriminatif terhadap kaum Bumiputera oleh orang-orang Tionghoa. Sikap pukul rata dan prasangka tumbuh berkembang di kedua pihak,menciptakan suatu lingkaran setan kebencian yang tak ada habisnya.
Inisiasi Mengampanyekan Nilai-nilai Keberagaman
Untuk itulah, KRMH Daradjadi Gondodiprojo, kerabat Mangkunegara IV dan penulis buku Geger Pacinan, bersama Esthi Susanti Hudiono, Direktur Biro Pengembangan dan Mobilisasi Sumber Daya, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, menginisiasi sebuah rangkaian acara “Pencanangan 35 Windu Geger Pacinan – 75 Tahun Kemerdekaan Indonesia” untuk mengenang peristiwa yang sering disebut juga sebagai Perang Sepanjang itu. Tak hanya sekedar mengenang, rangkaian acara ini ingin mengaktualisasikan nilai-nilai kebersamaan dan keberagaman yang muncul saat terjadinya aliansi antara kaum Jawa dan kaum Tionghoa. Daradjadi menegaskan pentingnya dan perlunya upaya mengampanyekan nilai-nilai tersebut, karena Indonesia saat ini sedang terancam oleh bahaya rasisme, intoleransi dan diskriminasi yang sudah sampai tahap mengkhawatirkan.
Kebetulan tahun 2020 ini Republik Indonesia akan berusia 75 tahun dan bersamaan dengan 8 windu UKSW. Maka disepakati untuk memperingati ketiga peristiwa itu bersama-sama. Kegiatan yang direncanakan adalah Forum Heritage yang berisi pemaparan kajian oleh ahli setiap bulan yang terkait dengan tiga peristiwa itu. Seperti pada diskusi 24 Januari ini, topik yang diangkat adalah “Kapitan Sepanjang ”Pahlawan” Indonesia Tionghoa”.
Februari akhir nanti rencananya akan dibahas tentang Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said) dengan narasumber antara lain Prof. Peter Carey. Acara bulan Maret mengangkat tema “Perjanjian Salatiga”.
Prof. Peter Carey juga akan menjadi nara sumber lokakarya sejarah bagi guru-guru sejarah muda. Periode sejarah yang akan diangkat adalah sejak Geger Pacinan hingga Kerajaan Mataram terpecah menjadi empat. Di samping kajian yang bersifat ilmiah, peringatan ini juga akan memakai pendekatan seni. Tercatat akan tampil tiga pertunjukan seni yaitu musik (Andi Bayou), tari (Heri Lentho) dan wayang kulit (Jose Amadeus). Lagu “Geger Pacinan” telah diluncurkan pada bulan Desember 2019 lalu bersamaan dengan peluncuran Forum Heritage. Tari Bedaya akan ditampilkan pada bulan Agustus 2020, dan pada tanggal peringatan peristiwa Geger Pacinan, 10 Oktober 2020, akan dipentaskan wayang kulit “Geger Pacinan”.
Sebenarnya upaya-upaya untuk memisahkan, dan bahkan membenturkan, etnis Tionghoa dengan (dalam hal ini) etnis Jawa tidaklah seratus persen berhasil. Secara alamiah pada beberapa tempat timbul toleransi dan relasi yang akrab antara keduanya. “Kaum pedagang Tionghoa tidak hanya memasok Diponegoro dengan senjata, opium dan uang, tapi beberapa bahkan ikut berperang di pihak Pangeran. Itulah kasus yang terjadi di Tuban dan Lasem di Pantai Utara. Di sana warga Tionghoa lokal hampir semua masuk Islam dan keturunan dari keluarga-keluarga peranakan yang sudah lama bermukim di sana berhubungan dekat dengan pasukan Sosrodilogo, terancam pembalasan langsung dari Belanda setelah kekalahannya pada Januari 1828.” (Peter Carey dalam “Takdir” hal. 311).
Dalam Prolog-nya di buku Geger Pacinan, Daradjadi mengisahkan pengalaman masa kecilnya di mana ada seorang Tionghoa yang tinggal dan membuka toko dekat, ketika dalam masa gencatan senjata dengan Belanda tahun 1949, rumahnya dilempari batu dan dikata-katai sebagai “antek Belanda”. (Daradjadi, “Geger Pacinan” hal. xxiv). Sementara pada saat yang hampir bersamaan, di kota Parakan – Temanggung, warga Tionghoa menyambut pasukan gerilyawan Ranggalawe dan Laskar Hizbullah, yang sebelumnya bersembunyi di pedesaan di lereng gunung Sumbing/Sindoro. Dan semasa perang gerilya, komunitas Tionghoa di kota itu memasok kebutuhan logistik para gerilyawan.” (Lily Wibisono, “Tangkasnya Peranakan Tionghoa Parakan Membaca Zaman”, Intisari Januari 2020).
Untuk menghentikan lingkaran setan kebencian antar etnis memang diperlukan keterbukaan semua pihak yang terlibat, bahwa mungkin di dalam sejarah masing-masing pihak pernah melakukan kesalahan dan bahwa untuk menjadikan kehidupan di Indonesia yang lebih baik, perlu untuk mengubur segala stigma negatif. Memori kolektif positif seperti contoh-contoh di atas perlu dikumpulkan untuk memperkuat narasi keberagaman dan toleransi antar etnis yang ingin dicapai dari peringatan Geger Pacinan ini. Bahwa sejatinya negeri ini terbentuk dan dibentuk oleh berbagai elemen bangsa yang beragam.