
Semarang, Kabar EIN – Apa yang bisa menjadi landasan untuk hidup bersama antar umat yang berbeda-beda agama di Nusantara ini? Pertanyaan itulah yang dikaji bersama dalam acara Jagongan Kebangsaan hari Rabu (17/5) malam lalu. Bertempat di Graha Sinode GKMI Grasima daerah Sompok Lama Semarang, sekitar lima puluh orang menghadiri acara yang digagas oleh Peace Hub, Persaudaraan Lintas Agama (Pelita) Semarang, Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, dan LBH Semarang itu.
“Acara ini intinya ingin menyadarkan pada kita semua arti penting keterlibatan kita di dalam isu-isu kebangsaan, selain menjalin silaturahmi dengan sesama warga yang memiliki keprihatinan bersama tentang kondisi Indonesia,” kata pendeta Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) Andi O. Santoso yang menjadi moderator acara.
Peneliti eLSA Semarang Siti Rofiah menyampaikan materi pertama bertema “Keislaman dan Keindonesiaan”. Rofi, panggilan akrabnya, menekankan bahwa persoalan kenegaraan adalah perkara yang dinamis. Umat beragama serta para ulama harus merespons dengan pembaharuan pemikiran lewat tafsir-tafsir kontekstual.
“Kita harus ambil spirit dari hukum Islam, nilai-nilai universalnya seperti keadilan, kesetaraan, perlindungan hak asasi, itu yang harus diwujudkan dalam hukum, tanpa harus menjadi negara Islam,” ujar dosen Fakultas Syariah UIN Walisongo ini. Dia juga mengingatkan, etika berdakwah harus dilandasi kebaikan, sikap lemah lembut, dan tidak menjelek-jelekkan agama yang lain. “Jangan sembarangan menyebut orang yang berbeda sebagai kafir,” tambahnya.
Pembicara selanjutnya, Pendeta Rudiyanto mengangkat topik “Kekristenan dan Keindonesiaan”. Dia langsung menohok hadirin, khususnya yang Kristiani, dengan ajakan melakukan otokritik. “Kita harus akui orang Kristen Indonesia punya warisan problematis secara historis, karena Kekristenan datang ke Nusantara ini ibarat helikopter, sampai sekarang pun coraknya masih tetap Eropa dan Amerika yang asing bagi rakyat negeri ini, tidak tumbuh dari bawah,” katanya.
Menurut Rudiyanto, teologi yang kapitalistik itu perlu dibongkar dengan realisme prinsipiil. “Jangan pragmatis memikirkan kesejahteraan sendiri, tapi pikirkan kesejahteraan bangsa Indonesia. Cara pikirnya bukan ‘aku orang Kristen yang kebetulan lahir di Indonesia’ (Christians in Indonesia), tapi ‘aku orang Indonesia yang beragama Kristen’ (Indonesian Christians), jadi identitas utamanya adalah keiindonesiaan.”
Dosen Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga itu juga berharap ada pembongkaran wacana misi abad ke-19. Pemikiran bahwa tugas gereja adalah mengajak orang non-Kristen menjadi Kristen harus ditinggalkan. Menurut Rudiyanto, amanat Agung Yesus Kristus dalam Matius 28 harus dilihat dari kerangka naratif Injil Matius secara utuh, yakni pemuridan agar orang menjadi seperti Yesus. “Jadi, isi amanat itu sebenarnya supaya kita menerjemahkan tanda-tanda kerajaan Allah di bumi, yakni kasih, keadilan, dan perdamaian, melakukan kritik sosial dan menempuh hidup sebagai pejuang moral seperti Yesus,” tegasnya.
Sesi tanya jawab juga berlangsung hangat dengan lontaran tajam para peserta. Pendeta Aryanto Nugroho dari Gereja Jemaat Allah Global Indonesia (JAGI) menyayangkan orang Kristen di Indonesia yang masih alergi pada politik. “Urusan kita mesti lebih dari sekadar amal karitatif, tapi mesti ikut mewarnai hidup bernegara dan memperjuangkan keadilan sosial,” usulnya. Untuk itu, pertama-tama umat Kristen di Indonesia harus bisa bekerja sama melampaui batasan aras dan sinode gerejanya.
Dalam diskusi, para peserta Jagongan Kebangsaan sepakat bahwa forum ngobrol antar warga Semarang untuk soal-soal kebangsaan seperti ini mesti dipersering. “Semoga nanti kita bisa bergiliran menjadi tuan rumah untuk jagongan-jagongan selanjutnya,” tutur Andi pada hadirin sebelum menutup acara.
Editor: Yvonne Sibuea