Share the knowledge!

Semarang, EIN Institute – Kepedulian terhadap nasib sesama yang kurang beruntung dan keinginan meningkatkan kualitas kehidupan mereka, menjadi landasan semangat Prana dalam kesehariannya berkegiatan di Pelayanan Sosial Garam dan Ragi Masyarakat (PS Garam).

Sudah dua tahun mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata ini diberi mandat menjabat Ketua PS Garam. PS Garam sendiri adalah salah satu unit pelayanan Keuskupan Agung Semarang. PS Garam memiliki misi memangkas kesenjangan sosial yang berakar dari kesenjangan pendidikan.

Mengetuai lembaga non-profit di usia muda memang bukanlah hal yang mudah bagi Prana, banyak tantangan dihadapinya. Ketika semangatnya menurun, senyuman tulus anak-anak di perkampungan pinggir kota yang dilayaninya menjadi penawar. Semangat belajar anak-anak tersebut sangat tinggi, walau hidup dalam keterbatasan.

Tambahan Personil dari PMII

Kamis (23/2) Prana meluncur turun dari wilayah Banyumanik menuju Jangli saat matahari sedang terik-teriknya. Jadwal pelayanannya adalah setiap hari Kamis. Pukul 13.00 Prana sudah berada di kantor PS Garam yang terletak di Seminari Tor Sanjaya.

Prana bersama teman-temannya sudah menyiapkan berbagai alat dan bahan ajar. Bahkan tidak jarang persiapan dilakukan sejak semalam sebelum berangkat pendampingan. Para relawan PS Garam yang kebanyakan masih kuliah tersebut telah terbiasa membagi waktu antara belajar dan kegiatan mengajar. Rencana hari ini mereka akan mengajar anak-anak di Kelurahan Sawah Besar, Kecamatan Gayam Sari Semarang. Kelas belajar akan digelar di beberapa titik di Sawah Besar. Dahulu Sawah Besar adalah salah satu daerah paling kumuh dan kawasan hitam di Semarang, hingga pernah dijuluki “kandang kerbau”. Kini Kelurahan Sawah Besar telah tertata lebih rapi.

Tidak seperti biasanya, sore ini ketika rombongan remaja Katolik relawan PS Garam tidak kekurangan relawan. Beberapa remaja putri berhijab ikut bergabung bersama mereka menumpang angkutan umum menuju lokasi kelas belajar. Ternyata personil tambahan tersebut berasal dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Komisariat UIN Walisongo. Beberapa anggota PMII tersebut ternyata memang mempunyai program kerja pendampingan anak-anak.

Kekurangan Relawan

Mengajar di 13 titik pendampingan kelompok belajar anak-anak, membuat PS Garam kerap terkendala kekurangan relawan. “Dulu malah pernah satu angkot isinya dua orang relawan saja, maklumlah, saat itu menjelang ujian,” kenang Lupita, salah  satu relawan yang sama bersemangatnya dengan Prana.

Dapat dibayangkan, betapa langkanya anak muda seusia mereka mau meluangkan waktu melakukan kerja-kerja sosial tanpa dibayar, sementara nongkrong di kedai kopi di pusat-pusat perbelanjaan dianggap lebih menyenangkan bagi anak muda lainnya.

PS Garam kewalahan urusan sumber daya manusia, tapi tidak dalam urusan komitmen dan niat. “Dibayar juga tidak. Malah harus meluangkan banyak waktu dan tenaga. Tapi kalau bukan kita, siapa lagi. Ya kan?” tukas Prana.

Ia menjelaskan, keangggotaan di PS Garam bersifat terbuka, “Siapa saja boleh ikut. Kadang ada beberapa mahasiswa yang ikut kegiatan sekali dua kali lantas menghilang. Tidak apa tetap kami hargai,” urai Lupita pada Kabar EIN.

Prana menjelaskan, keanggotan dirancang tidak mengikat agar pelayanan murni berasal dari hati nurani. PS Garam berupaya membangun kesadaran bahwa kesenjangan pendidikan harus dipangkas. “Kalau bodoh tapi kaya kan bisa les tambahan, atau kalau pintar tapi miskin masih bisa dapat beasiswa. Tapi kalau sudah miskin terus bodoh, siapa yang peduli coba?” ujar Prana menerangkan logika pelayanannya.

Murni Gerakan Pendidikan

“Saya tidak melihat ada aspek keagamaan dalam pelayanan ini, murni pendidikan,” kata Umi Ma’rufah menjelaskan keterlibatannya bersama PS Garam. Meski kegiatan mengajar dilakukan oleh anak muda lintas agama tetapi tidak ada ceramah-ceramah keagamaan di dalamnya.

Sesekali beberapa anak dampingan menanyakan masalah pelajaran agama, “Kadang ditanya tentang agama Islam, kan saya Katolik, ya harus browsing deh,” ujar Prana mengenang tantangan-tantangan saat melakukan pendampingan. Sementara bagi Umi, menghadapi belasan anak dengan tipikal berbeda menjadi tantangan tersendiri yang membuatnya merasa tertantang.

Awalnya Prana terjun di PS Garam karena kewajiban menjadi frater, tetapi sekarang tampaknya mengajar anak-anak telah menjadi pilihan hidupnya. “Bukan organisasi yang mau dibesarkan di sini. Bukan seberapa luasnya PS Garam dikenal orang, tetapi seberapa dalam hati seseorang bisa menyentuh sesamanya,” jelas Prana.

Begitulah seharusnya interaksi setiap pemeluk agama dalam keseharian. Ajaran agama diwujudkan dengan praktik nyata kepedulian kepada sesama yang kurang beruntung.

Facebook Comments

Share the knowledge!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *