Merajut harmoni memupus prasangka. Membaca kalimatnya saja sudah membawa kedamaian tersendiri. Itulah tema dari kegiatan Pondok Damai yang diselenggarakan pada 27-29 April 2019. Pondok Damai diikuti 29 orang dari berbagai agama dan kepercayaan sebagai peserta juga melibatkan kurang lebih 18 panitia dari lintas agama, komunitas dan lembaga di Semarang yang tergabung dalam Persaudaraan Lintas Agama (PELITA) Semarang.
Saya berkesempatan terlibat dalam kegiatan tiga hari tersebut sebagai panitia pelaksana. Pondok Damai melibatkan anak muda dari berbagai agama dan kepercayaan sebagai peserta. Peserta tidak hanya berasal dari kota Semarang saja, tetapi juga dari Salatiga, Yogyakarta, Surabaya, Lampung, bahkan ada seorang peserta yang berasal dari Laos.
Pondok Damai berbeda dengan kegiatan dialog lintas agama pada umumnya. Dalam kegiatan yang dilaksanakan selama tiga hari dua malam di Vihara Buddhagaya Watugong Semarang ini, peserta tidak disuguhi materi dan pemaparan oleh narasumber, tetapi semua peserta berperan sebagai penyaji dalam setiap sesi yang diberikan.
Ada tiga sesi utama dalam kegiatan Pondok Damai. Semua sangat sayang untuk dilewatkan:
Pertama: Mengapa beragama “X”?
Kedua: Pengalaman tidak menyenangkan terhadap agama lain,
Ketiga: Pengalaman menyenangkan terhadap agama lain.
Peserta diberi kesempatan untuk menyampaikan pengalaman dan saling bertanya kepada peserta lain. Uniknya dalam setiap sesi diterapkan peraturan agar peserta tidak baper (bawa perasaan), tidak tersinggung terhadap pandangan orang lain, tidak jaim, serta bercerita apa adanya.
Agama Sebagai Sarana Menuju Pencipta
Dalam sesi pertama dengan tema “Mengapa Beragama X”, peserta diberi kesempatan untuk menceritakan alasan memilih agama dan kepercayaan yang dianut. Dari sana muncul pemahaman-pemahaman baru tentang agama lain yang sebelumnya tidak diketahui oleh peserta. Kisah yang dituturkan setiap peserta sangat menarik, mulai dari perjalanan menentukan pilihan ketika memeluk agama tertentu sampai suka duka menjadi pemeluk agama tersebut.
Salah satunya, cerita dari Widi penganut penghayat kepercayaan Sapta Dharma. Widi mengaku bahwa apa yang dianutnya adalah keturunan dari orang tua, walaupun demikian tidak mengurangi keyakinan Widi terhadap apa yang dianutnya. Walaupun dalam prosesnya Widi banyak menemui kendala.
Sebagai minoritas Widi terpaksa mempelajari agama Islam yang diajarkan di sekolah, karena tidak ada sekolah yang mengajarkan pelajaran-pelajaran kepercayaan yang dianutnya. “Walaupun saya mempelajari pelajaran agama yang tidak saya anut, tetapi saya bangga pernah menjadi juara dalam kontes anak sholehah, saya berhasil mengalahkan peserta-peserta lain yang memang sebagai penganut agama Islam” tutur Widi dengan bangga.
Selain itu Widi juga merupakan warga Negara Indonesia yang paling rajin berganti KTP (Kartu Tanda Penduduk). Pada bagian kolom agama pernah ditulis beragama Islam, pernah dikosongi, dan sekarang sudah bisa diisi dengan Penghayat Kepercayaan.
Selain cerita Widi, masih banyak cerita dari peserta lain. Cerita-cerita yang dipaparkan menjadikan peserta Pondok Damai menjadi terbuka, memahami dan menghargai pilihan orang lain.
Agama dipahami sebagai sarana untuk menuju Pencipta. Berbeda pemikiran dan berbeda cara pandang tidak pantas dijadikan alasan untuk bermusuhan. Seseorang bebas memilih, akan tetapi tidak berhak menghina pilihan orang lain. Peserta menyadari bahwa peran keluarga itu sangat penting, karena banyak pengaruh dari orang tua dalam pengambilan keputusan seseorang. Tidak jarang iman seseorang itu dimulai dari keluarga.
Segala Luka Harus Diobati
Kisah berbeda dipaparkan Andi pemeluk agama Konghucu dalam Sesi “Pengalaman tidak menyenangkan terhadap agama tertentu”. Sebagai minoritas Andi sering mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari pemeluk agama lain.
Yang paling diingat Andi ketika semasa duduk dibangku Sekolah Dasar, Andi sering mendapat julukan sebagai orang Cina dan pengikut agama sesat. Selain itu Andi juga selalu mendapatkan kesulitan saat masa ujian akhir sekolah, karena tidak mendapatkan soal ujian agama Konghucu di sekolahnya.
Dari kisah Andi jelas apa yang disampaikan berbeda dengan kisah-kisah yang ada di sesi pertama tentang alasan memeluk agama tertentu. Pada sesi kedua fokus pada pengalaman tidak menyenangkan yang pernah dialami peserta terkait interaksinya dengan pemeluk agama lain.
Masing-masing peserta pasti memiliki pengalaman tidak menyenangkan terhadap pemeluk agama lain, trauma dan luka pasti ada, oleh sebab itu segala luka harus diobati, walaupun pengobatan pertama akan terasa sangat menyakitkan. Dari cerita perjumpaan tidak menyenangkan yang disampaikan peserta, diharapkan luka-luka yang pernah ada sedikit demi sedikit akan sembuh, diikuti tumbuhnya rasa saling memahami dan menghargai.
Ketidaktahuan Membuat Kita Membenci yang Berbeda
Pada sesi terakhir, giliran cerita-cerita menyenangkan yang disuguhkan oleh peserta Pondok Damai. Di balik trauma yang dialami, tak kalah banyak cerita menyenangkan tentang perjumpaan dengan pemeluk agama lain.
Ada satu cerita menarik dari Gabriel pemeluk agama Kristen Protestan, tentang pengalamannya yang sejak kecil dibiasakan orang tuanya untuk menekan tombol “mute” pada remote ketika ada adzan berkumandang di televisi.
Ketika Gabe sapaan akrab Gabriel merantau untuk melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi di Salatiga, Gabe semakin terbiasa dengan suara adzan yang ia dengar sehari lima kali. Awalnya ia merasa risih, tetapi setelah diajarkan oleh dosen-dosen tentang makna adzan yang sebenarnya bahwa kumandang adzan secara tidak langsung membuatnya mengingat Tuhan yang ia sembah, Selain itu adzan bisa menjadi alarm dalam menjalankan aktivitasnya. Terkadang hanya karena alasan ketidaktahuan terhadap sesuatu menjadikan kita takut mengenal dan membenci apa yang berbeda dengan kita.
Di hari kedua ada kunjungan ke tempat ibadah di sekitar kota Semarang, diantaranya Gereja Isa Almasih Pringgading, Klenteng Sinar Samudera, dan Pura Agung Giri Natha. Dalam kunjungan tersebut peserta mendapat pengetahuan baru tentang ajaran agama, ritual ibadah, dan tempat ibadah lain langsung dari pemuka agama yang dikunjungi. Selain itu juga dapat berkeliling dan melihat langsung ke dalam tempat ibadah.
Rasa kebersamaan tidak hanya tumbuh pada sesama peserta melainkan juga pada panitia penyelenggara. Kekompakan panitia selalu terjaga dengan saling membantu dalam penyelenggaraan kegiatan Pondok Damai.
Pasca Pondok Damai, peserta yang pada awalnya datang membawa luka dan prasangka terhadap agama lain diharapkan akan pulang membawa rasa saling memahami dan menghargai perbedaan.