Surakarta, Kabar EIN – Pecahnya konflik antar agama sebagian besar dilatarbelakangi kepentingan ekonomi, politik, dan kekuasaan. Namun pada dasarnya konflik bisa muncul memang karena ada potensinya. Di Indonesia yang bhinneka ini, telah lama tersimpan rasa saling curiga antara umat Islam dan Kristen, yang bisa sewaktu-waktu meledak sebagai konflik besar. Dialog formal saja tak akan cukup untuk mengatasi fenomena ini.
Demikian pemaparan Paulus Hartono, pendeta Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) Solo dalam seminar yang diselenggarakan oleh Badan Musyawarah Antar Gereja Lembaga Keagamaan Kristen Indonesia (BAMAG LKKI) Kota Surakarta di auditorium Sekolah Tinggi Teologi (STT) Intheos Solo, pada Sabtu (15/7) lalu.
“Kalau melihat dinamikanya, relasi antara umat Islam dan Kristen di Indonesia bersifat fluktuatif, bisa tenang dalam waktu lama, lalu tiba-tiba bergejolak, lalu tenang lagi, lalu bergejolak lagi,” terang alumni S1 dan S2 Teologi Universitas Kristen Duta Wacana tersebut. Menurutnya, ada luka-luka batin yang tersimpan dan belum tersembuhkan dalam diri masing-masing umat.
Paulus menjabarkan, kecurigaan Islam pada Kristen antara lain disebabkan oleh praktik kolonialisme dan marjinalisasi umat Islam secara ekonomi, kemudian ada pula peristiwa konversi agama besar-besaran dari para penganut kejawen dan abangan simpatisan PKI menjadi Kristen dan Katolik pasca tragedi 1965-1966. Sebaliknya, di kalangan Kristen ada kecurigaan soal gerakan Islamisasi dan khilafah.
Kebangkitan radikalisme di Indonesia, menurut Paulus, adalah ekses dari era globalisasi dan modernitas, yang mendorong timbulnya gerakan solidaritas umat Islam internasional karena kegagalan penegakan keadilan ekonomi dan sosial. “Yang saya dengar dari teman-teman yang dibilang radikal ini, mereka tidak puas karena pemerintah Indonesia gagal menyejahterakan rakyat, banyak korupsi, dan sebagainya, sehingga harus dibersihkan,” tutur Paulus.
Situasi menjadi makin sulit ketika ada pihak-pihak yang mendanai pelatihan paramiliter di Indonesia pasca reformasi, yang kemudian bertransformasi menjadi ormas keagamaan pelaku kekerasan. Sejak tahun 1995, Paulus Hartono telah berusaha menjalin relasi yang damai dengan kelompok-kelompok yang dianggap radikal di Solo. Ia lebih suka menyebut mereka dengan nama “laskar”, sesuai keinginan dari kelompok-kelompok tersebut.
Kisah persahabatan Paulus Hartono sebagai pendeta dengan kelompok laskar Hizbullah Batalyon 99 Divisi Sunan Bonang telah ia dan Agus Suyanto tuliskan bersama dalam buku berjudul “Laskar dan Mennonite: Perjumpaan Islam-Kristen untuk Perdamaian di Indonesia”.
Dari pengalaman bertahun-tahun itu, Paulus menyimpulkan bahwa membangun perdamaian dan toleransi butuh lebih dari sekadar dialog formal. “Pada dialog formal kita datang, berkumpul, berbicara secara sangat sopan dan ilmiah, tapi biasanya tidak menyentuh sektor personal. Laskar mana mau datang ke dialog formal?” katanya. Pendiri Lembaga Perdamaian Lintas Agama dan Golongan (LPLAG) ini menekankan pentingnya terobosan lewat dialog yang “profetis”, artinya dialog yang jujur, orisinil, adil, dan menyentuh kehidupan personal.
Buku Laskar dan Mennonite mencatat ada tiga tahap dialog profetis. Tahap pertama adalah dialog kehidupan, yakni perjumpaan alamiah sehari-hari yang bersifat personal antar umat beragama. Yang dititikberatkan adalah kegiatan bersama, tanpa perlu bercakap-cakap khusus soal agama. Perjumpaan kehidupan bisa terjadi di mana saja: lingkungan rumah, sekolah, pasar, kantor, dan sebagainya. “Silaturahmi adalah kuncinya, silaturahmi itu punya kekuatan yang luar biasa, jadi jangan takut bersilaturahmi, termasuk pada kelompok yang dijuluki ‘radikal’,” kata Paulus.
Tahap kedua adalah dialog karya, yakni kerjasama antar komunitas agama lain untuk kebaikan bersama, misalnya untuk mewujudkan keadilan, perdamaian, peningkatan pengetahuan, dan perlindungan hak asasi manusia. “Misi kita adalah membangun hidup yang lebih baik, karena toleransi mesti dibangun di atas dasar keadilan. Misalnya, kita lihat rumah keluarga-keluarga laskar, sungguh bikin mengelus dada, dan anak-anak mereka dibesarkan dalam lingkungan kumuh, jangan tutup mata bahwa ada ketidakadilan,” terang Paulus. Lewat jejaringnya, ia berusaha membantu keluarga-keluarga itu memperbaiki rumah mereka.
Tahap terakhir adalah dialog teologis. Sembari berjumpa dalam kehidupan dan karya, akan ada momen-momen pertukaran teologis, mendiskusikan hal-hal seperti akidah, etika, tradisi, dan pengalaman di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda. Topik-topik panas nan sensitif pun bisa dibicarakan lebih adem ketika sudah ada persahabatan. Misalnya, soal penutupan gereja, kampanye anti-Kristen dan anti imperialisme, dan sebagainya.
“Untuk menciptakan perdamaian, kita mesti saling bersentuhan di kehidupan riil, bukan cuma duduk melingkar di meja dengan kata-kata manis,” Paulus menegaskan. Dia mendorong agar kelompok minoritas lebih proaktif bekerja membangun toleransi yang berkeadilan. “Saya sendiri minoritas ganda: Kristen, Tionghoa, pendeta pula, tapi ternyata bisa juga,” selorohnya sambil tertawa.
Editor: Yvonne Sibuea