Ulasan buku
Judul: “Cilik-cilik Cina, Suk Gedhe Meh Dadi Apa?: Autoetnografi Politik Identitas”
Penulis: Anne Shakka, 2019,
Penerbit: Sanata Dharma University Press,
Jumlah Halaman: xiv +138 hlm
“Aku kelelahan menjadi Cina, tapi aku tidak dapat menjadi yang lain.” (Anne Shakka, “Cilik-cilik Cina, Suk Gedhe Meh Dadi Apa?”)
Berbagai bentuk kerusuhan, kekerasan dan perundungan terhadap etnis Tionghoa di Indonesia yang terjadi sejak jaman kolonial Belanda sampai dengan merdeka, menunjukkan bahwa keberadaan etnis ini di bumi Nusantara masih problematis.
Ada ungkapan bernada satir, bahwa orang Tionghoa di Indonesia itu hanya punya tiga shio (lambang astrologi Cina); yaitu kelinci, sapi dan kambing. Tiga shio itu: kelinci percobaan (diterapkannya berbagai aturan yang mengontrol dan membatasi), sapi perah (sumber pendanaan dan pungutan liar) dan kambing hitam (sasaran kekerasan saat terjadi konflik).
Perlakuan kekerasan yang cenderung bersifat struktural ini berimbas pada kehidupan sehari-hari. Masyarakat Tionghoa yang secara latar belakang sosial heterogen, dicap memiliki karakteristik yang sama. Pandangan bahwa orang Tionghoa itu pasti kaya, pelit, licik, materialis, pemakan babi acap dilontarkan oleh masyarakat non-Tionghoa dengan nada sarkastik. Tak hanya di kalangan orang dewasa, pada anak-anak pun ditemui pandangan demikian, tentu saja karena pengaruh orang tua dan lingkungan
Pengalaman di-cina-kan ini dialami Anne Shakka, penulis buku “Cilik Cilik Cina, Suk Gedhe Meh Dadi Apa?: Auto Etnografi Politik Identitas”. Anne kecil yang tinggal di pinggiran kota Temanggung, Jawa Tengah, tak lepas dari perlakuan diskriminatif di lingkungan tempat tinggalnya. Suatu hal yang membuat Anne bingung. Mengapa ia dianggap berbeda dengan teman-teman sekampungnya? Mengapa ia di-liyan-kan? Kegelisahan itu terus terbawa hingga Anne dewasa dan mengenyam pendidikan tinggi.
Anne mengawali kisahnya pada tahun 2016. Saat itu kasus tuduhan penista agama menerpa Ahok (Basuki Tjahaja Purnama). Di media sosial marak beredar ujaran-ujaran kebencian terhadap etnis Tionghoa. Hal ini membuat Anne ketakutan, sekalipun ia tinggal jauh dari Jakarta.
Dalam korespondensi imajinernya – metode autoetnografi yang dipilihnya – Anne setengah bertanya pada dirinya sendiri, mengapa ia dilanda perasan takut akan menjadi sasaran kekerasan rasial saat ada isu mengenai kerusuhan atau gonjang-ganjing politik? Padahal ia tinggal di Temanggung, yang berjarak ratusan km dari Jakarta. Padahal ia tak pernah benar-benar mengalami sendiri kerusuhan, pun ia tak mengalami diskriminasi yang parah, hubungannya dengan teman-temannya juga baik.
Selama hidup Anne, kerusuhan yang ia temui hanyalah kerusuhan Mei 1998. Tapi itupun ia alami tanpa ada kesan bahwa keselamatannya terancam (hal. 79). Ia baru berusia sebelas tahun saat itu. Pulang sekolah ia menyaksikan di televisi, Presiden yang telah ia kenal selama ini mengundurkan diri. Ia ikut senang karena orang-orang di sekitarnya menyambut dengan gembira. Namun ia tak yakin ia paham dengan apa yang terjadi. Ia baru menyadari parahnya kerusuhan Mei 1998 itu setelah ia dewasa saat melakukan penelitian tentang pengalaman rasisme yang dialami oleh orang Tionghoa. Di situlah Anne menemui banyak peristiwa kerusuhan di negeri ini yang menyasar orang Tionghoa, sekalipun pada sebagian peristiwa pemicunya tidak melibatkan orang Tionghoa. Lantas ia pun mulai merasakan berbagai ketakutan. “ Tidak berbicara terlalu vokal, tidak mencari-cari masalah dengan orang lain, tidak usah berurusan dengan polisi ataupun aparat pemerintahan, tidak perlu menunjukkan diri. Bersembunyilah, maka hidupmu akan aman.” (hal. 81)
Anne kemudian menyadari darimana datangnya rasa takut itu – atmosfer yang dibangun keluarganya. “Mamah banyak memberikan peringatan akan apa yang boleh dan tidak boleh diucapkan, seperti tidak boleh bilang “PKI” karena nanti bisa ditangkap polisi” (hal.78). Bahkan orang tuanya menyatakan bahwa “sebagai orang Cina sudah layak untuk mendapatkan perlakuan yang tidak adil.” (hal. 82).
Padahal dari sisi biologis, Anne tidaklah “murni” Tionghoa. Salah satu neneknya (dari pihak ibu) adalah orang Jawa. Namun toh, kondisi ini tak banyak mengubah pandangan stereotip tentang Tionghoa. Malahan ketika anak lelakinya (paman Anne) berpacaran dengan perempuan Jawa, sang nenek melarangnya. Sepertinya ada suatu ‘perubahan status’ ketika sang nenek menikah dengan lelaki Tionghoa, maka ia pun menjadi Tionghoa.
Anne kecil tumbuh menjadi pribadi yang minder dan kesulitan berbicara dan mengungkapkan pendapat, tidak suka menjadi pusat perhatian, bisa tegang berhari-hari jika harus bicara di depan umum. Ia jadi ketus, defensif dan mudah marah terhadap banyak orang. Bahkan kemudian ia merasa jengah kalau ia harus memanggil kakak lelakinya dengan “kokoh”. Maka ia memutuskan untuk memanggil namanya langsung tanpa embel-embel sebutan saudara . Hal yang sebenarnya dalam tradisi Tionghoa tabu dilakukan. Juga panggilan kepada sanak saudara pada tingkat orang tuanya tak dikenalnya lagi. Semuanya menjadi ‘oom’ dan ‘tante’. Padahal panggilan sanak saudara dalam tradisi Tionghoa unik, karena dari penyebutannya bisa diketahui sanak tersebut saudara dari pihak ayah atau ibu.
Anne mengalami ketegangan budaya – di satu sisi ia ingin menjadi Jawa karena muak dan lelah diliyankan dan distereotipkan terus menerus. Namun di sisi lain, wujud fisiknya (yang berkulit terang dan bermata sipit) dan keluarganya (orang tua) menghalanginya hal tersebut terjadi. Mamanya pernah menegurnya karena di depan teman-teman mamanya, ia menggunakan bahasa Jawa krama. Hal itu dianggap merendahkan diri. Pun ketika Anne pacaran dengan seorang lelaki Jawa, mamanya menghalangi secara halus. Orang tuanya (keluarganya) ingin mempertahankan identitas ketionghoaannya. Namun pada saat bersamaan Anne tak pernah benar-benar diperkenalkan pada tradisi Tionghoa – tak pernah merayakan Imlek, misalnya. Juga ia tak paham apa saja rangkaian upacara perkabungan (jib bok, mai song, sang seng), selain suguhannya yang berupa kuaci, permen dan roti.
“Aku merasa ditarik ke berbagai arah yang aku sendiri tidak pahami. Aku sebagai pribadi merasakan ada keluarga yang mengikat diriku dengan kecinaan ini. Di sisi lain, aku tidak mengenali kecinaan itu apa. Aku tidak pernah diperkenalkan! Aku menolak untuk mengenal! Di samping itu, aku berdoa dengan agama Barat, dengan tata caranya yang berasal dari Eropa. Dan dari mulutku tetap meluncur kata-kata berbahasa Jawa. Jadi, siapa aku ini?” (Hal. 105)
Sudut Pandang Pengulas
Membaca buku “Cilik-Cilik Cina, Suk Gedhe Meh Dadi Apa?” adalah membaca kebingungan jati diri sebuah kaum yang terakumulasi dalam ratusan tahun sejarah Nusantara, khususnya Jawa. Sejak de Chinezenmoord (pembantaian orang-orang Tionghoa oleh VOC di Batavia tahun 1740), yang diikuti oleh Geger Pacinan (perang antara VOC – Cina+Jawa), relasi etnis Tionghoa dengan penduduk bumiputera terus mengalami pasang surut. Mulai dari kebijakan segregatif yang dilahirkan oleh pemerintah kolonial – passenstelsel, wijkenstelsel dan klasifikasi masyarakat menurut ras; dianggap sebagai salah satu pihak penyebab kekalahan pasukan Diponegoro dalam Perang Jawa; dominasi ekonomi yang membawa pada kecemburuan sosial; dan puncaknya adalah pada masa Suharto berkuasa pasca tragedi 65 – kebijakan terstruktur-masif-sistemiknya membawa dampak psikologis yang sedemikian meresap ke dalam batin baik orang Tionghoa maupun non-Tionghoa. Dampak psikologis inilah yang dari lalu komunitas ditularkan ke anggota-anggotanya, dari orang tua diturunkan ke anak-anaknya.
Pasca Gerakan Reformasi 1998, pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk memperbaiki posisi orang Tionghoa (penghapusan SBKRI, penggantian istilah “Cina” dengan “Tionghoa”, penetapan Imlek sebagai hari libur nasional). Di samping itu, banyak etnis Tionghoa yang lalu berkiprah di luar bidang yang selama itu disematkan pada mereka, yaitu perdagangan. Yang cukup mencolok adalah banyak yang terjun ke dunia politik praktis, suatu bidang yang serasa ‘tabu’ dimasuki etnis Tionghoa pada masa kekuasaan Suharto. Selain itu juga muncul upaya-upaya pelurusan sejarah yang terkait etnis Tionghoa (yang sebagian bahkan diadakan oleh orang-orang non-Tionghoa) serta kembalinya ekspresi budaya Tionghoa yang sempat dilarang.
Sekalipun demikian, tetap saja beban psikologis itu belum dapat hilang. Sikap sebagian etnis Tionghoa yang seakan meng-glorifikasi ketionghoaan mereka (istilahnya resinifikasi – pencinaan kembali) dianggap Anne sebagai “tidak bermanfaat” (hal. 7). Saya menangkap kekurangantusiasan pernyataan ini dikarenakan masih adanya kekuatiran pada diri Anne, bahwa apa yang nampak bagus di permukaan itu belum benar-benar meresap ke dalam benak masyarakat luas. Dan hal kekuatiran itu tercermin ketika ada demonstrasi-demonstrasi di kota-kota besar, masih ada masyarakat Tionghoa yang cemas akan terjadi kerusuhan dan mereka kembali menjadi sasaran. Di samping itu, digunakannya ujaran-ujaran kebencian untuk merundung mereka menunjukkan bahwa di kalangan masyarakat umum juga masih ada stigma negatif terhadap masyarakat Tionghoa.
Dan sampai di akhir pencarian, Anne belum menemukan jawaban yang memuaskan akan pertanyaan “suk gedhe meh dadi apa?”, karena katanya “… sampai sekarang aku pun tidak menemukan jawaban mengenai kecinaanku ini. Sekarang aku malah jadi mempertanyakan, apakah aku ini? Cina yang bagiku sekarang ternyata hanya terkait dengan tubuh dan apa yang orang-orang definisikan untukku. Dan terkait dengan tubuh juga, aku tidak mungkin menjadi Jawa. Entahlah…” (hal. 121)
Membaca “Cilik-cilik Dadi Cina, Suk Gedhe Meh Dadi Apa?” dari sisi pengisahan rasanya memang tidak seasyik membaca buku sejenis yang lebih merupakan memoar, misalnya “Anak Cino” karya Handoko Widagdo. Namun buku yang merupakan hasil tesis studi pasca sarjana Anne ini mempunyai satu kelebihan, yaitu penggunaan dan penjelasan tentang metode autoetnografi. Metode ini, walaupun secara ilmiah banyak pihak yang mempertanyakan validitas hasil penelitiannya, cukup membantu seseorang untuk mengamati proses yang terjadi pada dirinya terhadap suatu isu. Metodenya mirip dengan refleksi hanya lebih terstruktur. Dalam masalah yang dihadapi Anne, ia dipandu oleh pertanyaan tentang jati dirinya sebagai seorang keturunan Tionghoa. Dengan mengikuti alur berpikirnya, kita jadi lebih paham dan berempati pada apa yang dirasakan Anne (dan orang-orang lain yang juga mempunyai pengalaman yang mirip).