Share the knowledge!

Semarang, EIN Institute – Setelah sukses diputar di berbagai negara, kini giliran EIN Institute berkesempatan menjadi penyelenggara pemutaran film Jihad Selfie di Semarang, pada Kamis (18/5). Nonton bareng yang dilanjutkan diskusi tersebut menghadirkan sutradara film Jihad Selfie, Noor Huda Ismail; mantan terpidana kasus terorisme Yusuf Adirima, serta seorang psikolog dari Universitas Katolik Soegijapranata, Kuriake Kharismawan.

Mengenal Sutradara Jihad Selfie

Noor Huda Ismail tercatat mengambil dua jurusan di dua kampus berbeda saat jenjang strata satu. Pertama mengambil jurusan Sastra Arab di Fakultas Adab di IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijogo Yogyakarta dan Ilmu Komunikasi di Fisipol Universitas Gajah Mada.

Noor Huda juga sempat mencicipi karir sebagai kontributor berita wilayah ASEAN untuk The Washington Post. Pengalaman sebagai wartawan mengantarkan Noor Huda pada titik balik kehidupannya. Ia menjadi satu-satunya wartawan yang mengenal baik salah satu pelaku Bom Bali I (2002) saat proses peliputan. Pelaku yang ia kenal adalah teman sekamarnya ketika nyantri di Pondok Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, Fadlullah Hasan.

Noor Huda menuliskan pengalamannya berteman baik dengan pelaku pemboman dalam buku “Temanku, Teroris?” yang diterbitkan pada 2005 silam. Ia mengisahkan bahwa pelaku terorisme juga memiliki sisi manusiawi yang perlu diulik.

Buku tersebut menjadi penanda perubahan kehidupan Noor Huda. Semenjak menulis buku tersebut, Noor Huda memutuskan berkecimpung di isu terorisme, khususnya dengan berkontribusi membantu para mantan teroris kembali ke masyarakat.

Noor Huda mendirikan Yayasan Prasasti Perdamaian sebagai wadah kerja-kerjanya. Lulusan St. Andrews University-Skotlandia, jurusan International Security ini kerap diundang menjadi narasumber dalam forum-forum yang membahas penanggulangan terorisme baik skala nasional maupun internasional.

Kisah di Balik Film Jihad Selfie

Film Jihad Selfie berawal dari ketidaksengajaan Noor Huda yang bertemu salah satu pelajar asal Aceh, Akbar, di Turki. Ketertarikan Akbar untuk bergabung dengan ISIS diungkapkan pada Noor Huda saat berbincang santai. Noor Huda tergelitik untuk mengorek apa saja faktor yang membuat anak muda memiliki niat bergabung dengan ISIS. Semangat film ini sebenarnya masih sama dengan semangat buku “Temanku Teroris?” , yakni menampilkan sisi kemanusian pelaku teror.

Jihad Selfie mengungkap metode baru perekrutan anak muda untuk diajak bertempur di medan perang. Jika awalnya perekrutan dilakukan perekrut dengan cara menemui calon pelaku teror secara perorangan, kini di era teknologi informasi, perekrutan dilakukan melalui media sosial.

Jihad Selfie mengisahkan bahwa ketertarikan anak muda terlibat dalam gerakan terorisme tidak selalu didasarkan atas masalah agama. Dalam kasus Akbar, ia tertarik bergabung dengan ISIS karena kagum pada kesan maskulin temannya yang sudah lebih dahulu bergabung dengan ISIS.

“Pegang AK-47. Sudah kayak Kopassus saja,” ungkap Akbar menceritakan rasa takjubnya melihat temannya mengunggah foto diri yang sedang mengangkat senjata di media sosial Facebook.

Membaca Ekstremisme dari Sudut Pandang Psikologi

Kuriake Kharismawan atau yang lebih sering dipanggil Ake, memaparkan bahwa rata-rata usia pelaku bom bunuh diri kira-kira 21 tahun. Pada fase usia inilah kebanyakan orang akan mencoba melakukan hal-hal penuh sensasi untuk menunjukkan pada publik bahwa diri mereka spesial.

“Saat anak muda butuh merasakan sensasi spesial sementara di lingkungan sekolah tidak menyediakan, lingkungan masjid dan gereja juga tidak menyediakan, maka orang yang biasa-biasa saja tidak bisa mendapatkan sensasi (spesial) tersebut.” Hal ini membuat orang dengan kepribadian tertutup, yang perasaannya tidak stabil, lebih mudah menjadi orang yang fundamentalis dan ekstrem, papar Ake pada peserta nonton bareng.

Lingkungan pendidikan dan keluarga juga merupakan faktor yang tidak kalah penting. Ake menyoroti pola pendidikan satu arah yang otoriter di keluarga ataupun di sekolah mendorong anak berpotensi berperilaku ekstrem. Terutama di lingkungan keluarga yang punya memiliki banyak anak, potensi dialog satu arah lebih besar. Terakhir Ake beropini bahwa bila keluarga atau sekolah mengembangkan pola pendidikan demokratis, maka akan memperkecil berkembangnya potensi ekstremisme pada anak.

Dalam sesi tanya jawab, salah satu peserta diskusi menanyakan tips deradikalisasi yang tepat pada sutradara Jihad Selfie, Noor Huda. Noor Huda menjelaskan, pada dasarnya ia tidak pernah memaknai apa yang ia lakukan selama ini sebagai tindakan deradikalisasi.

“Saya membantu Yusuf ya karena alasan yang sederhana, yaitu sama-sama manusianya. Saya hanya memberi kesempatan kedua untuk dia,” ungkap Noor Huda sambil melirik ke arah Yusuf yang duduk di sebelah kirinya. Segala upaya yang Noor Huda lakukan terhadap para mantan teroris, ia akui terinspirasi dari doktrin Islam yang menyatakan “Jika kau menolong orang lain, Tuhan akan menolongmu”.

Terakhir Noor Huda menggarisbawahi agar anak muda Indonesia merasa lebih rendah derajatnya dibanding bangsa lain, karena menurut Huda pemikiran semacam inilah yang menjadi faktor penyumbang maraknya terorisme. “Kita harus mampu membedakan antara rendah diri dan rendah hati,” pungkas Noor Huda menutup diskusi.

Facebook Comments

Share the knowledge!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *