“Beragama saya mencintai manusia. Kalau mengkambinghitamkan ciptaanNya, berarti saya menghina Tuhan,” tutur Guru Besar Antropologi Undip, Mudjahirin Tohir dalam acara Bedah Buku “Beragam(a) Itu Indah” di Sarasehan Selasa Legén ke-97 di Kampung Budaya Universitas Negeri Semarang (Unnes), Senin (11/11) malam. Acara ini rutin diselenggarakan oleh pegiat kesenian Jawa di Universitas Negeri Semarang sejak 2014.
“Cara beragama setiap orang dipengaruhi oleh tiga kemampuan untuk mewujudkan kebutuhan biologis, sosial dan sentimen kolektif,” ungkap Mudjahirin Tohir.
Pria yang kini menjabat Mustasyar PWNU Jawa Tengah memaparkan kebutuhan biologis berupa yang nampak, terdiri dari sandang, pangan dan papan. “Dalam dunia santri disebut basorih,” jelasnya.
Setelah kebutuhan biologis, pria asal Kaliwungu menjelaskan kebutuhan sosial. Komponen itu digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan utama (primer) juga bersaing. Ia mengibaratkan faktor sosial seperti aturan fair play di dalam sepakbola.
“Fair play dalam dunia teori setiap pemain sepakbola dilarang menjegal pemain lawan. Berbeda saat praktik betulan di lapangan. Ketika lawan sudah di depan mulut gawang akan mencetak gol, kita harus menghentikan agar bola tidak masuk ke gawang. Pada poin itu, ada rasionalisasi, manusia akan berhitung tentang untung rugi. Jika dijatuhkan kemungkinan masuk 25%, kalau tidak 99,9% masuk. Hukum rasional erat dalam kebutuhan sosial,” tegasnya.
Pelengkap kebutuhan biologis dan sosial, adalah sentimen komunal. Pria yang juga mengajar di UIN Walisongo ini mengungkapkan, sentimen komunal membuktikan manusia tidak hidup di ruang hampa.
“Setiap manusia memiliki standar kebenaran masing-masing. Sehingga muncul yang baik atau buruk berdasarkan keyakinan diri sendiri dan komunitas,” katanya.
Perdebatan Sumber Kebenaran
Sumber kebenaran agama menjadi perdabatan di antara umat. Faktor inilah yang menjadi perhatian para aktor perdamaian untuk mengajak umatnya berdialog; demikian Mudjahirin Thohir menguraikan asal-usul kebenaran yang dianut oleh manusia.
“Legenda, mitos dan agama menjadi sumber kebenaran yang digunakan oleh masyarakat Indonesia hingga hari ini,” jelasnya. Legenda sering dikenal sebagai cerita rakyat oleh khalayak umum. Penulis buku “Orang Jawa Pesisiran” ini mengisahkan kembali masa kecilnya; sebelum tidur, ia selalu diceritakan kisah Malin Kundang yang durhaka terhadap orang tuanya lalu dikutuk menjadi batu.
“Kebenaran (legenda) dititikberatkan pada pesan moral di setiap ceritanya, salah satu contohnya Malin Kundang yang awet hingga kini,” jelasnya kepada puluhan peserta Sarasehan Selasa Legén ke-97.
Mudjahirin menjelaskan, mitos menjadi salah satu sumber kebenaran dengan mencontohkan adat sedekah laut dan kematian nelayan di tengah laut. Ia menganggap, kematian nelayan yang disebabkan kapalnya karam oleh badai di tengah laut akan mudah diidentifikasi dengan nalar itu. Kemampuan kognitif-lah yang menyebabkan mitos itu akan berlaku.
“Kemampuan kognitif manusia mengandaikan, “jangan-jangan” kematian itu disebabkan oleh faktor liyan yang bernama penunggu laut selatan. Jamak disebut Ratu Kidul,” ucapnya.
Kemampuan kognitif itu menimbulkan hukum timbal balik. Nelayan di Pesisir Selatan akan melakukan upacara sedekah laut sebagai bentuk mensyukuri nikmat dan menolak bahaya. “Hukum timbal balik meyakini bahwa laut bukanlah tempat kosong tanpa penghuni. Ibarat sebuah bangunan, ketika kita akan bertamu harus ada kulo nuwun,” tambahnya.
Agama menjadi sumber kebenaran oleh para penganutnya. Pria kelahiran 65 tahun silam itu menafsirkan, agama tidak datang secara tiba-tiba. Terjadinya perbedaan disebabkan umat beragama menganut kepercayaan orang tua atau ormas yang diikuti.
“Kalau tokoh agama memaknai “ad-dinu nasihah (Agama itu Nasehat)”, aktivis ormas menjelaskan agama itu “la ad-dinu bila jama’ah wala imarah“( tidak ada agama tanpa jama’ah dan aturan), kalau teman-teman PKS menafsirkan “ad din wa daulah”, (Agama sekaligus Negara),” katanya.
Mudjahirin Tohir menegaskan dalam buku “Beragam(a) Itu Indah” tidak ada tafsiran agama berdasarkan tokoh agama, ormas maupun partai.
“Agama pada intinya untuk mengembangkan akhlak dan adab pemeluknya, baik dengan sang Pencipta maupun dan sesama ciptaanNya,” pungkasnya.
Salah satu pembedah buku, Dosen Sastra Jawa Unnes Widodo Wikandana mengamini kritik budaya feodalisme yang diturunkan oleh pihak penjajah melalui peribahasa jawa berbunyi “Ajining Diri Soko Lathi, Ajining Rogo Soko Busono” dalam buku “Beragam(a) Itu Indah”.
“Harga diri seseorang yang diukur dari pakaian merupakan budaya feodalisme yang diterapkan oleh penjajah. Istilah itu diplesetkan oleh Mudjahirin Thohir menjadi “Ajining Diri Soko Lathi lan Budi” sebagai bentuk perlawanan terhadap kultur feodalisme, ” tutur Widodo.
Widodo Wikandana menyebut karya terbaru Mudjahirin Thohir, ditulis berdasarkan pengalaman ketimbang tumpukan dalil. “Orang awam akan mudah memahami buku ini,” pungkasnya.
Rutinan ini diramaikan oleh UKM Kesenian Jawa Unnes lewat penampilan, macapatan, geguritan, dan Tari Gambyong.