Share the knowledge!

Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) menggelar “Diskusi dan Launching Laporan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Tahun 2016 di Jawa Tengah ”. Peluncuran laporan diadakan pada Kamis (12/1) berlokasi di Gereja Santa Theresia Bongsari, Semarang. eLSA rutin melaporkan kasus-kasus di ranah kebebasan beragama dan berkeyakinan dari perspektif hak asasi manusia sejak tahun 2011.

Paparan temuan antara lain: terdapat 16 kasus intoleransi, dan 4 kasus dugaan tindakan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang dilakukan oleh negara. Jumlah total kasus pada 2016 adalah 20 kasus. Sebaliknya, eLSA juga mencatat beberapa kemajuan dalam pemenuhan kebebasan beragama.

Hadir sebagai tamu undangan, Lukas Awi Tristanto mewakili Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang, serta Setyawan Budy dari Gereja Kristen Muria Indonesia mewakili Persaudaraan Lintas Agama (PELITA).

“Laporan tahunan ini kami bagikan gratis sejak 2011 hingga 2013 karena ada lembaga yang membantu penerbitannya, namun sejak 2014 kami mencetaknya sendiri. Maka jangan heran jika ada daftar harga pada tumpukan buku di meja belakang sana,” terang Tedi Kholiludin Direktur eLSA. Ia menunjuk meja administrasi tempat buku laporan tahunan dan berbagai buku seri keagamaan terbitan eLSA lainnya dipamerkan. “Karena hal ini akan sangat membantu bagi kami untuk menyediakan penerbitan laporan di tahun 2017 nanti,” jelas Tedi sembari tersenyum.

Menurut Tedi, kasus intoleransi agama menurut tidak disebabkan oleh faktor yang homogen. Selain agama itu sendiri, masalah etnis, ekonomi dan politik juga sangat berpengaruh. “Misal masalah ekonomi, apakah ada kesenjangan ekonomi? Atau politik, misal dalam kasus suksesi kepemimpinan,” terang peraih gelar Doktor dari Universitas Kristen Satya Wacana tersebut.

“Terakhir, sebagai evaluasi untuk kami sendiri, apa yang kami lakukan memang terlalu monoton. Corak pendekatan kami hanya menggunakan pendekatan pemenuhan hak sipil dan politik, harusnya ditambahkan dengan pendekatan berbasiskan ekonomi,” terang Tedi.

Tedi juga mengungkap bahwa ada kemajuan yang dilakukan pemerintah. “Kapolrestabes Semarang mengatakan bahwa siapapun akan dilindungi oleh konstitusi, sekalipun dia dianggap kafir atau sesat oleh kelompok lainnya,” kata Tedi menggarisbawahi perkataaan Kapolrestabes, ketika ia mendampingi kaum Syiah menggelar Perayaan Asyura yang sempat mengalami penolakan ekstrem.

Lukas Awi,  membenarkan rekomendasi Tedi tentang perlunya pendekatan ekonomi. Penulis buku Hidup dalam Realitas Alam tersebut menjelaskan bahwa Keuskupan Semarang juga menyadari hal tersebut, dia mengaku bahwa tidak sedikit dana yang disediakan untuk membangun kesejahteraan dan martabat umat Katolik. Awi juga menyampaikan apresiasi kepada Nahdlatul Ulama yanng bersikap tegas dan cepat dalam memerangi pihak-pihak yang ingin merusak kebhinnekaan Indonesia, terutama dalam memerangi ujaran kebencian yang beredar di media sosial.

Sebelum mengakhiri pembicaraan, dia menyampaikan apresiasinya kepada eLSA, “Saya sampaikan apresiasi saya kepada eLSA yang selama ini terus menjadi promotor dialog perdamaian,” pungkas lelaki yang berdomisili di Klaten tersebut.

Sementara Wawan, panggilan akrab Setyawan Budy, menjelaskan sejarah singkat PELITA sebelum menanggapi laporan tahunan eLSA. “Saya mau menjelaskan tentang PELITA dulu. Awal terbentuknya PELITA ini adalah sebagai respon atas kasus penolakan acara buka bersama dengan Ibu Sinta Nuriyah di Ungaran beberapa waktu lalu. PELITA adalah jaringan koordinasi yang anggotanya antara lain LBH Semarang, eLSA, perwakilan keenam agama serta jurnalis,” ujar Wawan mengenang.

Wawan menceritakan kerja-kerja pendampingan yang pernah dilakukan PELITA terhadap kasus intoleransi di Semarang, salah satunya pengawalan kasus Asyura yang melelahkan. “Seperti yang dikatakan mas Awi tadi, kerja seperti ini memang selalu melelahkan. Karena kita tidak digaji. Saya koordinator, tidak ada sekretaris, tidak ada bendahara,” tambahnya. “Tetapi saya sekali lagi mau mengingatkan, sebenarnya tugas ini bukan hanya tugas eLSA saja, atau tugas PELITA saja, tetapi kita semua harus terlibat,” jelas Wawan mengakhiri pembicaraan.

Tedi menegaskan, peran pemerintah sangat penting dalam mencegah kasus-kasus intoleransi. “Bagaimanapun juga, polisi itu adalah pihak yang bersentuhan langsung dengan kejadian-kejadian intoleransi. Perspektif kepolisian tentang HAM, hak kebebasan beragama dan landasan konstitusi itu harus clear,” ungkap Tedi menutup diskusi.

Acara selesai, diakhiri dengan mampirnya beberapa peserta diskusi membeli buku-buku terbitan eLSA sebelum beranjak pulang. Provokasi Tedi berhasil. Kabar gembiranya, peluncuran laporan tahunan untuk 2017 sudah mendapatkan sedikit modal awal.

Editor: Yvonne Sibuea

Facebook Comments

Share the knowledge!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *