“Bagian Tiga”
Minggu Pagi, 13 Mei 2018
Acara puncak, Riyaya Undhuh-Undhuh! Akhirnya, ini hari yang saya tunggu-tunggu. Saya, Hesti dan Thay bergegas berangkat ke GKJW Mojowarno sejak matahari belum terbit. Kami sudah menyiapkan perlengkapan tempur berupa kamera foto, kamera video, dan tentu saja cemilan untuk mengganjal perut karena kami tidak akan sempat sarapan di penginapan.
Tepat pukul 05.30 WIB jalan raya di depan gereja ditutup untuk mempersiapkan kedatangan 7 rombongan kendaraan hias yang berasal dari berbagai blok seputar Mojowarno. Saya, Hesti dan Thay sudah mengincar beberapa posisi terbaik untuk mendapatkan gambar. Thay menempatkan diri di luar halaman gereja, sementara saya dan Hesti mengambil posisi di sayap kiri pintu gerbang utama gereja. Hesti siap dengan tripod dan kamera videonya, sementara saya berencana akan bergerak bebas menenteng kamera foto dan buku catatan untuk wawancara.
Pesta Rakyat
Rupanya rombongan kendaran hias terlambat tiba, kami menunggu cukup lama hingga matahari mulai terasa sedikit menyengat. Hingga akhirnya, suara tabuh-tabuhan bercampur suara hingar bingar lagu “dangdut koplo” diputar keras-keras lewat pengeras suara terdengar. Keriuhan tersebut berasal dari mobil-mobil hias yang sedang dikemudikan lambat-lambat menuju halaman gereja.
Dangdut koplo? Cukup unik bukan? Ternyata musik dangdut koplo berasal dari sebuah mobil milik kesenian Jaranan Jombang yang para anggotanya disewa untuk berpawai bersama mobil hias salah satu blok. Mobil itu berfungsi sebagai mobil antar jemput rombongan Jaranan. Jadi mereka melipir ke sisi kanan gereja yang memiliki lahan kosong untuk parkir, kemudian mematikan musik hingar bingar yang tadi mereka putar.
Sementara di pintu utama, rombongan Jaranan memasuki halaman gereja diiringi tabuhan gamelan, dua orang laki-laki berbusana perempuan berjoged-joged centil mendahului kelompok laki-laki yang menyandang kuda lumping. Setelah mereka, baru mobil hias memasuki gereja. Aksi mereka disambut disambut hangat para penonton. Walaupun Riyaya Undhuh-Undhuh diselenggarakan oleh gereja, suasananya memang lebih mirip pesta rakyat.
Satu-persatu kendaraan hias dengan diiringi berbagai bunyi-bunyian memasuki halaman gereja dan memarkir diri dengan rapi. Para warga blok masing-masing ikut mengiringi kendaraan dengan berjalan kaki , yang perempuan berdandan cantik dengan baju adat daerah nusantara; sementara warga gereja yang tidak ikut berpawai, maupun warga sekitar menonton dengan antusias. Wajah-wajah mereka dipenuhi senyum dan kehangatan. Saya yang tamu pun merasa seperti berada di rumah sendiri. Tidak merasa sebagai orang asing yang baru pertama kali datang ke gereja ini.
Rasa penasaran mendorong saya bergeser ke rombongan Jaranan yang telah menyelesaikan tugas mereka mengawal mobil hias. Nampak mereka sedang saling bercanda sambil menunggu saatnya mereka bisa pulang. Saya menyapa salah satu lelaki yang berbusana perempuan tadi, ia menyambut ramah sapaan saya. Saya bertanya apa saya boleh mewawancarainya sejenak. Ia bilang tidak keberatan, sembari tersenyum lebar dan mengibaskan wig brunette-nya. Teman-teman si wig brunette ikut mengerubuti kami dengan rasa ingin tahu.
Namanya Ali. Dalam keseharian Ali berprofesi serabutan, salah satunya sebagai kuli bangunan. Kalau ada tawaran manggung dengan rombongan Jaranan baru ia mengambil cuti bekerja. Ali mengaku, sudah berkali-kali ia tampil mengiringi rombongan mobil hias Riyaya Undhuh-Undhuh; dan belum pernah ada pihak yang memprotes penampilannya yang mengenakan busana perempuan dan berbedak-gincu cukup tebal. Saya sangat gembira mendengarnya. Ternyata kelenturan ekspresi gender cukup dihargai di Mojowarno.
Tepat pukul 09.00, kebaktian ucapan syukur dimulai. Saya dan Hesti tetap bertahan di halaman gereja, sementara Thay meliput suasana kebaktian dari balkon gereja. Kebaktian menggunakan pengantar bahasa Jawa dan lagu-lagu pujian diiringi oleh tabuhan gamelan dan lesung.
Kebaktian berlangsung sekitar satu jam, dan dilanjutkan dengan acara lelang hasil panen. Mobil-mobil hias berbaris menunggu giliran menuju panggung utama lokasi lelang. Ketika tiba di samping panggung, para relawan masing-masing blok dengan cekatan memindahkan segenap isi mobil ke pelataran panggung.
Pemandangan yang saya saksikan cukup menakjubkan. Buah-buahan dan sayur-sayuran ditata di lantai berkarpet, diikuti dengan berbagai jenis burung hias, ayam, dan kambing. Suasana hiruk pikuk, kambing-kambing menolak ditempatkan pada lokasi tertentu, ada yang berontak menolak bergerak dan ada yang berusaha kabur ketika diikat di dekat panggung. Para relawan sibuk berkutat merapikan mereka. Sementara itu, ayam-ayam yang dijajarkan dalam kurungan berdampingan dengan rombongan kambing, berkokok keras-keras. Mungkin ayam-ayam itu panik melihat keributan di sekeliling mereka.
Setelah semua hasil tani dan ternak selesai diturunkan, lelang segera dimulai. Proses lelang dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok utama terletak di panggung besar, hasil tani dan ternak dikelompokkan oleh juru lelang, kemudian ditawarkan pada warga yang hadir. Di kelompok lelang utama, harga pembukaan komoditi yang dilelang minimal sejuta rupiah.
Sedangkan di sayap kiri panggung, di halaman sebuah bangunan, ada kelompok lelang murah. Yang dilelang adalah parsel-parsel berisi buah-buahan dan camilan. Harga paket parsel dimulai dari seratus lima puluh ribu rupiah. Saya mengamati, serombongan ibu-ibu menyerbu lokasi lelang murah tersebut. Juru lelang terlihat kewalahan melayani peminat parsel yang membludak.
Ketika saya mengalihkan perhatian pada sisi kiri panggung, para juru catat lelang nampak sibuk menghitung pendapatan hasil lelang di panggung utama tadi. Pendapatan dari lelang akan disetorkan ke kas gereja untuk mendanai berbagai kegiatan operasional gereja, serta mendukung sekolah SD dan SMP yang dikelola GKJW. Para pemenang lelang mulai beranjak meninggalkan halaman gereja dengan membawa serta ternak dan hasil panen yang baru saja mereka tebus.
Halaman gereja mulai lengang ketika kami juga memutuskan untuk meninggalkan lokasi. Kami berharap bisa kembali lagi ke Mojowarno pada Riyaya Undhuh-Undhuh berikutnya, dengan mengajak serta lebih banyak kawan tentunya.
Sampai jumpa lagi, Mojowarno!
Tim Peliput: Yvonne Sibuea, Siek Liang Thay, Hesti Nareswari
——–– (kembali ke Bagian 1) ———–
——–– (kembali ke Bagian 2) ———–