Semarang, Kabar EIN– Bukan faktor tunggal yang mempengaruhi seseorang menjadi radikal dan ekstrem. Proses seseorang memutuskan menempuh jalur ekstrem cukup berliku.
Yusuf Adirima, mantan terpidana kasus terorisme yang juga mantan kombatan Moro yang beroperasi di Filipina Selatan, menuturkan “Setiap mujahid (pejuang) yang dikirim ke Poso atau Ambon, bahkan Filipina; keberangkatannya bisa dipicu banyak sebab. Bisa dari bacaan, bisa juga dari video. Kalau saya sendiri, tertarik berangkat karena menonton video.”
“Awalnya saya ingin jadi relawan,” Yusuf berkisah pada para peserta nonton bareng film Jihad Selfie yang diselenggarakan EIN Institute di Semarang, Kamis (18/5). Keinginan Yusuf menjadi relawan ternyata tidak semudah yang ada di benaknya.
“Susah, di Filipina benar-benar merasakan tembak-tembakan langsung dan hidup di dalam hutan, mau makan dan tidur ga enak,” kenang perakit mortar handal tersebut. Perawakan Yusuf tergolong ramping, ketika berbicara kerap ditingkahi senda gurau. Sama sekali tidak nampak tanda-tanda kalau dirinya pernah terlibat berbagai kasus terorisme, termasuk Bom Bali I pada 2012.
Tanggungjawab Mantan Kombatan
Pria yang sekarang giat mengelola usaha resto tersebut mengaku bahwa faktor keluarga yang menjadi dorongan utamanya untuk berubah. Keluarganya yang ia tinggalkan selama hampir 8 tahun membuat Yusuf sadar, bahwa ia harus berhenti bergelut dengan jaringan terorisme. Secara moral Yusuf terpanggil untuk ikut memerangi radikalisme yang kian berkembang di Indonesia.
“Saya terjerat masalah terorisme ini secara bertahap, maka saya juga akan bertanggungjawab secara bertahap pula,” ujar Yusuf menyampaikan komitmennya di depan para peserta diskusi. Upaya bertanggungjawab yang ia maksud adalah memantau kabar rekan-rekannya yang dulu pernah sama-sama menjadi mujahid.
Secara teratur Yusuf menanyakan kegiatan rekan-rekannya setelah kembali lagi bermasyarakat, bagi yang kesulitan mendapatkan pekerjaan Yusuf tidak segan-segan untuk membantu. “Saya terus muter-muter mengunjungi mereka, saya ingin menceritakan pengalaman saya yang sudah menjalani kehidupan secara normal 7 tahun belakangan ini,” ujar ayah dua anak tersebut penuh keyakinan.
Maskulinitas dan Kekerasan
Dalam disertasinya, Noor Huda Ismail sutradara film Jihad Selfie yang diundang EIN Institute menjadi narasumber diskusi ini mengungkap bahwa unsur maskulinitas sangat mempengaruhi orang untuk memutuskan melakukan kekerasan.
Noor Huda memberi contoh, kebanyakan anak laki-laki sejak kecil tanpa sadar diajar untuk menjadi penakluk melalui permainan tentara-tentaraan. “Kultur masyarakat menempatkan orang yang melakukan kekerasan dalam struktur sosial yang lebih tinggi,” ungkapnya.
“Anehnya, kebanyakan perempuan malah suka kepada lelaki yang nakal. Kalau anak lelaki yang kalem dan rajin belajar malah tidak disukai,” Noor Huda mencetuskan keheranannya. Beberapa peserta diskusi yang masih remaja nampak tersenyum-senyum geli, membenarkan lontaran Noor Huda.
“Yusuf itu juga meneruskan eksistensi maskulinitas Jawa yang sudah mengakar.Yusuf ini kan mengidolakan Pangeran Diponegoro, tokoh Islam yang melawan,” jelas Noor Huda memaparkan pengamatannya atas pengalaman Yusuf.
Menurut Noor Huda yang cucu seorang dalang tersebut, banyak kisah pewayangan yang menceritakan tokoh pahlawan lelaki meninggal demi memperjuangkan idealisme. Cerita-cerita turun temurun tersebut merupakan faktor kebudayaan yang berkontribusi mendorong seseorang melakukan kekerasan.
“Kisah dalam Islam yang lebih dihafal juga narasi-narasi tentang perang. Ada perang Uhud dan perang Badar,” papar Noor Huda menjelaskan teorinya. Dia menyayangkan jarangnya umat muslim mengekspos dan menghafal cerita-cerita perdamaian. Sedangkan menurut Noor Huda, Nabi Muhammad pernah diterima dengan baik oleh raja yang Nasrani saat meminta perlindungan; pernah meminjam baju orang beragama Yahudi; serta pernah mempunyai seorang penunjuk jalan yang bukan muslim.
Menanggapi faktor maskulinitas yang diduga berkontribusi pada keputusan seseorang untuk melakukan kekerasan, Kuriake Kharismawan, psikolog dari Universitas Katolik Soegijapranata Semarang yang juga diundang menjadi narasumber, menyoroti sisi kelembutan dalam kebudayaan Jawa.
“Semakin banyak kita menggunakan atribut Jawa, pemilihan kata yang kita gunakan adalah kehalusan bahasa Jawa, maka setidaknya akan mempengaruhi perilaku kita untuk menjauhi kekerasan,” terang dosen psikologi tersebut memaparkan Teori Atribusi pada peserta diskusi.