Bioskop “Wisnu Theater” – biasa dilafalkan ‘biskop/biskopan’ – terletak di Jl. Bambu Runcing, Parakan. Bioskop semata wayang ini pernah menjadi sarana hiburan paling hit penyemarak lengangnya kota kecil seperti Parakan. Siapapun yang pernah tinggal di Parakan pada periode 70-80an, kemungkinan besar memiliki memori khusus tentang budaya nonton bioskop pra teknologi Studio XXI. Kini, Wisnu Theater seperti halnya gedung-gedung bioskop yang dikelola para pemodal kecil dan menengah, telah tergerus oleh zaman dan tidak lagi aktif; tempat ini kembali difungsikan sebagai gudang. Sedih sebenarnya.
Walau waktu tak bisa diputar ulang, mengembalikan keriaan menonton bioskop dengan fasilitas minim, yang tidak pernah dirasakan generasi Millenials dan Gen-Z; bisa dilakukan lewat berbagai cara. Salah satunya lewat tulisan ini.
Saya yang melewatkan masa kecil di Parakan dan pernah merasai pengalaman unik nonton bioskop jadul, kemudian terpercik ide untuk mengajak lebih banyak orang menelusuri lagi jejak-jejak bioskop era terdahulu; 80-an! Adalah Parakan Heritage & Pluralism Tour; kegiatan yang dirancang EIN Institute & Yayasan Budaya Widya Mitra, membuka kesempatan berbagi cerita.
Minggu 27 Januari 2019 lalu, 30 orang peminat wisata warisan budaya bergabung dengan saya menapaki anak-anak tangga Wisnu Theater, menyentuh kembali rel-rel besi tempat mengantri tiket, serta sekedar melongok eksterior bioskop yang masih seperti apa adanya puluhan tahun lalu.
Ingin tahu kisah apa saja yang saya ceritakan pada 30 peserta tur? Semoga keseruannya bisa menular ke pembaca!
Kelas Elit Hingga Kelas Jelata
Wisnu Theater memanfaatkan sebuah bangunan yang awalnya diperuntukkan sebagai gudang, maka kontur lantainya tidaklah seperti bioskop pada umumnya yang berundak, namun datar saja. Banyak hal menarik seputar biskop Wisnu; di antaranya mengenai penarifan tiket. Tarif tiket tempat duduk dikategorikan menjadi 3 kelas. Tempat duduk kelas 1 yang paling mahal terletak paling belakang; kelas 2 dengan harga menengah terletak di bagian tengah; sementara kelas 3 yang paling murah terletak paling depan. Setiap kelas mempuyai pintu masuk dan keluar masing-masing. Tempat duduk antar kelas dibatasi deretan kursi yang mepet dinding, sehingga penonton yang membeli tiket kelas murah tak bisa beralih lokasi ke kelas yang lebih mahal.
Mengapa kelas 1 paling mahal? Karena makin ke belakang pandangan dalam menonton semakin nyaman. Tempat duduk favorit penonton adalah deretan paling belakang, terutama bagi anak-anak atau orang yang bertubuh kecil. Kursi bisa dimajukan sedikit dan diberi jarak kira-kira 10 cm dari dinding, nah, orang bisa duduk di atas bahu kursi sambil bersandar pada dinding. Pandangan ke layar bebas merdeka, tidak terhalangi kepala orang-orang di depannya.
Kursi yang ‘Geserable’
Kursi terbuat dari kayu dengan sandaran tangan; penutup jok dan sandaran kursi terbuat dari anyaman rotan dengan bagian bawah berlubang. Acap kali terjadi, jika kursi tak terlalu penuh, penonton yang biasanya anak-anak; membeli tiket kelas dua atau kelas tiga. Ketika film diputar, dalam kegelapan diam-diam mereka ndelosor ke lantai dan merayap melalui bawah kursi, pindah ke kelas yang lebih mahal di bagian belakang.
Film umum biasanya terdiri dari dua gulungan seluloid. Sehingga diperlukan dua proyektor, agar pergantian dari gulungan pertama ke gulungan kedua bisa mulus tanpa jeda. Biskop Wisnu Cuma punya satu proyektor, sehingga perlu jeda sekitar 10 menit untuk mengganti gulungan film. Biasanya saat jeda ini digunakan penonton untuk menggunakan toilet atau membeli jajanan. Terkadang ada juga yang memanfaatkannya sebagai saat untuk ‘pindah kelas’; keluar dari pintu kelas dua, kemudian menyelinap masuk lewat pintu kelas satu.
Yang Cekak Juga Bisa Menikmati
Hal unik lainnya, yang mungkin merupakan bagian dari promosi juga adalah suara film yang tengah diputar itu disambungkan dengan pengeras suara dari ruangan proyektor ke arah jalan. Jadi orang-orang yang lalu lalang di jalan bisa MENDENGAR (bukan menonton) jalannya film.
Jajanan yang tersedia saat itu sangat terbatas. Hanya ada kacang rebus, kerupuk rambak, bakwan berukuran mini, serta ketela goreng. Berbagai penganan itu dibungkus dalam kertas koran yang dibentuk menjadi kerucut.
Boleh Berpiyama atau Bersarung
Bagaimana dengan dandanan para penonton biskop masa itu? Tidak seperti penonton bioskop XXI yang mayoritas berdandan rapi, penonton Wisnu Theater lebih memilih mengenakan pakaian santai seperti piyama ataupun sarung.
Satu hal yang harus diwaspadai, perlu membawa kertas koran untuk melapisi tempat duduk; karena sebagian besar kursi beralas rotan tersebut disarangi kutu.
Promosi Film Naik Becak Diiringi Tabuhan Drum
Yang tak terlupakan dan mungkin tak terbayangkan oleh generasi yang lahir belakangan; adalah metode promosi film bioskop untuk menjaring calon penonton. Saya ingat dengan jernih, masa itu poster-poster film yang sedang/akan diputar dipasang di bagian depan becak, atau dibawa berjalan kaki keliling kota oleh para pegawai biskop. Poster film yang dimaksud adalah lukisan di atas terpal berukuran kira-kira 150x 70 cm.
Poster dibawa berkeliling kota didampingi seorang penggebuk drum; yang kemudian pada periode berikutnya digantikan oleh rekaman suara narator yang membacakan promosi film dengan ditingkahi ilustrasi musik pada latar belakang. Narasi promosi film tersebut menggunakan baik Bahasa Jawa maupun Bahasa Indonesia.
Fenomena serupa tidak akan bisa lagi ditemukan saat ini, jadi bagi saya, menuliskan, dan menceritakan budaya nonton bioskop di Parakan masa lalu; cukup penting. Tapi bagian paling menyenangkan untuk mengenal keunikan kota di lereng Sindoro-Sumbing ini tentunya dengan berkunjung langsung.
Minat gabung dengan saya menyambangi Parakan lagi?
*Siek Liang Thay adalah Manajer Logistik EIN Institute; lahir dan melewatkan masa kecilnya di Parakan.
Saya menonton film Gundala di bioskop ini