Semarang, Kabar EIN – Sebagian orang terpikat pada fundamentalisme dan radikalisme keagamaan karena mencari kepastian tafsir. Gejala ini harus diantisipasi dengan terus memajukan kajian-kajian humaniora. Demikian paparan Pendeta Rudiyanto ketika diminta menjadi pembicara di acara Jagongan Kebangsaan pada Rabu (17/5) malam di Graha Grasima, Sompok Lama, Semarang.
“Di dunia sekarang ini, jaminan rasa kepastian sedang tergerus, sehingga ketika kelompok fundamentalis menawarkan kepastian tafsir agama, orang merasa lega dan mengikutinya,” ujar Rudiyanto di hadapan sekitar lima puluh hadirin dari komunitas lintas agama.
Tak heran, lanjutnya, banyak sarjana-sarjana ilmu eksak yang teradikalisasi. “Mereka pikir keagamaan itu bisa sama pastinya dengan ilmu alam, padahal secara epistemologis sangat berbeda,” tutur dosen mata kuliah Filsafat Ketuhanan di Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga ini.
Sebagai penawarnya, pemerintah dan masyarakat harus berusaha lebih memajukan lagi ilmu humaniora dalam rangka membendung radikalisme. “Kalau ada klaim kebenaran disodorkan, orang yang berpikir dengan ilmu humaniora itu akan kritis, dibedah dulu dari berbagai perspektif, saya yakin Tuhan tidak marah jika umatnya berpikir kritis, asalkan jujur,” seloroh pendeta yang juga mengajar di Sekolah Tinggi Teologi (STT) Abdiel Ungaran itu.
Lebih lanjut, Rudiyanto juga memberikan tawaran wacana postmodern yang akan mencairkan hubungan antar umat beragama. “Pandanglah agama itu sebagai narasi pribadi yang membuat hidup kita bermakna, jadi tidak perlu takut bertemu dengan orang yang beda agama, seperti orang yang bertukar cerita saja,” jelasnya.
Menurut Rudi, panggilan akrabnya, justru yang harus diupayakan umat beragama adalah kerjasama lintas narasi demi kemanusiaan. “Saya tidak setuju dengan istilah menemukan dasar bersama, yang tepat adalah kita harus menciptakan dasar bersama untuk bekerjasama,” kata Rudi. Untuk itu, ia setuju bahwa umat harus dicerdaskan dengan pengayaan wawasan.
Editor: Yvonne Sibuea