Semarang, Ein Institute – No free lunch. Di dunia ini tidak ada yang gratis. Demikian ujaran populer yang kerap kita dengar sehari-hari. Nyatanya, di Gedung Rasa Dharma kawasan Pecinan Semarang setiap Selasa mulai pukul 11.00 siang disediakan seratus porsi makan siang gratis. Ketika kru Kabar Ein tiba siang itu (12/3), nampak piring-piring ditata rapi terisi nasi dan beragam lauk. Ketika orang-orang mulai berdatangan untuk makan, penjaga bergegas menambahkan sayuran sembari tersenyum ramah.
Gedung milik perkumpulan Tionghoa tertua di Semarang yang dahulu bernama Boen Hian Tong tersebut disulap Andi Gunawan dan teman-temannya menjadi “Kantin Kebajikan”. Tuna wisma, tukang becak, tukang parkir, masyarakat sekitar, datang bergiliran tanpa harus mengantri. Mereka sekedar melepas penat tubuh di siang hari sambil menikmati sepiring nasi dari kantin ini. Tidak jarang sekelompok orang datang bersamaan, menikmati makan siang sambil mengobrolkan permasalahan sehari-hari. Andi dan teman-temannya juga tidak terlihat canggung duduk bersama mereka, ikut mengobrol.
Beberapa orang lainnya datang secara sukarela memberi berbagai bantuan. Seorang lelaki paruh baya yang tidak dikenal oleh Andi menenteng dua keranjang pisang, sumbangan untuk makan siang di kantin. “Ya begini, semua bisa membantu. Kami terbuka, kalau mau bantu dalam bentuk materi, makanan atau tenaga, kami sangat senang,” ucap pria asal Jawa Barat tersebut sambil membagikan pisang sumbangan tadi kepada pengunjung.
Confucius Wisdom
Bersama Dwiyanto, Agung Kurniawan dan Jovita Irma, Andi Gunawan membentuk komunitas sosial sekaligus usaha dagang yang diberi nama “Confucius Wisdom”. Komunitas inilah penanggung jawab Kantin Kebajikan. “Awalnya dulu kami ngumpul bareng, ngerayain ulang tahun,” kisah Andi, “lalu kami berpikir, mengapa tidak sekalian berbagi ke sesama saja?” Begitulah kisah komunitas sosial ini berawal, dari obrolan pada pesta ulang tahun.
Dengan modal nekat mereka bertekad mewujudkan Kantin Kebajikan, “Kami patungan. Selalu terlintas di pikiran kami dari minggu ke minggu, apa kami bisa membiayai kegiatan ini dalam jangka panjang” ujar Andi mengenang. Dimulai dari kegiatan internal di kalangan Kong Hu Cu, aksi Kantin Kebajikan menyebar dari mulut ke mulut. Dengan menyisihkan uang keuntungan usaha dagang Confucius Wisdom, kantin yang mulai beroperasi sejak April 2016 lalu dapat tetap buka setiap Selasa siang, sampai hari ini.
Usaha dagang Confucius Wisdom menjual berbagai produk pakaian. “Kami kerap membuka lapak di berbagai kegiatan sosial. Produk kami tinggalkan di lapak bersama dengan kotak uang” cerita Andi bersemangat. “Tahu gak, semua barang habis dan uangnya juga ada. Waktu itu acara di Semawis, ternyata orang Semarang jujur-jujur semua,” kenangnya haru dan bangga.
“Setelah berjalan beberapa waktu banyak yang membantu,” tambah Andi berkaca-kaca. “Bahkan sampai sekarang ada pemberi bantuan yang tidak mau diketahui identitasnya,” Menurut Andi, Walikota Semarang, Hendrar Prihadi juga pernah merogoh kocek pribadinya untuk mendanai kantin.
Enggan Gelar Kegiatan Sosial di Kelenteng
Sambil membantu menata piring, Andi juga menceritakan alasan mengapa mereka tidak melaksanakan kegiatan ini di kelenteng. “Saya takut dikatakan melakukan Kong Hu Cu-isasi, karenanya kantin kami buka di sini, di tempat yang netral,” pungkasnya sambil tergelak. Kalau digelar di Rasa Dharma kan memang sesuai untuk kegiatan sosial, kesenian dan kebudayaan,” imbuh Andi.
Ia mengaku, komunitasnya bisa saja menyelenggarakan kegiatan tersebut di area kelenteng, tetapi Andi memperhitungkan, penempatan Kantin Kebajikan di kelenteng justru akan membatasi jumlah orang yang berniat mampir. Khusus untuk kegiatan sosial sebisa mungkin Andi memilih untuk tidak memasukkan unsur keagamaan, walau sebenarnya dia bisa saja melakukan hal tersebut dalam posisinya sebagai Sekretaris Majelis Tinggi Agama Kong Hu Cu Indonesia Kota Semarang.
Bertekad Tetap Melayani
Kantin Kebajikan setiap minggunya dikelola oleh enam orang, salah satunya Jinten. “Kalau saya asli bekerja di sini (Rasa Dharma), sudah 18 tahun. Kalau Selasa siang saya bantu di Kantin Kebajikan,” Kebetulan hari Selasa minggu lalu (7/3) 100 porsi makanan yang disediakan tidak habis. Maka, menjadi tugas Jinten untuk membungkus makanan tersebut untuk kemudian dibagikan. “Kalau gak habis ya kami bungkus dan bagikan di jalan-jalan, sayang kalau dibuang,” ungkap Andi yang menyusul untuk membantu Jinten membungkus sisa makanan.
Andi bertekad akan terus mengelola Kantin Kebajikan. “Kami akan meneruskan ini. Sayang kan kalau kegiatan ini berhenti” pungkas Andi. “Yang pasti kami semua di sini belajar melayani,” tutup Andi mengakhiri wawancara.
Editor: Yvonne Sibuea