Share the knowledge!

Warga Ngobrol Bareng tentang Hak Asasi Manusia (Waroeng HAM) seri ke-5 digelar di Gedung LPUBTN, Kawasan Kota Lama Semarang pada Senin (27/2). Tema diskusi kali ini adalah “Pelarangan Pork Festival: Pengingkaran Kebhinekaan Indonesia”. Diskusi dimotori oleh EIN Institute dengan dukungan LBH APIK Semarang, PKBI Jawa Tengah, Rumah Pelangi, Bengkel Sastra Taman Maluku dan Radio Elshinta sebagai rekan media. EIN Institute yang didirikan di Semarang sejak 2009 silam, berfokus pada kerja-kerja promosi pluralisme.

Pada 19 Januari 2017, organisasi massa Forum Umat Islam Semarang (FUIS) menyampaikan protes atas penyelenggaraan Pork Festival yang direncanakan berlangsung pada 23-29 Januari 2017 di Pasaraya Sri Ratu Pemuda. FUIS menyatakan dalam surat yang ditujukan pada pengelola Pasaraya Sri Ratu bahwa masyarakat muslim merasa resah atas penyelenggaran festival kuliner berbahan dasar daging babi ini. Pasca proses mediasi oleh pihak kepolisian, pada 20 Januari 2017 Ketua Penyelenggara Pork Festival, Firdaus Adinegoro menyatakan pembatalan penggunaan nama Pork Festival, dan mengganti nama kegiatan menjadi Festival Kuliner Imlek.

Dalam sambutannya, Ellen Nugroho selaku Direktur Eksekutif EIN Institute menjelaskan alasan pemilihan tema diskusi. Ellen memaparkan, “Adalah penting untuk menyikapi pelarangan Pork Festival yang pada dasarnya tidak memiliki landasan hukum dan tidak menghargai kebhinekaan Indonesia.” Ellen berharap kejadian serupa tidak terulang lagi pada kesempatan lain. Karena sesuatu yang dibiarkan terus menerus terjadi cenderung akan dianggap sebagai sebuah kebenaran.

Kemudahan bagi Masyarakat Tionghoa

Firdaus Adinegoro yang diundang sebagai narasumber diskusi memaparkan alasan pemilihan nama Pork Festival, yaitu karena 80% makanan yang disediakan berbahan dasar daging babi. Menurut Firdaus, penamaan Pork Festival adalah bentuk komitmen panitia untuk memudahkan masyarakat muslim mengidentifikasi bahwa makanan yang tersedia adalah non-halal. Panitia kegiatan yaitu Komunitas Kuliner Semarang tidak ingin menempatkan acara kuliner ini di wilayah abu-abu.

Komunitas Kuliner Semarang juga melihat momen menjelang Perayaan Imlek sebagai kesempatan untuk menyediakan kemudahan bagi masyarakat Tionghoa yang memiliki tradisi menyantap kuliner daging babi menjelang tahun baru.

Semarang Panggung Baru Intoleransi

Tedi Kholiludin, Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) dalam paparannya menggarisbawahi bahwa walaupun ada argumen agama dalam penolakan ormas FUIS, tapi sebenarnya yang terjadi bukanlah sekedar permasalahan normatif agama. Menurut Tedi, umat Islam seharusnya memang jangan datang ke acara festival kuliner tersebut, karena keyakinan bahwa daging babi adalah haram untuk dikonsumsi.

Tedi menyoroti bahwa penolakan Pork Festival adalah upaya menjadikan Semarang sebagai panggung baru intoleransi. “Tiga tahun terakhir ini saja terjadi peningkatan kasus bernuansa agama,” ungkap Tedi. Kasus-kasus ini bila ditelaah sebenarnya tidak semuanya memiliki hubungan langsung dengan agama, tetapi dalam argumen-argumen penolakannya selalu melibatkan argumentasi agama, demikian penjelasan Tedi. Sebagai kota pesisir yang tidak memiliki “tuan rumah kebudayaan”, berbagai kelompok masyarakat yang semuanya adalah pendatang kemudian saling bertarung untuk menjadi “tuan rumah kebudayaan” di Semarang.

Kelompok penolak mengungkapkan kepada Tedi bahwa mereka tidak ingin Semarang kemudian dikenal sebagai kota Pork Festival. “Maka dalam konteks penolakan Pork Festival, sebenarnya yang terjadi adalah perebutan pemaknaan Kota Semarang. Sayangnya cara mereka masuk ke area pertarungan adalah dengan menyangkal keberadaan kebudayaan lainnya,” papar Tedi. Semarang didorong mengusung identitas religius dan Islami dengan cara menghalangi upaya identifikasi Semarang sebagai kota non-Islami.

Solusi “Menang-Menang”

Turnomo Rahardjo, Kaprodi Magister Ilmu Komunikasi UNDIP yang juga seorang pakar komunikasi budaya berpendapat bahwa pemberian label tertentu pada kegiatan tertentu akan memunculkan pemaknaan yang berbeda-beda. Dalam hal ini, media massa berperan penting dalam membentuk persepsi masyarakat. Penggunaan diksi tertentu oleh media bisa memprovokasi atau sebaliknya mendinginkan suasana.

Fenomena pelarangan Pork Festival dan baru-baru ini pelarangan gelaran Cap Go Meh di halaman Masjid Agung Jawa Tengah menurut Rahardjo adalah sebuah proses meraih kuasa. Proses ini merupakan bagian dari komunikasi budaya di Semarang yang selama ini belum terjadi secara intens.

Kemajemukan adalah sebuah pencapaian karena terlebih dahulu terjadi interaksi, dengan tidak menanggalkan identitas masing-masing, demikian papar Rahardjo. “Pada dasarnya, komunikasi antar budaya bertujuan untuk memahami perbedaan, bukan untuk keakraban. Memahami bahwa orang lain punya identitas yang berbeda. Melalui proses ini maka niscaya akan tercapai keseimbangan.

Rahardjo berpendapat, dalam masyarakat kolektif sebuah konflik harus diselesaikan dengan cara “menang-menang”, tanpa harus mempermalukan salah satu pihak. Rahardjo memandang, penyelesaian “menang-menang” telah diterapkan dengan baik pada konflik Pork Festival dan Cap Go Meh.

Semarang Sudah Plural Sejak Awal Berdiri

Sementara Kasturi Farid Masykuri, mewakili Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Semarang mengingatkan bahwa sejak awal berdirinya Kota Semarang memang sudah plural, sehingga simbol kebudayaan yang dipilih sebagai ikon adalah Warak Ngendhog. Makhluk rekaan ini berkepala naga yang menggambarkan kebudayaan etnis Tionghoa, tubuh berbentuk mirip unta yang menggambarkan kebudayaan Arab, sedangkan keempat kaki menyerupai kaki kambing untuk menggambarkan kebudayaan Jawa. Percampuran unsur-unsur kebudayaan dalam Warak Ngendhog merupakan wujud akomodasi terhadap masing-masing etnis.

Warak Ngendhog dikembangkan Adipati Semarang, R.M. Tumenggung Aryo Purbaningrat pada abad ke-19. Saat itu Warak Ngendhog digunakan sebagai simbol persatuan antar etnis. Kemudian setiap kali perayaan ritual Dugderan (pesta rakyat menjelang bulan puasa) selalu diadakan ritual mengarak Warak Ngendhog.

Di hadapan para peserta diskusi, Kasturi berjanji untuk melindungi semua kepentingan warga Semarang, “Pada dasarnya kami akan melindungi semua kalangan, demi Semarang yang harmonis dan masyarakat yang lebih sejahtera.”

Menyinggung masa depan program andalan Disbudpar Kota Semarang yaitu Wisata Kuliner, Kasturi optimis akan bisa berkembang baik selama para penyelenggara berpegang pada nilai-nilai kepatutan.

Facebook Comments

Share the knowledge!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *