“Saya ini seolah-olah bertambah umurnya mendengar anak-anak muda ini bercerita bahwa kejadian 1965 itu perbuatan pelanggaran HAM. Saya ini sudah berusia 76 tahun, seakan tinggal berapa hari lagi hidup, tapi seolah bertambah umur, sebab saya mempunyai harapan ada penyambung saya, generasi muda yang bahasa sekarang adalah generasi milenial ini masih sadar tentang ketidakadilan yang terjadi” ungkap Munari salah satu penyintas tragedi 1965 yang hadir dalam acara Dialog Antar Generasi, Melepas Belenggu Impunitas. Sebagai salah satu rangkaian peringatan hari HAM Internasional yang diselenggarakan bersama Asia Justice and Rights (AJAR) dan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) pada Kamis, 5 Desember 2019.
Acara yang diselenggarakan di Kompas Corner, Gedung Thomas Aquinas Unika Soegijapranata ini menghadirkan beberapa penyintas tragedi 1965 yang menceritakan pengalaman personal mereka tentang tragedi 1965. Tidak hanya itu, peserta yang sebagian besar adalah anak muda bisa saling berbicara dengan penyintas secara lebih dekat dan bersahabat.
Saya berkesempatan mendengarkan kisah dari Bapak Munari penyintas yang lahir pada tahun 1944 di Batangan, Pati. Ketika tragedi 1965 usianya baru 22 tahun, dan harus menjadi korban penangkapan akibat peristiwa G30S. “Memang, dulu saya aktif di Pemuda Rakyat*. Tetapi ketika terjadi peristiwa G30S saya tidak tahu apa-apa” tuturnya.
Munari ditangkap dan dipenjara dari satu tempat ke tempat yang lain. Selama dua tahun sejak akhir tahun 1965, Munari ditahan di Pati tanpa diberi makan. Beruntung keluarga Munari masih mengirim makanan untuknya. Pada 1967 Munari dipekerjakan secara paksa dan berpindah-pindah, ia bekerja tanpa upah dan tanpa diberi makanan. Pekerjaan itu diantaranya adalah memperbaiki jalan, membuat parit, dan membuat gamping.
Pada 1970 Munari harus mengalami pembuangan ke Pulau Buru. Sebelum menuju Pulau Buru, ia dibawa transit ke Nusakambangan; disana ia ditahan selama 40 hari dan hanya diberi makan jagung. “Saya pernah sampai pingsan karena tidak kuat setiap hari cuma diberi makan jagung, padahal besoknya berangkat ke Pulau Buru, rasa-rasanya saya sudah hampir mati disana” ucap Munari sambil mengelus dada. Di Pulau Buru Munari dipekerjakan paksa untuk membuka hutan rimba. Pulau Buru menjadi tempat pengasingan bagi tahanan politik berat, meski banyak tahanan yang merasa tidak tahu apa-apa. Cukup banyak tahanan asal Pati yang dibuang di Pulau Buru. Munari dibebaskan tahun 1979.
Ternyata dalam lingkungan keluarga besar, bukan Munari saja yang menjadi korban. Pamannya juga menjadi korban dan dieksekusi di tengah hutan Barisan, di Kecamatan Jaken, Pati. Lokasi seperti itu biasa disebut sebagai kuburan massal. Dari kuburan massal itu terdapat tiga lubang eksekusi, tapi hanya satu lubang yang digunakan untuk mengubur korban dengan jumlah 25 orang. Dari korban-korban itu yang diketahui identitasnya hanya tiga orang, salah satunya paman Munari. Korban lainnya tidak diketahui siapa identitasnya. Munari mendapatkan informasi ini dari salah seorang saksi mata.
Sepulangnya Munari dari Pulau Buru, semua keluarga dan tetangga sekitar bersyukur dan bersuka cita atas kepulangannya. “Semua itu karena mereka tahu saya tidak bersalah, saya ini tidak tahu apa-apa kok tiba-tiba ditangkap” tambah Munari.
Harapan Munari, negara harus hadir untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Tentu disertai dengan semangat dan kesadaran anak muda untuk turut menyuarakan keadilan dan menuntut pemerintah untuk segera menyelesaikan semua persoalan pelanggaran HAM.
“Kita harus melanjutkan sejarah, sebab sejarah ini belum selesai, anak-anak muda ini perlu tahu kebenaran. Bukan sejarah kelam dan sejarah manipulasi. Nanti jika anak-anak muda ini mau terus belajar maka akan tahu bagaimana sebenarnya kebenaran kejadian 1965, bisa melalui membaca buku, koran-koran, atau bertanya pada orang yang lebih paham”, ujar Munari dengan optimis.
Harapan yang sama juga disampaikan para peserta, salah satunya Lala mahasiswa kelahiran Jepara yang saat ini aktif dalam Aksi Kamisan Semarang. Aksi Kamisan Semarang konsisten menyuarakan desakan penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM. Lala berpendapat tidak semua paparan yang ada dalam buku sejarah itu benar. Kasus 1965 tidak semata-mata salah atau benarnya PKI, tetapi melihat dari kasat mata saja sudah jelas bahwa pembunuhan massal adalah pelanggaran HAM. Dan negara harus legawa mengakui kesalahan serta bertanggung jawab untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM.
Menyimak kisah para penyintas Tragedi 1965 dan harapan generasi muda atas penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM pada Tragedi 1965, seolah kita diajak melintasi masa lalu, masa kini, dan sekaligus masa depan. Negeri ini masih punya setitik harapan, karena anak-anak muda masih memiliki keingintahuan dan kepedulian tentang kasus-kasus pelanggaran HAM. Momen pertemuan lintas generasi ini adalah sebuah upaya untuk meneruskan fakta-fakta sejarah, agar tidak hilang begitu saja, tetapi menjadi monumen yang menjadi bahan belajar generasi berikut.
Semoga tidak pernah ada lagi pelanggaran HAM di negeri ini!
Pemuda Rakyat* = organisasi sayap pemuda Partai Komunis Indonesia