Share the knowledge!

Ketika kerusuhan meletus pertama kali di Ambon bulan Januari 1999, Pulau Buru belum langsung terkena dampaknya. Meskipun demikian, rumor menyebar luas dengan cepat, membuat ketakutan warga Kristen yang tinggal di pulau yang mayoritasnya Islam itu, termasuk keluarga Weslly Johannes.

“Hampir setahun kemudian, bulan Desember, saya dibangunkan ayah dan disuruh siap-siap mengungsi ke Ambon,” kenang Weslly yang kini aktif di Paparisa Ambon Bergerak, saat menjadi pemantik diskusi di pemutaran film “Beta Mau Jumpa” hari Jumat (28/2) lalu di Gedung Teater Thomas Aquinas Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata.

Teror yang dia saksikan dan dengar membuat emosinya bergejolak.

“Waktu itu saya benci pada ‘Islam’ karena rasanya apa pun yang menyandang nama itu memusuhi saya. Sampai sekitar 4 sampai 5 tahun setelah mengungsi ke Ambon, saya masih sering merasa tidak nyaman mendengar azan, teringat itu yang saya dengar waktu kampung saya dulu dikepung,” kata lelaki yang tengah berupaya merampungkan program Magister Sosiologi Agama di Salatiga itu.

Pasca konflik, Weslly merasa dunianya mendadak jadi homogen. Dia kehilangan semua teman dan kerabat yang beragama Islam. Mereka harus tinggal di negeri yang berbeda sesuai agama masing-masing.

“Jadi kalau orang bilang di Ambon itu bukan konflik agama, saya bertanya, lalu ini konflik apa? Kalau bukan konflik agama, mengapa orang yang agamanya berbeda tidak bisa jalan bersama, tidak bisa tinggal bersama?” gugatnya.

Lewat banyak membaca dan merenung, Weslly akhirnya sampai pada kesadaran bahwa ada yang tidak beres dengan narasi yang dibangun oleh masing-masing pihak yang berkonflik.

“Selalu yang dinarasikan kelompok lain jahat, kelompok kita baik. Kita ini korban, mereka itu pelaku. Islam itu musuh atau Kristen itu musuh. Saya jadi bertanya-tanya, dari mana keyakinan ini datang? Banyak orang tidak bisa keluar dari narasi kebencian ini.”

Weslly lantas mengenali akar masalahnya ada pada ketakutan orang untuk berani berpikir sendiri.

“Ketika semua orang narasinya sama, menyuarakan narasi yang berbeda akan sangat sulit buat orang yang tidak punya keberanian,” tutur penggila buku ini.

Dia merasakan di dalam kelompok ada tekanan untuk berpikir seragam.

“Orang tidak boleh beda. Ini jadi sangat sulit buat orang yang tidak berani, soalnya bersikap netral atau objektif itu bisa berarti mati.”

Sampai di sini lantas Weslly menyimpulkan bahwa jalan menuju perdamaian harus dimulai dengan keberanian meninggalkan cara berpikir kawanan untuk berpikir mandiri sebagai pribadi.

“Kita perlu ragukan cerita-cerita yang ada, kita lawan tuntutan untuk berpikir seragam. Harus ada independensi berpikir.”

Independensi berpikir bukan berarti semaunya menentukan benar dan salah. Menurut penulis buku puisi “Bahaya-Bahaya yang Indah” ini, sikap kritis malah harus ditujukan dulu pada diri sendiri. “Tidak banyak orang yang menggugat sendiri pikirannya. Dan terutama yang tidak pernah dipertanyakan adalah emosi.”

Di masyarakat dan dalam negara, menurut Weslly, yang sering terjadi adalah otoritas tidak memberi ruang untuk berbeda pendapat.

“Kebanyakan orang lebih suka tunjuk orang lain – ‘kamu jahat’ – dan merasa cukup. Penilaian itu dianggap final. Kalau yang di atas bilang itu jahat, kita yang di bawah tidak boleh beda. Maka orang walaupun dalam hatinya berpikir berbeda, dia menolak bicara jujur tentang yang diketahui benar, karena takut.”

Menurut Weslly, bahaya sekali ketika orang-orang sudah mulai takut menyuarakan perbedaan. Dia sendiri mengaku sekarang agak takut bicara tentang apa pun yang berkaitan dengan agama.

“Orang mudah sekali tersinggung. Orang jadi takut sekali bicara tentang agama lain, takut nanti dianggap penistaan agama, takut dilaporkan ke negara. Akhirnya daripada ribut, orang mulai diam-diam. Tapi ketika orang diam, maka kebohongan menyebar. Kalau tidak ada komunikasi, kita tidak bisa filter informasi,” katanya.

Sebagai penyintas konflik, Weslly menyarankan anak-anak muda untuk tidak mentah-mentah menelan narasi yang diwariskan generasi tua pada mereka.

“Orangtua yang berperang, anak-anak yang disuruh mati. Itu terjadi di mana-mana. Kalau mau mati, mari temukan alasan yang tepat untuk mati. Buat saya, ideologi apa pun, agama apa pun, kalau sudah minta darah dan nyawa orang lain, itu kita perlu pertanyakan.”

Alih-alih mengikuti narasi lama, Weslly berpendapat anak muda sebaiknya berani berimajinasi tentang kota yang mereka mau.

“Orang bicara tentang surga. Surga itu seperti apa? Benarkah ada surga? Tapi kami yang hidup di daerah konflik tahu dengan pasti bahwa neraka itu ada, narasi macam apa yang menciptakannya?” 

Dalam aktivismenya sekarang, Weslly jadi banyak bepergian ke daerah yang dihuni kelompok berbeda. Keluarganya sendiri pun sering mengkhawatirkannya karena menganggap itu berbahaya. “Mengatasi perbedaan mestinya dengan banyak dialog, forum diskusi. Beranilah klarifikasi supaya dapat informasi yang benar. Kalau kita sudah takut bicara, takut berbeda, itu berarti kita tidak baik-baik saja.”

Perdamaian dalam bayangan Weslly berarti semua orang diposisikan sebagai setara.

“Jangan terus berpikir menang atau kalah. Jangan merasa senang mengalahkan orang lain. Ingatlah bahwa orang yang dikalahkan tidak akan tinggal diam. Memang Jalan Tengah itu sulit, tapi harus diambil. Butuh waktu dan pengorbanan yang besar, tapi bukankah dengan cara ini kita menguji yang kita yakini?”

Facebook Comments

Share the knowledge!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *